JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi belum akan memprioritaskan penanganan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 222 tentang ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan Pasal 169 Huruf n tentang masa jabatan calon presiden dan wakil presiden. MK masih fokus pada penyelesaian perkara sengketa hasil pilkada.
Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah mengatakan, di kalangan para hakim, belum ada permintaan agar uji materi terhadap dua pasal UU Pemilu itu menjadi prioritas. Hingga saat ini, para hakim masih berusaha untuk menuntaskan perkara sengketa pilkada mengingat MK hanya memiliki waktu 45 hari untuk menyelesaikan pemeriksaan perkara ini. MK menerima 70 permohonan sengketa Pilkada.
"Belum ada juga (permintaan prioritas dari hakim). Semuanya (pemohon dan pihak terkait) sih meminta dipercepat, tetapi semua dalam batas waktu yang ada di MK. Prioritas yang ada saat ini menangani sengketa pilkada," ujar Guntur di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Hingga saat ini, para hakim masih berusaha untuk menuntaskan perkara sengketa pilkada mengingat MK hanya memiliki waktu 45 hari untuk menyelesaikan pemeriksaan perkara ini. MK menerima 70 permohonan sengketa Pilkada.
Guntur menjelaskan, pada dasarnya, tidak ada batas waktu dalam menyelesaikan uji materi UU. Penyelesaian perkara uji materi tergantung seberapa banyak saksi atau ahli yang diajukan dalam persidangan. Selain itu, semua juga kembali kepada keputusan para hakim yang tentunya tetap mempertimbangkan aspek dinamika di masyarakat.
"Bapak-ibu hakim juga akan mempertimbangkan semua aspek, aspek di konstitusi dan dinamika masyarakat. Itu semua tentu akan jadi bahan pertimbangan, tergantung urgensinya," ujar Guntur.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, yang juga salah satu pemohon uji materi presidential threshold mendesak MK segera menindaklanjuti uji materi ini. Apabila ketentuan ambang batas tersebut tidak dihapus, Titi menilai, ada potensi bahaya akan ditimbulkan. Praktik berdemokrasi menjadi jauh dari nilai-nilai konstitusi. Hal itu merupakan pilihan kebijakan yang irasional dan tidak logis. Sementara itu, demokrasi yang konstitusional harus dibangun dari pengaturan yang logis dan juga rasional. (Melati Mewangi)