Berkali-kali usulan penambahan masa jabatan muncul dan berkali-kali pula Presiden Jokowi menegaskan tunduk dan taat pada konstitusi. Publik perlu terus menjaga Presiden agar tak tergiur untuk menambah masa kekuasaannya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Semenjak era Reformasi, wacana mengenai penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden-wakil presiden kerap kali mengemuka di periode kedua pemerintahan. Selama itu juga, wacana yang tak sejalan dengan konstitusi dan amanat Reformasi 1998 tersebut tak pernah terlaksana. Kewaspadaan publik terhadap wacana ini tak boleh goyah karena bisa saja muncul kembali di waktu yang tidak terduga.
Wacana penambahan masa jabatan presiden-wapres dari dua periode menjadi tiga periode pertama kali muncul pada pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Wacana itu dilontarkan Ruhut Sitompul pada April 2014, menjelang berakhirnya masa jabatan Yudhoyono bersama Wapres Boediono. Kala itu, Ruhut merupakan anggota Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Gagasan penambahan periode jabatan presiden kembali muncul di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, kali ini ada dua usulan, yakni penambahan batasan jabatan menjadi tiga periode dan perpanjangan masa jabatan satu-dua tahun sebagai konsekuensi dari penundaan Pemilihan Umum 2024. Sejauh ini, wacana itu sudah tiga kali muncul, yakni pada Desember 2019, Maret 2021, dan Februari 2022.
Dalam pernyataan terakhirnya kepada Kompas, Presiden Jokowi menegaskan, wacana seperti penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena hal itu bagian dari demokrasi. Namun, semua pihak, termasuk dirinya, tidak hanya harus taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi.
”Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini, kan, demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” ujar Presiden.
Sekalipun wacana itu berkali-kali muncul, Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amendemen pertama yang membatasi masa jabatan tak pernah berubah. Begitu pula pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 hasil amendemen ketiga.
Meski demikian, wacana penundaan pemilu yang terjadi Februari lalu cukup menarik perhatian publik. Musababnya, wacana itu dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan didukung Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Bahkan, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga menerima aspirasi perpanjangan masa jabatan presiden hingga dua tahun yang disampaikan para petani di Siak, Riau. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu sampai berjanji akan membicarakannya dengan ketua umum parpol lain.
Wacana itu tentu menuai pro dan kontra. Setelah Muhaimin melontarkan gagasan, hampir setiap hari ruang publik dipenuhi dengan diskusi mengenai penundaan pemilu. Masyarakat sipil bahkan menginisiasi petisi daring ”Tolak Penundaan Pemilu 2024”. Dalam satu pekan, petisi di laman Change.org itu telah ditandatangani lebih dari 22.800 orang.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menilai, sah-sah saja jika wacana mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden disampaikan oleh parpol. Namun, Presiden Jokowi konsisten dengan apa yang disampaikan sejak awal bahwa dirinya selalu taat pada konstitusi dan UUD 1945.
Presiden Jokowi selalu mendengarkan aspirasi masyarakat dalam merespons wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Presiden juga melihat dari hasil survei, di antaranya dari Saiful Mujani Research and Consulting, Lembaga Survei Indonesia, dan Lab45 yang hasilnya mayoritas publik tidak setuju dengan penundaan pemilu.
”Saya rasa, selain mendengarkan aspirasi masyarakat, Presiden juga menginginkan demokrasi itu terjaga sehat karena beliau adalah produk demokrasi itu sendiri,” ujar Jaleswari dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Siapa Mau Tunda Pemilu?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (9/3/2022) malam.
Saya rasa, selain mendengarkan aspirasi masyarakat, Presiden juga menginginkan demokrasi itu terjaga sehat karena beliau adalah produk demokrasi itu sendiri
Acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri secara virtual oleh Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, Ketua DPP Partai Nasdem Taufik Basari, pakar politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, dan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti.
Jaleswari menegaskan, sikap Presiden terhadap wacana penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden tidak pernah berubah sejak beberapa tahun lalu. Sekalipun dalam pernyataan terakhir dianggap multitafsir, Presiden tetap berkomitmen taat konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Jazilul menjelaskan, usulan Muhaimin itu bukan tiba-tiba saja dilontarkan. Gagasan penundaan pemilu merupakan masukan dari sejumlah pihak. Dalam negara demokrasi, wacana semacam itu sah-sah saja dilontarkan sepanjang tetap pada koridor konstitusi. ”Kita tunggu prosesnya saja, apakah usulan ini bisa difaktualkan atau tidak,” ujarnya.
Sementara ini, PKB masih mengumpulkan pendapat dari parpol lain. Sebab, penundaan pemilu merupakan keputusan politik yang tentu memerlukan persetujuan dari parpol lain. Selain itu, PKB juga masih memantau reaksi publik, baik yang menolak maupun mendukung, karena wacana itu tak bisa diusulkan tanpa dukungan rakyat.
Wacana elite
Kendati masukan dari rakyat menjadi dalih para ketua umum parpol mengusulkan penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden-wapres, Taufik menilai, wacana itu merupakan wacana elite. ”Wacana ini bukan berasal dari akar rumput sehingga penundaan pemilu tidak bisa disebut sebagai kebutuhan rakyat,” ujarnya.
Akan lebih baik jika para elite parpol mengakhiri wacana ini sesuai dengan kehendak rakyat. Masih banyak hal yang perlu diselesaikan, salah satunya membangun sistem yang partisipatif dalam menentukan bakal calon presiden.
Publik juga perlu terus meningkatkan kewaspadaan. Sebab, menurut Bivitri, sudah ada pengalaman empirik yang tidak terduga seperti pembahasan UU KPK dan UU Cipta Kerja. ”Publik jadi punya pengalaman bahwa waspadalah terhadap situasi politik yang tengah terjadi,” ucapnya.
Kekhawatiran itu juga disebabkan cukup mudahnya mengubah konstitusi. Bivitri menilai, ketentuan untuk mengubah konstitusi di Pasal 37 UUD 1945 cukup longgar karena hanya mensyaratkan jumlah kursi tanpa perlu syarat partisipasi bermakna dan syarat-syarat lain seperti dalam mengubah UU
Oleh karena itu, pejabat publik semestinya tidak membicarakan hal-hal yang berlawanan dengan konstitusi. Sebab etika pejabat publik harus dijaga karena telah berjanji untuk setia pada konstitusi, termasuk Presiden yang menyatakan sumpah setia kepada konstitusi. "Lucu-lucuan di warung kopi boleh, tetapi kalau pejabat yang menyatakan think tank, saya kira publik menjadi perlu gelisah agar tidak kecolongan," tutur Bivitri.
Bahkan, lanjut ia, pembicaraan soal ini pun dinilai sudah inkonstitusional karena melanggar gagasan pembatasan kekuasaan yang diatur dalam amandemen pertama UUD 1945. Wacana itu bukan hanya berdampak pada penundaan pemilu, bahkan bisa berdampak pada kualitas demokrasi. Sebab kualitas demokrasi salah satunya bergantung pada pemilu yang diselenggarakan secara rutin dan membutuhkan sirkulasi elite.
Kristiadi memperkirakan, Jokowi tidak akan mempertaruhkan marwah dan martabatnya untuk mencabut apa yang sudah dikatakan sebelumnya. Rakyat perlu terus memperkuat iman Jokowi agar tidak tergiur dengan usulan para elite politik. Jangan sampai Presiden memberikan warisan yang tidak benar kepada para penerusnya. Jangan sampai pula demokrasi justru menjadi instrumen para otoritarian yang ingin mempertahankan kekuasaan.