Pembuktian Dalil Kecurangan Penyusunan DPT Kembali Berulang di Persidangan MK
Dalil kecurangan atau kelalaian dalam penyusunan daftar pemilih tetap kembali coba dibuktikan di sidang perselisihan hasil pemilu di MK. Di Pemilihan Presiden 2009 dan 2014, dalil DPT juga sudah muncul.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dugaan kecurangan atau kelalaian dalam pemutakhiran daftar pemilih tetap atau DPT menjadi isu sentral dari permohonan sengketa hasil pemilihab presiden, sejak tahun 2009 hingga 2019. DPT kembali menjadi salah satu dalil kecurangan yang berusaha dibukti oleh pemohon dalam persidangan pembuktian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, Rabu (19/6/2019).
DPT yang merupakan pondasi dari pencatatan pemilih yang berhak memberikan suaranya di dalam pemilu, dari pemilu ke pemilu selalu menjadi fokus dugaan kecurangan. DPT merupakan isu strategis, karena kemampuan pembuktian dalam dalil kecurangan terkait DPT akan bisa berdampak pada perolehan suara. Para pihak yang berperkara di MK dalam sengketa hasil pilpres, dalam sejarahnya, beradu bukti dalam meyakinkan hakim konstitusi tentang ada tidaknya kecurangan dalam penyusunan basis data pemilih tersebut.
Permohonan sengketa hasil pilpres ke MK yang diajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014 juga mendalilkan adanya kecurangan atau kelalaian dalam penyusunan DPT. Dalil yang sama ke MK juga pernah diajukan oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kall-Wiranto dalam Pilpres 2009.
Persidangan pembuktian, Rabu, mengagendakan mendengar keterangan saksi dari pemohon, yakni pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dalam sidang itu, sejumlah saksi mengungkapkan adanya dugaan kecurangan DPT. Saksi Agus Maksum dari Sidoarjo, Jawa Timur; dan Idham dari Makassar, Sulawesi Selatan, mengungkapkan dugaan kecurangan DPT itu dilakukan melalui proses pemutakhiran data yang tidak teliti.
Saksi Agus Maksum mengatakan, ia selaku tim ahli TI Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menemukan nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK) yang diduga palsu atau tidak sesuai dengan ketentuan, serta adanya data pemilih tidak wajar sebanyak 17,5 juta orang. Data pemilih itu berisikan data pemilih dengan tanggal lahir yang sama, yakni pada 1 Juli, 31 Desember, dan 1 Januari.
Menurut dia, pemilih yang lahir pada 1 Juli jumlahnya 9,8 juta, sedangkan 31 Desember 5,3 juta, dan 1 Januari 2,3 juta.
"Kami telah datang kepada ahli statistik dan mendapatkan keterangan, jumlah yang wajar ialah junmlah pemilih seleuruhnya 190 juta jiwa dibagi 365 hari, yakni 520 ribu saja. Kenapa muncul data yang lahir 1 Juli sebanyak 9,8 juta, atau 20 kali lipat dari jumlah yang wajar, sedangkan yang lahir 30 Desember sebanyak 10 kali lipat, dan yang lahir pada 1 Januari ada lima kali lipat dari jumlah yang wajar,” katanya.
Menurut Agus, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dengan tepat, sehingga pemutakhiran data sebenarnya tidak terjadi dengan sebagaimana mestinya. Terkait dengan data 17,5 juta ini, Agus mengaku mendapatkan penjelasan dari KPU.
“KPU menjelaskan tanggal lahir yang sama itu merupakan kebijakan untuk mencatat mereka yang tidak tahu tanggal lahirnya. Alasan itu dapat kami terima, tetapi yang tidak dapat kami terima ialah mengapa jumlahnya bisa sebanyak itu,” kata Agus.
Idham dari Sulsel mengatakan, dirinya mendapatkan data DPT dari Partai Gerindra. Setelah dikaji, ia menemukan ada data yang tidak wajar, antara lain NIK yang diduga rekayasa karena kodenya tidak sesuai dengan kode kecamatan tertentu, pemilih ganda, dan pemilih di bawah umur. Sebagian besar dugaan kecurangan dari analisisnya itu didapati di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
KPU menyangsikan
KPU selaku pihak termohon menyangsikan keterangan para saksi mengenai dugaan kecurangan DPT itu. Anggota KPU Viryan Azis mempertanyakan kepada Agus, mengenai apakah betul laporan tentang dugaan kecurangan 17,5 juta DPT invalid itu tidak ditindaklanjuti oleh KPU. Saksi membenarkan bahwa memang sudah ada tindak lanjut dari KPU terkait dengan laporan itu, tetapi tindakan KPU yang mengambil sampel 1.604 orang dari 17,5 juta jiwa yang dilaporkan itu dipandang tidak memadai.
Sementara itu, saksi-saksi berikutnya mengemukakan keterangan lain yang terkait dengan dugaan pencoblosan surat suara oleh anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), dugaan kecurangan dalam penghitungan suara di tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK), dugaan kecurangan oleh kepala daerah, serta dugaan kecurangan dalam input data sistem informasi penghitungan suara (Situng).
Sumber suara
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, DPT pada dasarnya adalah sumber suara. Mereka yang tercatat dalam DPT adalah warga yang akan memberikan suaranya. Oleh karena itu, ketidakvalidan DPT akan sangat berpengaruh pada raihan suara. Kondisi ini yang menyebabkan isu DPT dari pemilu ke pemilu menjadi sentral perhatian para peserta.
Sekalipun dari waktu ke waktu desain pemilu dan pemutakhiran data berusaha diperbaiki, tetapi isu DPT tetap akan menjadi perhatian karena terkait langsung dengan sumber suara.
“Mekanisme pemutakhiran data pemilih di Indonesia diadopsi oleh beberapa negara di dunia, karena dipandang penyusuannya terbuka, transparan, dan akuntabel. Tetapi masih ada celah memang yang harus diperbaiki, karena tidak semua tahapan atau proses pemutakhiran ini diikuti oleh publik dan peserta pemilu,” kata Titi.
Masih rendahnya kesadaran publik dan peserta pemilu untuk mengikuti tahapan dan proses pemutakhiran data ini mengakibatkan banyak dari mereka yang baru tersadar ada persoalan di saat-saat akhir menjelang pemilu. Kesempatan bagi publik untuk memeriksakan apakah dirinya sudah tercatat ataukah belum dalam DPT belum secara optimal dimanfaatkan.
Di sisi lain, akses dan konsolidasi data pemilih harus terus diperbaiki. Salah satu yang menjadi kendala ialah banyaknya lembaga yang terlibat dalam pemutkahiran data pemilih. KPU selaku penyelenggara pemilu, misalnya, mendapatkan data dari lembaga lain, yakni Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil. Data pemilih pun tersebar di berbagai lembaga lain, seperti Kementeria Luar Negeri, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
“Pemutakhiran data pemilih pun idealnya dilakukan secara berkelanjutan, tidak hanya menjelang pemilu,” katanya.
Memeriksa bukti
Selain mendengarkan para saksi, MK dalam persidangan pembuktian kemarin juga memeriksa sejumlah alat bukti yang dihadirkan oleh pemohon. Pemohon mencabut 94 boks berisi alat bukti berupa C1 dan dokumen dari berbagai daerah, karena hingga batas waktu yang ditetapkan belum memenuhi persyaratan dan kelengkapan alat bukti sesuai dengan hukum acara di MK. Dokumen C1 itu berasal dari 31 provinsi.
Terkait dengan keterangan saksi mengenai dugaan kecurangan DPT, mahkamah antara lain mempertanyakan keberadaan bukti P-155, yang dikaitkan dengan dalil adanya data DPT yang tidak valid sebanyak 17,5 juta. Alat bukti itu telah diserahkan kepada mahkamah oleh pemohon, tetapi jumlah yang disyaratkan, yakni 12 rangkap belum terpenuhi. Terkait hal ini, mahkamah melalui hakim konstutusi Suhartoyo mengatakan penilaian atas hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan MK, sepanjang tidak mengganggu pihak lain dalam menyampaikan jawaban atas dalil tersebut.
Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan, pemenuhan syarat dalam penyerahan alat bukti menjadi perhatian mahkamah, karena hal itu akan memudahkan kerja MK dalam memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. “Bukti yang diserahkan seharusnya dilengkapi dengan keterangan atau label, sehingga jelas bukti apa yang diajukan tersebut, atau terkait dengan dalil yang mana. Hal itu pun telah diatur di dalam hukum acara MK,” katanya.
Kamis ini, MK akan menggelar sidang pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi dari pihak termohon, yakni KPU. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya telah menyiapkan saksi-saksi yang relevan dengan perkara tersebut. Jumlah saksi akan disesuaikan dengan ketentuan mahkamah, yakni 15 saksi fakta, dan 2 saksi ahli. “Saksi berasal dari berbagai unsur, baik masyarakat maupun penyelenggara pemilu,” katanya.
Ketua tim hukum pihak terkait, yakni pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, saksinya akan menjawab atau memberikan keterangan untuk membantah kesaksian dari pihak pemohon.