Elektabilitas Demokrat Melonjak di Survei ”Kompas”, Tanda ”Kuda Hitam” Kepakkan Sayap?
Dalam Survei Litbang ”Kompas” terbaru, elektabilitas Partai Demokrat melonjak dua kali lipat, dari 5,4 persen pada Oktober 2021 menjadi 10,7 persen.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·6 menit baca
Dalam Survei Kepemimpinan Nasional Kompas terbaru, elektabilitas Partai Demokrat melonjak dari 5,4 persen pada Oktober 2021 menjadi 10,7 persen. Partai besutan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu pun masuk tiga besar partai politik papan atas bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra.
Dengan angka itu, Partai Demokrat menggeser Partai Golkar yang pada survei sebelumnya menempati peringkat ketiga. Meski elektabilitas Partai Golkar juga naik dari 7,3 persen di Oktober 2021 menjadi 8,6 persen, kenaikannya tidak sebesar Partai Demokrat.
Lantas, apakah hasil survei ini merupakan penanda bahwa Partai Demokrat benar-benar bisa menjadi ”kuda hitam” sebagaimana disebut sang Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono?
Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, Partai Demokrat menduduki peringkat ketujuh dengan perolehan 7,77 persen suara sah nasional. Angka itu juga berada di bawah raihan suara Partai Golkar sebesar 12,1 persen.
Setelah Yudhoyono tak lagi menjabat sebagai Presiden pada 2014, Demokrat memang mengambil posisi di luar pemerintahan. Selama delapan tahun, partai berlambang bintang mercy itu konsisten berada di luar pemerintahan. Berkali-kali, baik Yudhoyo maupun Agus, menegaskan bahwa Demokrat mengambil posisi sebagai pengawas dan penyeimbang pemerintah.
Meski sempat dihantam isu kudeta, nyatanya Demokrat tak sampai goyah. Justru, isu kudeta itu yang melecut para pimpinan dan kader Demokrat untuk mengintensifkan konsolidasi.
”Hasil survei Litbang Kompas ini membuat kami yakin bahwa kerja kami untuk berkoalisi dengan rakyat sudah benar dan sebagaimana arahan Ketua Umum agar tetap fokus, tidak terlena dan jemawa," kata Kepala Badan Komunikasi Strategis Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat yang juga Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra ketika dihubungi, Selasa (22/2/2022).
Herzaky menuturkan, sejak pandemi Covid-19 merebak, Ketua Umum Partai Demokrat telah memberi contoh dan menginstruksikan kepada seluruh kader untuk membantu rakyat dengan cara dan kapasitasnya masing-masing. Hal itu disebutnya sebagai wujud dari koalisi dengan rakyat.
Demokrat tentu mendukung kebijakan pemerintah yang memang baik, semisal realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di awal pandemi. Namun, Demokrat akan mengkritik habis-habisan jika ada kebijakan yang berdampak buruk bagi rakyat. Di antaranya penyusunan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja hingga yang terakhir adalah regulasi untuk pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan.
”Kritik kami berdasar, yakni berdasarkan kepentingan rakyat. Dan, masyarakat melihat Partai Demokrat konsisten,” ujar Herzaky.
Di sisi internal, Partai Demokrat terus melakukan konsolidasi. Untuk eksternal, Agus selalu ketua umum terus menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan berbagai elemen bangsa, tokoh masyarakat, ataupun organisasi. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Partai Demokrat memiliki semangat kolaboratif dengan siapa pun untuk membangun bangsa.
Hasil survei Litbang Kompas ini membuat kami yakin bahwa kerja kami untuk berkoalisi dengan rakyat sudah benar dan sebagaimana arahan Ketua Umum agar tetap fokus, tidak terlena dan jemawa.
Meski demikian, mengutip pernyataan Agus Harimurti Yudhoyono atau kerap disebut AHY, seluruh kader Demokrat diminta agar bersikap seperti ”kuda hitam”. Maksudnya, meski banyak survei memperlihatkan elektabilitas Partai Demokrat yang meningkat, seluruh kader diharapkan tidak bersikap sombong, jemawa, dan terlena. Sebaliknya, setiap kader diminta untuk tetap fokus membantu rakyat dan kemudian muncul sebagai pemenang pada Pemilu 2024.
Masih rapuh
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya berpandangan, kenaikan elektabilitas Partai Demokrat sebagaimana terekam dalam survei Litbang Kompas tersebut akan menarik ketika dikaitkan dengan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi yang berada pada angka 73,9 persen. Dalam konteks itu, Partai Demokrat sebagai partai ”oposan” hanya bersaing dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam menjaring suara publik yang bukan merupakan pemilih Jokowi.
”Jadi, suara mereka yang tidak puas (terhadap pemerintah) itu diperebutkan oleh PKS dan Partai Demokrat. Dengan demikian, koalisi partai pendukung pemerintah yang tambun ini akan menguntungkan Partai Demokrat dan PKS,” kata Yunarto.
Meski di satu sisi hal itu tampak menguntungkan, limpahan suara pemilih Partai Demokrat tersebut dinilai masih rapuh. Jika di kemudian hari terdapat partai pendukung pemerintah yang keluar dari koalisi, pemilih Partai Demokrat yang tidak puas terhadap pemerintah berpotensi untuk berpindah partai.
Oleh karena itu, menurut Yunarto, Partai Demokrat harus mempunyai variabel lain yang dapat membuat pemilihnya bertahan. Variabel yang pertama adalah membangun infrastruktur politik yang baik melalui proses perekrutan calon anggota legislatif dan membuka diri terhadap kader partai lain. Sebab, infrastruktur politik yang kuat akan menjadi fondasi yang bagus, alih-alih hanya memosisikan diri sebagai partai oposan.
Variabel yang kedua adalah mendorong ”efek ekor jas” dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang dilaksanakan bersamaan pada 2024 dengan menaikkan elektabilitas AHY. Termasuk menggaungkan narasi mengenai AHY sebagai sosok bakal calon presiden, bukan wakil presiden.
Oleh karena itu, alih-alih menggunakan istilah kuda hitam, Partai Demokrat mestinya tampil dengan percaya diri. Sebab, mereka adalah partai yang pernah berkuasa selama dua periode dan pernah menjadi pemenang pemilu. Sementara istilah kuda hitam lebih tepat disematkan kepada partai yang belum pernah menjadi pemenang pemilu atau partai menengah.
”Partai Demokrat pernah menjadi partai pemenang pemilu. Istilah kuda hitam itu malah memosisikan mereka sebagai partai menengah dan itu menodai sejarah bahwa mereka sebenarnya pernah menjadi partai yang berkuasa selama dua periode,” tutur Yunarto.
Bersikap rasional
Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, berpandangan, isu kudeta politik menjadi salah satu pendorong naiknya elektabilitas Demokrat. Polemik itu telah membuat sejumlah pihak bersimpati kepada Demokrat. Selain itu, AHY juga dinilai aktif dan agresif dalam melakukan kampanye politik, termasuk melakukan konferensi pers dan memasang baliho.
Meski demikian, Adi mengingatkan bahwa di antara pemilih Partai Demokrat tersebut terdapat masyarakat yang juga menyatakan kepuasannya terhadap pemerintah. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah pemilih yang rasional. Sebab, meski memilih partai di luar pemerintahan, mereka tetap bersikap rasional dengan menyatakan kepuasan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
Menurut Adi, selama ini Partai Demokrat telah cukup keras melontarkan kritik terhadap pemerintah yang salah satunya demi mendapatkan simpati publik. Namun, Adi mengingatkan, jangan sampai kritik tersebut kemudian terkesan ”nyinyir” dan tidak rasional. Sebab, hal itu bisa membuat sebagian pemilih rasional berpindah partai. ”Pemilih kita itu memang mudah berpindah, tergantung persepsi yang diciptakan dan tergantung momentum yang menentukan,” kata Adi.
Dengan potret survei Litbang Kompas tersebut, Adi berharap agar Partai Demokrat bersikap optimistis menyongsong Pemilu 2024. Alih-alih menggunakan istilah kuda hitam yang dinilai menunjukkan mental inferior, AHY diharapkan memprovokasi kadernya dengan istilah yang menggugah semangat.
Perlu diingat, pada debut pertamanya di Pemilu 2004, Demokrat langsung meraih 7,45 persen suara. Bahkan, pada Pemilu 2009, Demokrat berhasil meraup 20,4 persen suara dan menjadi pemenang, mengalahkan partai-partai besar, seperti Golkar dan PDI-P.
Naiknya elektabilitas Partai Demokrat berdasarkan survei adalah fakta. Apakah itu menjadi penanda sang ”kuda hitam” mulai mengepakkan sayapnya? Biarlah waktu yang berbicara....