Sejumlah fraksi di Komisi II DPR menilai, paparan dari sejumlah calon anggota Komisi Pemilihan Umum saat uji kelayakan dan kepatutan di hari pertama, Senin, cenderung sebatas konseptual. Harusnya calon paparkan eksekusi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah fraksi di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat menilai, paparan dari sejumlah calon anggota Komisi Pemilihan Umum saat uji kelayakan dan kepatutan pada hari pertama, Senin (14/2/2022), cenderung sebatas konseptual. Calon penyelenggara pemilu diminta memperkuat teknis operasional karena kesuksesan pemilu turut dipengaruhi implementasi penyelenggara ad hoc di lapangan.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Komarudin Watubun, di sela uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu di Kompleks Senayan, Jakarta, menilai, dari segi teori, paparan dari semua calon anggota KPU bagus. Hal itu tak terlepas dari semua yang lolos pada tahap ini memiliki pengalaman yang cukup di kepemiluan, ada yang merupakan incumbent (petahana), anggota KPU provinsi, dan aktivis pemilu.
Menurut dia, calon yang lolos di tahapan seleksi di DPR pada umumnya sangat menguasai teori. Namun, ia mengingatkan bahwa urusan pemilu tidak hanya soal aturan yang bagus, tetapi juga urusan pencoblosan di tempat pemungutan suara yang dilakukan petugas ad hoc. Oleh sebab itu, gagasan yang diungkapkan harus didetailkan hingga tahap operasional. Sebab, kualitas pemilu tidak hanya ditentukan aturan yang bagus, tetapi juga teknis pelaksanaan yang bagus oleh eksekutor di TPS.
”Saya lihat mereka belum masuk benar ke detail seperti harapan saya, masih ngambang,” katanya.
Saya lihat mereka belum masuk benar ke detail seperti harapan saya, masih ’ngambang’.
Komarudin menilai, semestinya calon anggota KPU bisa memberikan paparan di tataran eksekusi yang nantinya akan diimplementasikan oleh petugas ad hoc. Ia pun mengingatkan bahwa pelaksanaan pemilu yang sukses tidak hanya dibutuhkan orang yang pintar bicara, tetapi juga pintar bekerja. Operasional itu dimulai dari perekrutan petugas ad hoc yang berkualitas hingga membuat aturan teknis pelaksanaan yang mudah dilaksanakan oleh petugas dengan latar belakang pendidikan yang beragam.
”Pemilu yang berkualitas tidak hanya perlu memenuhi syarat prosedur, tetapi hingga tataran implementasi. Maka, penguatan di tataran bawah sangat penting karena kalau implementasinya benar, kecurangan akan sulit terjadi,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luqman Hakim berharap waktu satu jam harus dimanfaatkan secara maksimal oleh calon anggota KPU dan Bawaslu. Mereka harus lebih efektif menyampaikan penjelasan secara singkat konsep dan operasional gagasan yang dibawa.
”Tidak hanya gagasan, tetapi gambaran operasional,” ucapnya.
Secara umum, ia menilai gagasan yang ditawarkan oleh calon anggota KPU cukup baik. Maka, dalam pembuatan aturan turunan, pihaknya akan memastikan konsep-konsep yang ditawarkan saat uji kelayakan dan kepatutan benar-benar akan diimplementasikan. Sebab, dalam pembuatan Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu, penyelenggara akan berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah.
”Kami punya ruang untuk menjaga dan mengingatkan adanya kebutuhan inovasi yang pernah disampaikan saat uji kelayakan dan kepatutan,” ujar Luqman.
Belum terlihat
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, menilai, kebutuhan anggota KPU dan Bawaslu yang akan dipilih nanti adalah penguatan soal detail dan rencana dalam menjawab tantangan kompleksitas Pemilu 2024. Namun, dari sebagian calon itu belum terlihat yang memaparkan rencana sebagai problem solver atas kerumitan penyelenggaraan Pemilu 2024. Seharusnya, ketika uji kelayakan dan kepatutan sudah bicara soal detail implikasi teknis tahapan, terutama ketika pemilu dan pilkada dilakukan tahun yang sama dan tahapan yang bersamaan.
”Sayangnya, Komisi II DPR juga tidak bertanya dan mendalami soal itu. Harusnya di tahap uji kelayakan dan kepatutan, secara konsep semua calon dianggap layak,.
Sayangnya, Komisi II DPR juga tidak bertanya dan mendalami soal itu. Harusnya di tahap uji kelayakan dan kepatutan, secara konsep semua calon dianggap layak.
Menurut Fadli, ide dan detail implementasi gagasan seharusnya digambarkan oleh calon anggota KPU yang menjalani uji kelayakan dan kepatutan pada hari pertama. Sebab, pada hari pertama ada petahana, anggota KPU provinsi, dan masyarakat sipil yang gagasannya bisa digali lebih dalam. ”DPR jangan berlama-lama di gagsan, konsep, dan teori karena itu sudah selesai, justru perlu memperdalam solusi teknis manajemen tahapan di 2024,” ujarnya.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan hari pertama, ada delapan orang yang mengikuti tahapan ini. Mereka adalah August Mellaz (Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi), Betty Epsilon Idroos (Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta 2018-2023), Dahliah (Ketua Network for Indonesia Democratic Society), Hasyim Asy’ari (anggota KPU 2017-2022), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (anggota KPU 2017-2022), Idham Holik (anggota KPU Provinsi Jawa Barat 2018-2023), Iffa Rosita (anggota KPU Provinsi Kalimantan Timur 2019-2024), dan Iwan Rompo Banne (anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara 2018-2023).
August memiliki visi mewujudkan integritas penyelenggaraan Pemilu 2024 melalui penguatan ekosistem pemilu yang partisipatif. Visi itu akan diwujudkan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia di jajaran KPU, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pemilih akan pentingnya berpartisipasi dalam pemilu, memperkuat koordinasi antarpemangku kepentingan pemilu, serta optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu.
Dalam ekosistem pemilu, ia menilai keterlibatan para pihak merupakan variabel penting. Oleh sebab itu, setiap pihak yang terlibat tidak akan ada satu pun yang ditinggalkan sejak dalam proses agar semua pihak bisa menerima hasil yang telah disepakati. ”Saya akan menjaga komunikasi dan kedekatan yang sama dengan parpol, pemerintah, dan Komisi II DPR karena tantangan (Pemilu 2024) sulit sehingga tidak perlu menambah masalah yang tidak perlu,” ujarnya.
Adapun Betty memaparkan strategi menghadapi potensi krisis Pemilu dan Pilkada 2024. Tema itu diambil karena pada Pemilu 2024 bisa jadi akan mengalami krisis tak terduga. ”Pemilu sukses ditentukan tiga hal, yakni kredibilitas dan profesionalitas penyelenggara, perbaikan dan penguatan penyelenggaraan, serta kualitas dan partisipasi pemilih dan peserta,” katanya.
Pemilu sukses ditentukan tiga hal, yakni kredibilitas dan profesionalitas penyelenggara, perbaikan dan penguatan penyelenggaraan, serta kualitas dan partisipasi pemilih dan peserta.
Tiga penguatan
Sementara Hasyim menilai, untuk menjadikan pemilu berkualitas, KPU harus melakukan tiga hal. Pertama, KPU menyediakan PKPU dan SOP untuk semua kegiatan proses pemilu sebagai bentuk jaminan tersedianya kepastian kerangka hukum pemilu. Kedua, KPU melaksanakan segenap proses pemilu berdasarkan kerangka hukum dan melakukan langkah pelatihan, supervisi, monitoring, dan pengendalian untuk memastikan proses pemilu diselenggarakan berdasarkan kerangka hukum yang telah ditetapkan. Jika ada yang tidak sesuai, KPU harus melakukan tindakan evaluasi dan koreksi.
”Ketiga, KPU melakukan penguatan lembaga berupa penguatan sumber daya manusia dan optimalisasi penggunaan teknologi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang akuntabel, transparan, profesional berdasarkan hukum,” katanya.
Adapun Idham memaparkan gagasannya dalam mengelola irisan tahapan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Ia juga menginisiasi inovasi kebijakan manajemen badan ad hoc, salah satunya tidak adanya pembatasan dua periode badan ad hoc. Konsep pengurangan masa kampanye, persyaratan usia KPPS di rentan 17 tahun hingga 45 tahun, dan penghitungan suara diusulkan oleh dua tim untuk mengurangi beban sekaligus mempercepat selesainya tahapan itu.