Tradisi Mudik Saat Lebaran
Tradisi mudik Lebaran masih mengakar kuat terlebih pada masyarakat urban. Arus mudik semakin meningkat sesuai dengan perkembangan penduduk dan migrasi dari desa ke kota. Dihapusnya larangan mudik tahun 2022 diperkirakan akan mendorong peningkatan tajam pada jumlah pemudik.
Seminggu sebelum dan setelah Lebaran, arus lalu lintas dari Jawa bagian barat ke arah timur selalu sangat padat. Berbagai cara perjalanan ditempuh pemudik demi silaturahim.
Pola kembali ke tempat asal sebenarnya sudah lama berlangsung di Indonesia. Sebelum agama-agama besar masuk, nenek moyang biasa melakukan upacara penghormatan arwah leluhur sekaligus memperkuat ikatan persaudaraan.
Setelah agama masuk ke Indonesia, penghormatan terhadap nenek moyang dibalut oleh nilai-nilai agama baru. Kebiasaan pulang ke tempat asal tidak hanya terjadi menjelang Idul Fitri, tetapi juga menjelang hari Natal, Imlek, dan Nyepi.
Di pelabuhan penyeberangan Ketapang (Banyuwangi)--Gilimanuk (Bali), arus mudik menjelang Nyepi tidak kalah ramainya. Begitu pula arus pulang kampung di Sumatera Utara menjelang Natal, di wilayah Pontianak dan Singkawang menjelang Imlek.
Mudik dan liburan Lebaran juga selalu didukung Cuti Bersama yang bersambung dengan libur akhir pekan. Waktu yang panjang ini memberi kesempatan untuk bersilaturahim dan berwisata sepuasnya, terutama bersama keluarga.
Keluarga menjadi titik sentral dalam tradisi mudik dan berlibur selama Lebaran. Kegiatan yang paling diprioritaskan adalah berkumpul bersama keluarga besar di rumah. Pergi berwisata ke obyek wisata pun dilakukan bersama keluarga.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Para pemudik terus membanjiri Stasiun KA Jebres, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (28/10/2006), untuk dapat diangkut kembali ke perantauan dengan menggunakan kereta ekonomi yang tersedia. Seperti terlihat di KA Ekonomi Senja Bengawan, pemudik menyesaki gerbong hingga menggunakan lantai gerbong sebagai tempat duduk. Antsispasi penumpang yang tidak terangkut, pihak Stasiun Jebres menyediakan kereta tambahan lebaran.
Tradisi
Tradisi mudik ke kampung jelang Lebaran sudah menjadi kultur penduduk Jakarta sejak 53 tahun lalu. Harian Kompas edisi 10 Desember 1969, dalam tulisan bertajuk "Tiap Mendjelang Hari2 Raya, Penduduk Djakarta Banjak Berkurang". Saat itu, rata-rata setiap hari 53.500 penduduk DKI Jakarta tersedot ke daerah. Alat transportasi yang tersedia adalah bus, kereta api, dan truk. Waktu itu, Lebaran, Natal, maupun Tahun Baru berdekatan. Lebaran 1 Syawal jatuh tanggal 21 Desember 1969, sedangkan Natal dan Tahun Baru tanggal 25 Desember dan 1 Januari 1970. Meski begitu, arus mudik sudah dimulai sejak 4--5 Desember 1969. Adapun puncak mudik berlangsung dua tiga hari sebelum Lebaran.
Secara etimologis, mudik berasal dari kata Betawi yang berarti "menuju udik" (pulang kampung). Dalam pergaulan masyarakat Betawi terdapat kata mudik yang berlawanan dengan kata milir. Jika mudik berarti pulang, milir berarti "pergi".
Pendapat lain mengungkapkan bahwa kaum urban di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari luar Jawa mencari nafkah ke kawasan ini, menetap, dan pulang kembali ke kampungnya saat Idul Fitri.
Menurut Maman S Mahayana (2011), fenomena mudik yang dikaitkan dengan Lebaran mulai terjadi pada awal pertengahan dasawarsa 1970-an. Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966--1977) disulap menjadi sebuah kota metropolitan.
Bagi penduduk lain yang berdomisili di desa dan kota lain, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan impian untuk mengubah nasib. Mereka berbondong-bondong ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum ini dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman.
Data sensus maupun data survei yang dilakukan Lembaga Demografi FEUI bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2014) memperlihatkan bahwa 90 persen migran yang masuk ke Jakarta berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa. Daerah-daerah pengirim utama migran ke Jakarta adalah Jawa Tengah (37 persen), Jawa Barat (34 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (7 persen), Jawa Timur (7 persen), dan Banten (7 persen). Sisanya para migran yang berasal dari terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan daerah-daerah lain di Indonesia..
Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota kemudian terjadi juga di ibu kota provinsi lainnya di Indonesia. Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, semakin banyak yang mencari peruntungan di kota.
Sama seperti halnya di Jakarta, mereka yang bekerja di kota hanya bisa pulang ke kampung halaman pada saat liburan panjang, yakni saat libur lebaran. Akibatnya, momentum ini meluas dan berkembang menjadi sebuah fenomena.
Tradisi mudik bagi perantau di ibu kota juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, menjadi ajang berbagi kepada sanak saudara yang lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau. Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Ribuan berbagai jenis kendaraan yang meninggalkan Jakarta terpantau memadati ruas Tol Jakarta cikampek di Kawasan Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/6/2018). Dalam kondisi padat, kepolisian menerapkan kebijakan melawan arus untuk mengurai kemacetan panjang.
Mobilitas mudik
Arus mudik semakin meningkat sesuai dengan perkembangan penduduk dan migrasi dari desa ke kota. Pada 2013, terdapat sebanyak 22,1 juta pemudik. Tahun 2014, meningkat menjadi 23 juta orang. Setahun berikutnya, 2015, jumlah pemudik mencapai 23,4 juta orang, dan 2016 berjumlah 18,16 juta orang. Bahkan, jumlah penumpang yang melakukan perjalanan mudik Angkutan Lebaran tahun 2018 mencapai 21,6 juta orang, namun menurun pada tahun 2019 menjadi 18,3 juta orang.
Kementerian Perhubungan bahkan memperkirakan jumlah pemudik pada Lebaran 2022 meningkat menjadi 85,5 juta orang. Dari 85,5 juta orang tersebut, sebanyak 14,3 juta di antaranya berasal dari Jabodetabek. Angka tersebut didapat dari survei mudik lebaran 2022 ketiga yang dilaksanakan Balitbang Kemenhub setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan diperbolehkan mudik Lebaran. Pada survei kedua jumlah pemudik 79,4 juta dan survei pertama hanya 55 juta orang.
Mobilitas mengunjungi kerabat di kampung halaman dipermudah dengan adanya mobil pribadi. Jika tidak memiliki mobil, alternatif lain yang dipilih adalah menggunakan moda sepeda motor dan kendaraan umum, seperti bus, mobil travel, atau mobil rental.
Dalam rentang waktu liburan yang cukup panjang, pemandangan rutin tahunan terlihat. Di tepi-tepi jalan, pemerintah dan instansi swasta membuka pos peristirahatan yang menyediakan informasi tentang jalur mudik dan tempat wisata. Semua media massa melaporkan situasi ruas jalan tol dan jalan penghubung antarkota serta obyek wisata, yang menjadi lebih macet ketimbang hari biasa.
Kepadatan lalu lintas oleh kendaraan pribadi selama libur Lebaran boleh dibilang terpusat di kota-kota di Pulau Jawa. Tujuan mudik sekaligus berwisata saat Lebaran adalah kota-kota di Pulau Jawa, seperti Bandung, Semarang, Surakarta, Malang, dan Yogyakarta.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara kemacetan lalu lintas di gerbang tol Cikarang Utama akibat dari penyekatan arus mudik kendaraan di Jalan Tol Cikampek KM 31, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/5/2021). Penyekatan arus lalu lintas di titik-titik mudik pada hari pertama larangan mudik, Kamis (6/5/2021), diterapkan dengan tegas oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan kepolisian. Koordinasi antarpihak mesti ditingkatkan untuk mencegah warga nekat mudik dengan melakukan berbagai cara. Polisi mengerahkan 155.000 personel gabungan untuk mengawal larangan mudik.
Artikel Terkait
Layani Banyak Penumpang Keberangkatan, KAI Tetap Terapkan Pengetatan
21,3 Juta Pemudik Bakal Masuk Jateng, Rekayasa Lalu Lintas Disiapkan
Larangan mudik
Tahun 2019 merupakan momen terakhir sebelum pandemi Covid-19 melanda. Saat itu masyarakat bisa menjalankan tradisi mudik dengan normal tanpa ada pembatasan mobilitas. Sejak pandemi terjadi pada awal tahun 2020, berbagai kebijakan dibuat untuk membatasi mobilitas masyarakat, mulai dari kebijakan belajar, bekerja dan beribadah dari rumah, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian berubah menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada tahun 2021.
Tahun 2020, pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak mudik pada saat Lebaran. Pemerintah mengimbau agar warga dari wilayah pandemi Covid-19, khususnya Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), tidak mudik Lebaran atau setidaknya menunda mudik hingga wabah mereda. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa bahwa mudik di tengah pandemi adalah haram hukumnya. Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menilai menyelamatkan kehidupan lebih penting daripada melaksanakan tradisi mudik.
Kendati pemerintah melalui Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah mengeluarkan imbauan agar tidak mudik Lebaran, dan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang imbauan tidak mudik Lebaran 2020, ternyata sebagian warga dari wilayah Jabodetabek telah mudik lebih dahulu (mudik dini) dengan sejumlah alasan.
Berdasarkan hasil survei daring oleh Balitbang Kementerian Perhubungan, Maret 2020, 7 persen responden (dari total sampel 42.890) telah mudik dini. Sampai dengan akhir Maret 80.000 pemudik dini dengan kendaraan umum memasuki Jawa Barat (di luar Jabodetabek), dan sekitar 100.000 pemudik memasuki Jawa Tengah.
Tahun 2021 menjadi tahun kedua diterapkannya larangan mudik oleh pemerintah dalam rangka menekan laju penularan Covid-19. Pemerintah khawatir, jika tradisi mudik tetap berlangsung, resiko penularan virus akan meningkat hingga ke wilayah pedesaan dan menyerang masyarakat lanjut usia. Terlebih, Jakarta merupakan episentrum pandemi Covid-19 dan kota-kota besar di sekitar Ibu Kota juga menjadi zona merah.
Tahun 2021, pemerintah menerbitkan Adendum Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Civud-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Masa peniadaan mudik tersebut mulai berlaku sejak 6 Mei 2021 hingga 17 Mei 2021.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat jumlah pemudik selama Lebaran 2021 sebanyak 1,5 juta orang. Para pemudik tersebut nekat mudik meski pemerintah sudah mengeluarkan larangan mudik pada 6--17 Mei 2021.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan, angka pemudik tersebut lebih sedikit dibandingkan potensi pemudik sebelum pemerintah mengeluarkan larangan mudik.
Akhirnya, pemerintah memperbolehkan mudik Lebaran pada tahun 2022 setelah melihat situasi pandemi COVID-19 di tanah air yang terus membaik. Pemudik pada Lebaran 2022 yang diperkirakan mencapai 85,5 juta orang akan kembali memadati berbagai moda transportasi menuju kampung halaman. Mudik saat Lebaran masih menjadi kerinduan masyarakat urban. (LITBANG KOMPAS)
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Spanduk yang mempertanyakan fenomena arus mudik dan Covid-19 terpasang disekitar Bundaran Ciater, Tangerang Selatan, Minggu (23/5/2021). Mulai kembalinya pemudik dari kempung halaman ke sejumlah kota-kota besar pascaLebaran diharapkan tidak membuat kasus Covid-19 meledak.