Pilih Dua, Tiga, atau Lima Surat Suara?
KPU mulai mengerucutkan usulan desain surat suara yang disederhanakan untuk Pemilu 2024. Selain bisa menekan biaya logistik surat suara dan kotak suara, hal ini bisa memudahkan petugas di TPS. Bisakah diwujudkan?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F22%2F00c1978a-1f12-4201-b172-56b343607484_jpg.jpg)
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022). KPU membuat terobosan dengan menyederhanakan surat suara dari lima surat suara (Pemilu 2019) menjadi dua dan tiga surat suara untuk Pemilu 2024.
Hari itu ada dua tempat pemungutan suara yang disiapkan di halaman Gedung Komisi Pemilihan Umum di Jakarta. Setiap calon pemilih yang hadir pada Selasa (22/3/2022) pagi itu mendapat surat pemberitahuan memilih di TPS 1 dan TPS 2. Di TPS 1 mereka menerima dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara tiga surat suara dan di TPS 2 dua surat suara.
Pemilu 2024 hanya sekitar 2 tahun lagi sehingga KPU mulai mempertajam simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan desain surat suara dan formulir yang disederhanakan. Para calon pemilih dalam simulasi itu merupakan perwakilan partai politik, penyelenggara pemilu, pegiat pemilu, hingga perwakilan media massa.
Ada dua model rancangan yang dibuat KPU, yakni dengan menggunakan dua lembar surat suara dan tiga lembar surat suara. Metode pemilihannya tetap dengan mencoblos. Model tiga lembar surat suara terdiri dari pemilihan presiden dan DPR dalam satu lembar, DPD di satu lembar, serta satu lembar lainnya berupa pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sementara itu, model dua lembar terdiri dari pemilihan presiden, DPR, dan DPD dalam satu lembar, sedangkan satu lembar lainnya berupa pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam satu lembar surat suara itu ada garis panjang berwarna yang jadi pembatas, sekaligus penanda jenis pemilihan yang akan dicoblos pemilih. Hanya saja memang pemilih tetap harus berhati-hati dan perlu membuka lebar satu surat suara sebelum mencoblos guna menghindari coblos tembus di surat suara bagian bawah jika surat suara masih dalam posisi terlipat.
Ukuran huruf yang ada di surat suara tersebut relatif bisa dibaca kendati memang terkesan lebih ”padat” dibandingkan surat suara Pemilu 2019 yang dibagi menjadi lima jenis terpisah, yakni pilpres, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Di antara dua desain surat suara, tingkat kesukaan para calon pemilih cenderung terbelah.
Baca juga: Hadapi Pemilu 2024, Perindo Gaet Mantan Anggota KPU
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F12%2F1314f9c1-2578-48e4-8485-4ba25f261201_jpg.jpg)
Warga memeriksa kondisi surat suara dalam Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Serentak 2019 di halaman parkir Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (12/3/2019). KPU berharap simulasi itu bisa merepresentasikan kejadian pemungutan suara sesungguhnya seperti yang ada di tempat pemungutan suara atau TPS.
KPU menyurvei peserta simulasi yang telah mencoba dua jenis desain surat suara hasil penyederhanaan. Hasilnya, dari 86 responden, sebanyak 53,5 persen memilih model dua lembar surat suara, sedangkan 46,5 persen memilih tiga lembar surat suara. Selain itu, sebanyak 86 persen responden menilai model perubahan surat suara lebih tepat digunakan dibandingkan model lima surat suara yang digunakan di Pemilu 2019.
Hasil pengerucutan
Dua model surat suara yang disimulasikan merupakan hasil pengerucutan dari enam desain penyederhanaan surat suara yang diinisiasi KPU pada 2021. Ketika itu, KPU juga sempat membuat desain dengan metode pemilihan ada yang mencoblos, mencontreng, atau menulis pilihan di surat suara.
Namun, dengan tidak adanya perubahan UU No 7/2017 tentang Pemilu, menjadi sulit menerapkan desain surat suara selain dengan mencoblos surat suara di Pemilu 2024. Dalam Pasal 353 Ayat (1) UU No 7/2017 diatur mengenai cara pemberian suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota dengan cara mencoblos.
Sementara itu, Pasal 342 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) diatur apa saja yang harus ada dalam surat suara pemilihan presiden, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta DPD. Misalnya, surat suara pasangan calon presiden-wakil presiden harus memuat foto, nama, nomor urut, dan atau tanda gambar gabungan partai politik pengusul pasangan calon.
Selain aspek regulasi, ada kecenderungan pula model pemberian suara dengan mencoblos masih lekat dengan masyarakat. Anggota Komisi Pemilihan Umum, Evi Novida Ginting Manik, menuturkan, berdasarkan hasil kajian dan evaluasi yang dilakukan KPU terhadap enam simulasi yang sudah dilakukan sebelumnya, metode mencoblos menjadi pilihan para peserta simulasi. Sebelumnya, KPU menggunakan tiga metode pemberian suara, yakni menulis, mencontreng, dan mencoblos.
Metode mencoblos dipilih karena lebih cepat dibandingkan dua metode lainnya. Rata-rata pemilih hanya butuh waktu 1-3 menit untuk mencoblos.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F03%2F19%2F61bbdc26-d9fe-4263-bad4-1a356cb8da00_jpg.jpg)
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Evi Novida Ginting
Selain bisa mempercepat proses pemungutan suara, Evi menuturkan, penyederhanaan surat suara juga membuat anggaran untuk logistik berkurang. Pada Pemilu 2019, kebutuhan kertas sampai cetak mencapai Rp 559 miliar.
Misalnya, dari perhitungan KPU, dengan desain dua lembar surat suara bisa terjadi penghematan sampai 60 persen untuk kertas dan 33 persen untuk biaya cetak. Penghematan juga terjadi pada kebutuhan kotak suara karena hanya membutuhkan dua kotak dibandingkan sebelumnya yang mencapai lima kotak.
Penghitungan suara oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) juga lebih mudah dan cepat karena dilakukan paralel. Dengan desain dua surat suara misalnya, di satu lembar kertas suara, KPPS bisa membaca tiga jenis pemilu sekaligus. Dengan cara ini, beban KPPS di penghitungan suara jadi lebih ringan.
Sebab, berkaca dari Pemilu 2019, ketika Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pilpres dan pemilihan legislatif di hari yang sama, penghitungan suara yang memudahkan menjadi kebutuhan KPPS. Dari data KPU, pada Pemilu 2019 ada 897 anggota KPPS meninggal dunia, diduga akibat kombinasi antara kelelahan dan adanya penyakit penyerta.
Surat suara tidak sah
Selain sisi positif, hal yang juga perlu mendapat perhatian KPU jika hendak merealisasikan penyederhanaan surat suara ialah dampaknya pada suara tidak sah. Adapun jumlah surat suara tidak sah pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 mencapai 17.503.953 surat suara (11,12 persen), Pileg 2014 sebanyak 14.601.436 surat suara (10,46 persen), dan Pileg 2009 sebanyak 17.540.248 surat suara (14,43 persen).

Jumlah surat suara tidak sah juga banyak terdapat pada pemilu presiden (pilpres). Pada Pilpres 2019 jumlah suara tidak sah 3.754.905 surat suara (2,38 persen), Pilpres 2014 sebanyak 1.379.690 surat suara (1,02 persen), dan Pilpres 2009 sebanyak 6.479.174 surat suara (5,06 persen).
Baca juga: Hadiah Paket Data hingga “Rebranding”, Kiat Parpol Ikut Pemilu 2024
Dengan penyederhanaan surat suara, menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera, Anton Hariyadi, yang ikut melakukan simulasi pencoblosan, tingkat kesulitan pemilih dalam mencoblos makin bertambah. Sebab, ada penggabungan pemilu dalam satu kertas surat suara.
Dia khawatir potensi surat suara tidak sah bisa semakin besar. Sebab, ketika pemilih mencoblos pada bagian atas bisa tembus ke sisi bawah kertas suara sehingga surat suara rusak. ”Untuk daerah maupun pemilih 40 tahun ke atas, ini akan sangat menyulitkan,” tuturnya.
Ia menyarankan untuk tetap menggunakan lima jenis surat suara seperti pada Pemilu 2019. Meskipun memakan biaya yang lebih besar, surat suara yang dicoblos pemilih lebih sederhana. Menurut Hariyadi, tidak adil kalau hanya ingin menghemat justru merusak hasil demokrasi.
Evi Novida mengakui, banyak surat suara tak sah pada pemilu sebelumnya. Padahal, pilihan pemilih seharusnya bisa disuarakan melalui pemungutan suara untuk menentukan pemimpin yang dipilih. Namun, menurut dia, dari penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, banyaknya jenis surat suara hingga lima lembar membuat pemilih tidak mencoblos semuanya. Karena itu, lanjut Evi, KPU menggabungkan beberapa pemilu dengan membedakan pemilu nasional dan lokal, yaitu pemilu presiden digabung dengan DPR dan DPD serta DPRD provinsi digabung dengan DPRD kabupaten/kota.
Untuk merealisasikan penyederhanaan surat suara di Pemilu 2024, KPU Periode 2017-2022, yang akan berakhir masa jabatannya pada 11 April 2022, akan mengusulkan perubahan desain ini kepada KPU Periode 2022-2027.
Evaluasi
Pengajar Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani mengapresiasi KPU yang berusaha menyederhanakan surat suara. Menurut dia, penyederhanaan ini harus terus disosialisasikan agar pemilih tidak kebingungan.

Pengajar pada Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani.
Ia memberikan beberapa catatan yang bisa menjadi bahan evaluasi. Ketika membuka kertas suara yang berisi pemilihan presiden dan DPR, ia masih kebingungan karena warna yang digunakan kurang membedakan dua macam pemilihan itu. Sementara itu, surat suara yang menggabungkan pemilihan presiden, DPR, dan DPD terlalu besar. Bagian DPD tidak kelihatan karena berada pada bagian paling bawah.
Model penggabungan surat suara ini juga bakal bermasalah untuk pemilih yang pindah memilih antardaerah pemilihan. Potensi suara ganda bakal terjadi pada pemilihan DPRD kabupaten/kota. Sebab, pemilih harus mencoblos calon anggota DPRD yang seharusnya tidak dia pilih.
Di UU No 7/2017, pemilih yang pindah memilih di luar daerah pemilihan legislatif kehilangan hak memilih legislatif di tingkat tersebut. Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Usep Hasan Sadikin, menilai, penyederhanaan surat suara ini lebih memudahkan pemilih. Penyederhanaan surat suara juga menjadi reformasi sistem pemilu untuk mengoptimalkan efek ekor jas atau dampak elektoral dengan menyatukan pemilihan presiden dan anggota DPR dalam satu kertas suara.
Meskipun demikian, KPU perlu hati-hati dalam menyatukan pemilu DPD dengan pemilu presiden dan DPR karena surat suara menjadi panjang. Ketika mencoblos DPD, Usep hampir mencoblos juga bagian pemilu presiden yang sudah dipilihnya. Hal itu bisa membuat surat suara menjadi tidak sah karena mencoblos dua kali pada pemilihan presiden. Menurut Usep, persoalan ini dapat disiasati dengan memperkecil surat suara, tetapi nama para calon tetap harus terbaca.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F12%2F8680b8a5-2dbc-4d23-930c-df7a8ef1c02d_jpg.jpg)
Warga memeriksa kondisi surat suara dalam Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Serentak 2019 di halaman parkir Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (12/3/2019).
Waktu masih cukup panjang untuk evaluasi dan sosialisasi. Akankah penyederhanaan surat suara ini sungguh terwujud? Di Pemilu 2024, apakah pemilih akan mendapat dua, tiga, atau lima surat suara? Kita tunggu saja.