JAKARTA, KOMPAS — Masuknya sejumlah nama warga negara asing pemilik kartu tanda penduduk elektronik dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum 2019 lebih disebabkan adanya kesalahan administratif. Tidak ada kesengajaan untuk kepentingan apa pun, termasuk kepentingan politik.
Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (6/3/2019), menegaskan, masuknya nama WNA ke dalam DPT disebabkan petugas pencocokan dan penelitian serta pegawai pemerintahan tidak bisa membedakan KTP-el untuk penduduk dengan KTP-el untuk WNA.
”Menurut saya, itu terjadi karena kesalahan administrasi. (Petugas/ pegawai) di bawah tidak bisa membedakan KTP untuk penduduk dengan KTP untuk orang asing sehingga bisa masuk ke daftar pemilih,” tuturnya.
Beberapa waktu lalu beredar informasi tentang adanya WNA di Cianjur, Jawa Barat, yang memiliki KTP-el dan masuk dalam DPT Pemilu 2019. Setelah ditelusuri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menemukan 103 nama WNA yang masuk DPT.
Berkali-kali Wapres Kalla mengatakan bahwa hal itu hanyalah kesalahan administratif. Pegawai pemerintahan di daerah menganggap semua yang memegang KTP-el, termasuk WNA, berhak masuk dalam DPT. Padahal, KTP-el yang dimiliki WNA hanya sebatas kartu identitas pengganti paspor.
Warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri juga mendapatkan kartu identitas. Pemerintah negara lain mengeluarkan kartu identitas untuk mempermudah penduduk asing beraktivitas. Sebab, jika setiap hari harus membawa paspor, paspor berpotensi rusak atau hilang.
”Biasanya begini, paspor itu tidak dibawa terus menerus, kan? Karenanya harus disimpan. Tapi, dia perlu identitas, karena itu dikeluarkanlah kartu identitas itu. Kalau kerja setahun, masa bawa paspor terus-menerus? Karena itu kartu identitas untuk pengganti paspor,” katanya.
Selain itu, WNA yang sudah memiliki izin tinggal tetap juga memang wajib memiliki KTP-el. Kewajiban itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 63 Ayat (1) UU 24/2013 menyebutkan, orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berukum 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el. Kemudian Pasal 64 mengatur, KTP-el WNA berlaku sampai masa izin tinggal tetap berakhir. KTP-el dikeluarkan untuk memudahkan WNA mendapatkan pelayanan umum, seperti perbankan, pendidikan, dan kesehatan.
Karena itulah, Kalla menyampaikan, tidak ada kesengajaan seperti tudingan banyak pihak. Tidak ada pula kepentingan politik, termasuk upaya untuk memenangkan salah satu pasangan kandidat dalam pemilu presiden.
”Kan hanya beberapa orang, salah administrasi saja. Masa hanya 16 orang buat itu (kepentingan politik). Kalau sudah puluhan ribu, ratusan ribu, itu baru (bisa dianggap) sengaja,” katanya menegaskan.
Untuk menghindari polemik pada masa yang akan datang, Wapres Kalla pun mendorong agar desain atau warna KPT-el untuk penduduk dan KTP-el untuk WNA dibedakan.