Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, dari Wacana sampai Klaim ”Big Data”
Di tengah kenaikan harga dan kelangkaan sejumlah barang pokok, publik diributkan dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Hingga kini, isu ini masih terus digulirkan sejumlah elite politik.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·6 menit baca
Pantauan perbincangan di media sosial menghasilkan temuan bahwa lebih banyak pihak menentang perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana ini sejatinya dimunculkan dari kalangan elite politik yang kemudian diributkan di tataran akar rumput. Lantas, kepentingan wacana ini untuk siapa?
Perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode mulanya digaungkan oleh Muhammad Qodari pada Juni 2021. Menurut penggagas Jokowi-Prabowo 2024 (Jokpro2024) tersebut, majunya Joko Widodo dalam Pemilu 2024 bersama Prabowo Subianto bertujuan untuk mencegah polarisasi ekstrem yang terjadi di Indonesia. Demi visi itu, lanjutnya, pertama-tama yang perlu diusahakan ialah amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Dari ide Qodari, terlihat bahwa gagasan pokoknya bukan menunda penyelenggaraan Pemilu 2024. Justru dengan amendemen UUD 1945, Qodari mengusulkan agar Joko Widodo dapat mengikuti pilpres kembali dan berpasangan dengan Prabowo Subianto untuk kemudian bersaing dengan tokoh lainnya, seperti Anies, Ganjar, bahkan Susilo Bambang Yudhoyono. Dugaan Qodari, dalam pilpres tersebut tentu pasangan Jokowi-Prabowo yang akan menang kemudian menjalankan pemerintahan di periode ketiga.
Gagasan liar Qodari yang mengusung pasangan Jokowi-Prabowo tersebut kala itu mendapat banyak penolakan, apalagi menuntut pengorbanan besar mengubah amendemen konstitusi. Dari pantauan Litbang Kompas, isu ini berjalan sekitar dua bulan di media massa hingga pertengahan Agustus 2021 menghilang dari wacana publik. Isu ini tertutup oleh aksi penghapusan mural di tembok-tembok jalanan yang berisi kritik ke pemerintah.
Setengah tahun kemudian, pada awal Maret 2022, isu Presiden Jokowi tiga periode muncul lagi dan menjadi perbincangan ramai di media sosial dan media massa. Gagasan isu ini mengalami perubahan, dari yang semula tentang diperbolehkannya Joko Widodo kembali maju dalam Pilpres 2024 menjadi penundaan Pemilu 2024. Yang tetap sama ialah didorongnya perubahan konstitusi atau amendemen UUD 1945.
Peralihan gagasan isu ini disebabkan oleh elite politik yang melempar wacana dengan menyeret-nyeret suara publik. Di tataran elite politik, yang pertama kali membawa lagi isu ini ke permukaan ialah Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Menurut dia, usulan penundaan pemilu juga menjadikan suara publik dari big data di media sosial sebagai landasan. Dari analisis big data tersebut, Muhaimin menyampaikan bahwa, dari 100 juta subyek akun, ditemukan 60 persen mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak (Kompas, 13/3/2022).
Sepaham dengan Muhaimin, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga menyatakan hal serupa. Dalam siniar bersama Deddy Corbuzier, Jumat (11/3), ia mengklaim bahwa ada suara publik meminta penundaan pemilu. Dalam kesempatan itu pula, Luhut menyebut aspirasi itu datang dari 110 juta akun media sosial yang kemudian menjadi bahan perbincangan panas di media sosial.
Pantauan media
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode masih menjadi perhatian publik, baik di media massa maupun media sosial. Berdasarkan pantauan Litbang Kompas melalui aplikasi Talkwalker selama sepekan (7-13 Maret 2022), terdapat 15.200 perbincangan warganet dari berbagai platform media sosial terkait kata kunci ”presiden” dan ”perpanjangan”. Kata kunci ini digunakan untuk menyamakan query dengan media monitoring lainnya, seperti Drone Emprit dan Lab45, yang telah melakukan pemantauan di awal Maret 2022.
Lainnya, perbincangan ini telah menghasilkan interaksi sebanyak 107,5 juta akun pengguna media sosial dengan potensi jangkauan ke 40 miliar akun pengguna ataupun media massa digital. Dari segi sentimen, wacana tiga periode mendapat 33,9 persen sentimen negatif dan 1,3 persen positif. Artinya, jauh lebih banyak akun pengguna yang aktif berinteraksi mengungkapkan emosi marah, kecewa, sedih, dan ketidaksetujuan terhadap wacana ini.
Puncak pertama perbincangan warganet terkait isu perpanjangan masa jabatan presiden berada di Senin 7 Maret 2022 pada pukul 20.00 hingga 21.00. Menariknya, puncak percakapan ini dipicu konten video yang menampilkan pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD tentang tidak adanya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Dengan pernyataan inilah, perbincangan warganet terkait isu ini perlahan menurun intensitasnya dan mulai hilang, seakan semua kegaduhan sudah mendapat jawabannya.
Isu ini kembali dipanaskan dan mendidih sehingga menghasilkan puncak percakapan selanjutnya pada 12 Maret 2022 pukul 17.00 hingga 18.00. Kembali panasnya isu ini dipicu oleh perbincangan warganet yang menanggapi pernyataan Luhut dalam siniar bersama Deddy Corbuzier yang dirilis di Youtube sehari sebelumnya. Maka, akhir pekan lalu, isu ini kembali mengisi perbincangan di media sosial terkait klaim Luhut atas olahan big data dari 110 juta akun.
Sosok Luhut tampaknya menjadi sosok yang menyedot perhatian warganet di isu perpanjangan masa jabatan presiden. Pemberitaan yang diunggah akun media massa digital Tempo (@tempodotco) di Twitter pada 7 Maret 2022 justru kembali mendapat respons dari publik dengan posting ulang, retweet, atau likes. Dilihat dari tanggal publikasinya, jelas bahwa pemberitaan tersebut dirilis seminggu sebelum dirilisnya siniar Luhut bersama Deddy Corbuzier di kanal Youtube.
Dalam pemberitaan tersebut dituliskan, berdasarkan laporan majalah Tempo edisi 5 Maret 2022, Luhut meminta ketua umum partai menyuarakan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dan penundaan Pemilu 2024. Konten tersebut telah menghasilkan 3.600 interaksi (1.200 retweet, 181 posting ulang, dan 2,4 likes) di kalangan warganet. Berkat itulah, tagar #TempoNasional menjadi tagar terpopuler dalam isu ini.
Sementara itu, akun-akun media sosial yang paling berpengaruh kali ini didominasi oleh situs berita daring, seperti CNN Indonesia, Tempo, Republika, dan Detik. Dilihat dari kontennya, situs-situs berita daring ini mencantumkan nama Luhut dalam judul pemberitaannya terkait isu perpanjangan masa jabatan presiden. Artinya, menjadi tokoh penting dalam pusaran isu ini dibandingkan dengan nama Joko Widodo yang saat ini menjabat sebagai Presiden RI.
Dalam rekaman percakapan terpopuler, setidaknya ada dua hal yang dominan. Pertama, publik menyorot pernyataan Luhut yang menyertakan klaim big data. Kedua, ketidaksetujuan publik terhadap perpanjangan masa jabatan presiden karena harus mengubah konstitusi dan merusak amanah demokrasi.
Pentingnya pernyataan
Kembali ke hasil traffic perbincangan warganet, isu perpanjangan masa jabatan presiden sebenarnya sudah mereda di tataran publik sejak Presiden Jokowi menyatakan dirinya akan taat, tunduk, dan patuh pada konstitusi, Jumat (4/3/2022). Sikap pemerintah ini dipertegas oleh Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut tidak ada penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Namun, perbincangan dalam isu ini kembali naik ketika pernyataan Luhut dalam siniar bersama Deddy Corbuzier yang memunculkan adu klaim data. Dalam percakapan di media sosial, pernyataan tokoh politik menjadi hal penting karena warganet dapat menggunakan pernyataan tersebut untuk memperkuat argumennya.
Bagi simpatisan atau oposisi, tentu saja pernyataan tokoh terkait dapat menjadi bahan untuk mendukung atau menyerang kubu politik yang bersangkutan. Bahayanya, di tangan para buzzer dan bot, pernyataan kontroversial dapat menjadi bahan untuk menggiring opini publik. Di sinilah, media sosial menjadi sarana untuk amplifikasi narasi sehingga publik di dunia nyata dapat dimanipulasi opininya.
Maka, dari isu ini seharusnya pejabat pemerintah pusat dapat diingatkan kembali untuk berhati-hati dan konsisten dalam membuat pernyataan publik. Jangan sampai publik dibiarkan bingung dan terpecah belah akibat wacana yang sekadar dilempar begitu saja tanpa kejelasan lebih lanjut. (LITBANG KOMPAS)