JAKARTA, KOMPAS — Warga negara asing, menurut ketentuan undang-undang, tidak memiliki hak pilih. Komisi Pemilihan Umum diharapkan segera menyisir WNA yang memiliki kartu tanda penduduk elektronik untuk memastikan mereka tidak ikut memilih berbekal kartu identitas yang mereka miliki.
Sepekan terakhir beredar informasi di media yang memberitakan adanya seorang WNA memiliki KTP-el di Cianjur, Jawa Barat. Informasi ini memicu kekhawatiran adanya WNA dengan kartu identitas atau KTP-el menjadi pemilih khusus pada hari pemungutan suara.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan, UU Pemilu jelas mengatur syarat menjadi pemilih ialah warga negara Indonesia (WNI) yang telah berusia 17 tahun, atau belum berusia 17 tahun tetapi sudah menikah. WNA tidak termasuk yang diperbolehkan memilih dalam pemilu.
”Munculnya isu WNA yang dikhawatirkan menjadi pemilih khusus atau masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK) itu menjadi momentum bagi penyelenggara pemilu untuk menyisir kembali data pemilih,” kata Ferry, Sabtu (2/3/2019) di Jakarta.
Selain menyisir WNA yang memiliki KTP-el, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri memiliki kesempatan untuk sekaligus membersihkan daftar pemilih tetap (DPT) kembali. Upaya ini dilakukan untuk mencegah supaya orang-orang yang tidak berhak memilih tidak ada dalam daftar pemilih.
”Sebenarnya ini memang tidak terkait langsung dengan DPT karena WNA sudah pasti tidak ada dalam DPT. Namun, karena ini konteksnya adalah KTP-el, ini menjadi kewenangan Kemendagri. Di sisi lain, ada irisan dengan kewajiban KPU untuk memastikan pemilih yang terdaftar betul-betul memenuhi syarat yang ada,” kata Ferry.
Anggota KPU, Viryan Aziz, Jumat (1/3/2019), mengatakan, KPU sudah mengirim surat ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri berisi permintaan dara WNA yang sudah memiliki KTP-el. ”KPU akan melakukan cek menyeluruh terhadap WNA yang sudah memiliki KTP-el dan memastikan tidak ada yang masuk dalam DPT Pemilu 2019,” katanya.
KPU berharap data tersebut segera dikirimkan oleh Dirjen Dukcapil Kemendagri sehingga pengecekan bisa dilakukan cepat dalam waktu dekat. Dari informasi awal yang diterima KPU, ada sekitar 1.600 WNA yang telah memiliki KTP-el. Segera setelah data dari Kemendagri itu diterima pihaknya, KPU akan langsung melakukan pengecekan.
Prioritas napi
Di sisi lain, KPU berharap Kemendagri juga fokus untuk menyelesaikan pelayanan perekaman dan pencetakan KTP-el bagi WNI yang belum memiliki kartu identitas tersebut. Sebab, ketiadaan kartu identitas itu berpotensi menghilangkan hak pilih mereka, seperti narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan).
”KPU sudah mengirim surat kepada Dukcapil agar perekaman dan pencetakan KTP-el bagi WNI dapat dipercepat penyelesaiannya. Berdasarkan laporan yang kami terima dari KPU daerah, masih banyak napi di lapas/rutan belum memiliki KTP-el,” katanya.
Data KPU menunjukkan, dari 510 lapas dan rutan yang ada, perekaman KTP-el mayoritas dilakukan untuk napi lokal. Padahal, sebagian besar penghuni lapas dan rutan itu bukan hanya warga setempat, melainkan warga luar daerah. ”Dari 510 lapas dan rutan, hanya 93 yang melakukan perekaman KTP-el untuk semua napinya, dan sisanya hanya napi lokal,” kata Viryan.
Banyaknya napi di lapas dan rutan yang belum memiliki KTP-el ini membuat KPU sulit mendata karena pendataan oleh KPU harus dengan dasar dokumen kependudukan. Ferry menyarankan, khusus untuk penghuni lapas dan rutan, KPU membuat tempat pemungutan suara (TPS) khusus.