Mahfud MD: Tak Pernah Ada Pembicaraan di Internal Pemerintah Soal Penundaan Pemilu
Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan, Presiden Jokowi justru menginstruksikannya untuk memastikan penyelenggaraan pemilu pada 2024 dan berkomunikasi dengan penyelenggara pemilu guna menentukan jadwal pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, tidak pernah ada pembahasan di internal pemerintah tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden, baik menjadi tiga periode maupun memperpanjang satu atau dua tahun.
”Sama sekali tidak pernah ada pembicaraan masalah penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan tersebut,” ujar Mahfud MD melalui keterangan video, Senin (7/3/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo dalam dua kali rapat kabinet, pada 14 dan 27 September 2021, justru meminta Menko Polhukam, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 berjalan aman dan lancar. Presiden pun berpesan agar Pemilu 2024 tidak memboroskan anggaran, tidak terlalu lama masa kampanyenya, dan tak terlalu lama jarak antara pemungutan suara dan hari pelantikan pejabat-pejabat hasil pemilu ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Selain itu, Presiden meminta Menko Polhukam, Mendagri, dan Kepala BIN untuk berkomunikasi dengan penyelenggara pemilu guna menentukan jadwal pemilu.
Presiden kemudian menyetujui pemungutan suara pemilu dilakukan pada 14 Februari 2024. Setelah itu, Presiden menekankan lagi kepada Menko Polhukam dan Mendagri agar betul-betul mempersiapkan semua instrumen yang diperlukan untuk pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak tahun 2024.
”Dengan demikian, sikap Presiden sudah jelas tentang jadwal penyelenggaraan pemilu tahun 2024,” tutur Mahfud.
Pada Jumat (4/3/2022), Presiden Joko Widodo menyatakan, dirinya akan taat, tunduk, dan patuh pada konstitusi. Hal ini disampaikan terkait adanya polemik penundaan pemilu. Adanya usulan dari menteri ataupun partai politik tentang penundaan pemilu tak bisa dilarangnya karena hal itu bagian dari demokrasi. ”Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” kata Presiden (Kompas, 4/3/2022).
Usulan penundaan pemilu pernah dilontarkan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, awal Januari lalu. Usulan tersebut kembali menghangat dua pekan terakhir atau setelah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menyampaikan usulan senada. Usulan tersebut lantas didukung Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan. Namun, munculnya usulan itu disertai penolakan kuat dari publik.
Salah satunya terlihat dari petisi daring bertajuk ”Tolak Penundaan Pemilu 2024” yang diinisiasi sejumlah kelompok masyarakat sipil, lima hari lalu. Hingga kini petisi telah ditandatangani lebih dari 2.000 orang. Dukungan penolakan juga disertai ajakan pemasangan tweetbond di sejumlah platform media sosial.
”Banyaknya orang yang menandatangani petisi ini menunjukkan bahwa isu penundaan pemilu adalah isu yang cukup dekat dengan masyarakat dan banyak orang yang menyetujui penolakan penundaan Pemilu 2024,” kata salah satu inisiator petisi, Ihsan Maulana dari Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif.
Atas dasar itu, ia menilai, elite parpol yang sudah menyatakan penolakannya harus bisa mengajak parpol pendukung untuk menghentikan wacana penundaan pemilu dan kembali fokus untuk persiapan Pemilu 2024. Apalagi, ada anomali dari sejumlah parpol pendukung yang di satu sisi ingin menunda pemilu, tetapi di sisi lain terus melakukan safari politik untuk mencari dukungan publik agar bisa menang dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 2024.
Dengan kuatnya penolakan publik atas ide penundaan pemilu, Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengingatkan, jika ide itu tetap dipaksakan untuk direalisasikan bisa menjadi bumerang bagi partai politik yang mendukungnya.
”Jika tetap dipaksakan, akan kontraproduktif terhadap akseptabilitas tiga parpol pendukung karena gelombang penolakan publik cukup masif,” katanya.
Alih-alih melanjutkan wacana itu, Firman mengingatkan agar PKB serta PAN berupaya melakukan hal-hal yang bisa membuat publik melupakan sikap mereka terhadap penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Sebab Pemilu 2024 tinggal dua tahun lagi dan ingatan publik terhadap sikap mereka mungkin masih diingat hingga pemungutan suara.
Di sisi lain, ia mengajak publik untuk terus menggelorakan suara penolakan terhadap wacana tersebut. Konsistensi publik dalam menunjukan penolakan bisa membuat Presiden Jokowi tetap dengan sikapnya.
Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute Sayyidatul Insiyah menilai, apa pun alasannya, penundaan pemilu adalah bentuk pembangkangan terhadap Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Alasan stabilitas ekonomi untuk menunda pemilu tidak masuk akal karena saat ini pemerintah juga memindahkan ibu kota yang membutuhkan biaya besar juga dilakukan di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Usulan dari pengusaha tak bisa langsung diakomodasi karena kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan pengusaha yang merupakan segelintir kelompok saja.
”Kami mengingatkan agar elite politik di lingkungan parlemen maupun Istana tidak membuat kegaduhan dengan usulan perubahan rencana ketatanegaraan yang tak berlandaskan urgensi yang nyata,” ujarnya.
Selain itu, pemilu tidak hanya sebagai kontestasi penyaluran suara rakyat semata, tetapi juga sebagai momentum regenerasi aktor-aktor politik negara. Apalagi, rezim saat ini telah masuk pada periode kedua kepemimpinan. Jangan sampai kepemimpinan melebihi 10 tahun karena pembatasan masa jabatan telah diatur dalam konstitusi.
”Selain tidak sesuai dengan desain konstitusional negara, fenomena tersebut juga akan semakin membuka celah terjadinya korupsi karena kekuasaan yang mutlak,” katanya.