Menebak Nasib ”Presidential Threshold” di Tangan Mahkamah Konstitusi
Para tokoh dengan elektabilitas tinggi berdasarkan survei Litbang ”Kompas” belum tentu berhasil maju di Pilres 2024. Syarat kepemilikan minimal 20 persen kursi DPR untuk mengusung capres-cawapres masih menjadi ganjalan.
Memasuki tahun politik pada 2022, bursa pencalonan presiden mulai menghangat. Sejumlah nama tokoh baru bermunculan dalam bursa capres. Hasil survei terakhir Litbang Kompas pada Januari menunjukkan, ada 13 nama tokoh capres yang berpotensi dengan derajat keterpilihan lebih dari 0,5 persen.
Sebagian besar tokoh dengan elektabilitas di atas 0,5 persen itu merupakan nama-nama yang sudah sejak lama meraih simpati publik. Tiga posisi teratas masih dikuasai Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan elektabilitas 26,5 persen, disusul Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (20,5 persen), dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan (14,2 persen). Ada pula nama Sandiaga Salahudin Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Gatot Nurmantyo, Mahfud MD, dan Puan Maharani.
Dalam survei yang dilakukan lewat wawancara tatap terhadap 1.200 responden dari 34 provinsi itu, muncul dua nama baru dalam daftar capres dengan elektabilitas di atas 0,5 persen. Mereka adalah Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan elektabilitas 2 persen dan Menteri BUMN Erick Thohir dengan derajat keterpilihan 1,1 persen.
Dari 13 nama itu, sebagian bukanlah pimpinan atau kader partai politik (parpol), di antaranya Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Andika Perkasa, Gatot Nurmantyo, Mahfud MD, dan Erick Thohir. Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan pasangan capres dan cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang menguasai minimal 20 persen kursi DPR atau meraih paling sedikit 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Jika dilihat dari kepemilikan kursi di DPR, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dapat mengusung capres-cawapres tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Saat ini, PDI-P menguasai 128 kursi atau 22,2 persen dari total 575 kursi DPR. Adapun Gerindra, meski ketua umumnya paling banyak mendapat simpati publik, tidak bisa mengusung capres-cawapres sendiri karena hanya memiliki 78 kursi atau 13,6 persen total kursi DPR.
Bisa dibilang, banyak parpol yang tak bisa mengusung capres-cawapres lantaran terganjal syarat ambang batas pencalonan presiden. Tidak sedikit pula kelompok masyarakat yang keberatan dengan syarat kepemilikan minimal 20 persen kursi DPR atau raihan suara nasional paling sedikit 25 persen pada pemilu sebelumnya.
Hal itu setidaknya terlihat dari banyaknya permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), sejak akhir tahun lalu. Pasal tersebut mengatur tentang syarat ambang batas pengajuan calon presiden/wakil presiden atau presidential threshold. Disebutkan, pasangan calon presiden/wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu dengan syarat menguasai paling sedikit 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Saat ini, MK telah meregister 13 permohonan uji materi Pasal 222 UU No 7/2017, tujuh di antaranya sudah dua kali disidangkan. Sidang perdana adalah pemeriksaan pendahuluan dimana para pemohon uji materi menjelaskan inti permohonannya dan mendapatkan nasihat-nasihat dari hakim panel. Sidang kedua adalah perbaikan permohonan.
Berdasarkan situs resmi MK, sembilan hakim konstitusi akan membacakan putusannya terhadap tujuh permohonan yang telah disidangkan. Permohonan tersebut antara lain diajukan oleh Musa Darwin Pane, Lieus Sungkharisma, Tamsil Linrung dkk, Ikhwan Mansyur Situmeang, Ferry Joko Yuliantono, Bustami Zainudin dan Fachrul Razi, serta Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Ferry merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra dan Lieus adalah juru kampanye Prabowo-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019. Sementara Gatot adalah mantan Panglima TNI yang namanya masuk daftar capres yang diminati publik dalam survei berbagai lembaga. Dalam survei Litbang Kompas pada Januari, Gatot berada di urutan 10 tokoh berpotensi capres dengan elektabilitas 1,4 persen.
Baca Juga: Parpol Masih Perjuangkan Kader Sendiri untuk Pilpres 2024
Adapun Tamsil, Bustami, dan Fachrul Razi saat ini merupakan anggota DPD. Sementara Ikhwan Mansur Situmeang adalah aparatur sipil negara pada Sekretariat Jenderal DPD.
Permohonan pengujian konstitusionalitas syarat ambang batas pencalonan presiden itu diperkirakan masih akan bertambah. Gugatan salah satunya akan dilayangkan oleh DPD secara kelembagaan. Dalam Rapat Paripurna DPD pada 18 Februari 2022 disepakati, DPD akan mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu.
Ketua DPD La Nyalla Matalitti menyebutkan bahwa kesepakatan itu diambil untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dan beberapa elemen organisasi kemasyarakatan yang diperoleh saat rapat dengar pendapat, focus group discussion (FGD), dan kunjungan kerja. Kantor hukum Integrity besutan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana akan menjadi kuasa DPD dalam uji materi tersebut.
Sebelum ada keputusan akan menguji norma syarat ambang batas pencalonan presiden secara kelembagaan, sebenarnya terdapat setidaknya 10 anggota DPD yang sudah mendahului jadi pemohon ke MK secara pribadi. Mereka adalah Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi (perkara 68/PUU-XIX/2021), Tamsil Linrung, Fahira Idris dan Edwin Pratama Putra (diregister dengan nomor perkara 6/PUU-XIX/2021).
Terakhir, ada perkara yang diajukan Ajbar, Muhammad J Wartabone, Eni Sumarni, M Syukur, Abdul Rachman Thana, diwakili kuasa hukumnya Ahmad Yani cs yang diregister pada 21 Februari dengan nomor 21/PUU-XX/2022.
Putusan NO
Dalam beberapa kali persidangan uji materi presidential threshold yang diikuti Kompas, hakim konstitusi menegaskan, tidak tertutup kemungkinan pandangan MK bergeser dari putusan sebelumnya. Presidential threshold merupakan open legal policy atau kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Namun, ada satu poin yang hampir selalu diungkapkan oleh hakim panel kepada para pemohon, yaitu MK minta diberi alasan yang kuat agar dapat bergeser dari putusan sebelumnya.
Dugaan saya MK kembali ke putusan Rizal Ramli yang bilang legal standing (pemohon) harus parpol peserta pemilu.
Melihat cepatnya MK memutus hanya setelah dua kali persidangan, Denny Indrayana yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara memprediksi, lembaga peradilan politik itu akan menyatakan permohonan-permohonan yang diajukan niet ontvankelijke verklaard (NO). MK tidak dapat menerima permohonan pengujian tersebut.
”Dugaan saya MK kembali ke putusan Rizal Ramli yang bilang legal standing (pemohon) harus parpol peserta pemilu,” ujar Denny.
Baca Juga: MK Minta Pemohon Perkuat Argumentasi Penghapusan ”Presidential Threshold”
Putusan yang dimaksud Denny adalah putusan nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang menolak permohonan Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno. Dalam permohonan tersebut Rizal Ramli mendalilkan bahwa Pasal 222 UU No 7/2017 telah menyebabkan kerugian konstitusional karena menghalangi dirinya untuk mencalonkan diri dalam pemilu presiden. Sementara pemohon II, yaitu Abdulrachim, merasa hak konstitusionalnya untuk memilih terlanggar oleh aturan tersebut.
Dalam putusannya, MK menyatakan keduanya tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk menguji ketentuan tentang presidential threshold. Karena Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa yang berhak mencalonkan presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Apabila hal itu dijabarkan dalam Pasal 222, maka yang memiliki hak kerugian konstitusional atas berlakukan ketentuan presidential threshold adalah partai politik atau gabungan partai politik. Pertanyaannya kemudian partai politik yang mana?
”Subyek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dan oleh karenanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan norma yang dimohonkan pengujian oleh para pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Hal ini telah secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945,” kata MK dalam pertimbangan putusan 74/PUU-XVIII/2020 halaman 44. Dalam putusan ini, empat hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Manahan Sitompul, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Denny menyadari akan hal ini; bahwa MK mengetatkan legal standing dalam pengujian Pasal 222 UU No 7/2017 hanyalah parpol peserta pemilu. Terkait dengan hal tersebut, pihaknya saat ini sedang mendekati partai-partai politik peserta pemilu, khususnya nonparlemen, seandainya ingin mengajukan uji materi ketentuan yang sama. ”Kami juga siap-siap di-NO untuk pemohon diaspora dan Partai Umat,” ujar Denny.
Seperti diketahui, kantor hukum Integrity juga mewakili sejumlah warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri untuk mempersoalkan hal yang sama. Partai Umat pun mempercayakan kepada Denny untuk mewakili mereka di MK. Dua perkara tersebut hingga kini belum disidangkan.
Lawan oligarki
Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PIHAK) Indonesia Wiwik Budi Wasito mengatakan sepakat dengan Denny bahwa kemungkinan besar tujuh perkara pengujian Pasal 222 tersebut kandas dengan hanya dua kali persidangan dengan putusan NO. Ada dua kemungkinan alasan mengapa putusan NO, yaitu ada persoalan legal standing atau karena sudah pernah diputus MK sebelumnya sehingga nebis in idem.
Meskipun demikian, Wiwik mengungkap ada kemungkinan lain, MK bisa jadi akan mengabulkan permohonan. Sidang cukup dua kali karena MK menganggap persoalan presidential threshold sudah clear atau sudah jelas sehingga tidak perlu lagi memanggil para pihak.
Ia berharap, meskipun sudah berulang kali diputus dan dinyatakan bahwa persoalan presidential threshold merupakan open legal policy, MK tetap harus melihat konteks persoalan saat ini. ”Kalau kemudian katakanlah cara kerja partai seperti sekarang, hanya mengerucutkan ke dua pasangan calon presiden/wakil presiden, kan, sama saja menggembosi aspirasi publik. Aturan ini memang menyambung sejak zaman SBY pertama menjadi presiden. Itu awal reformasi ketika demokrasi bisa menghasilkan banyak calon presiden. Namun, kalau sekarang, sudah mengarah ke oligarki,” tuturnya.
MK, menurut dia, perlu memberikan solusi baru, kebijakan hukum baru, untuk mewadahi aspirasi publik. Apalagi, saat ini banyak pihak yang merasa cemas terhadap kondisi ketika oligarki semakin mencengkeram negeri.
”Kalau seperti ini, apa bedanya dengan Orde Baru. Pasangan calon cuma dua. Bisa jadi kaya sandiwara. Siapa yang menang akan menjadikan mereka yang kalah sebagai menteri. Akan tetapi, (persoalannya) cuma ada dua pasangan calon. Enggak ada alternatif lain. Bisa jadi publik jengah. Enggak terwakili aspirasinya,” ujarnya.
Siapa pun bisa berharap keinginan agar MK menghapus pasal ambang batas pencalonan presiden dihapus.Namun, yang pasti, putusan tetap ada di tangan sembilan hakim MK pada sidang Kamis esok.