Kebun Raya Bogor: Belajar, Bermain, dan Berekreasi
Kebun Raya Bogor adalah kebun raya terbesar dan tertua di Asia Tenggara. Dalam sejarahnya Kebun Raya Bogor pernah memiliki beragam nama dan julukan, yaitu Land’s Plantentuin, Kebun Gede, Syokubutzer (pada masa Jepang) dan Botanical Garden of Indonesia.
Sejarah Kebun Raya Bogor
Pada masa kolonialisme Kota Batavia (Betawi) menjadi pusat bisnis dan pemerintahan yang selalu ramai dan suhu udara yang cukup panas bagi orang Eropa. Oleh karena itu, dibutuhkan tempat istirahat untuk menjauh dari rutinitas dan keramaian untuk menikmati rehat (tetirah) yang tenang dan sejuk.
Gubernur Jendral Gustav Willem Baron van Imhoff memilih lokasi di luar Batavia tetapi tidak terlalu jauh ditemukanlah Samida, yaitu hutan buatan peninggalan Prabu Siliwangi Kerajaan Pajajaran. Di situlah dibangun Buitenzorg sebagai tempat peristirahatan tahun 1745--1750, kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jendral Jacob Mossel selama 11 tahun. Arsitektur bangunan diambil dari Blenheim Palace yang terletak di dekat kota Oxford, Inggris tempat tinggal Duke of Malborough.
Akan tetapi saat terjadi perang antara Raja Banten melawan VOC, Buitenzorg dihancurkan hingga hanya bagian sayap rumah yang tersisa. Tahun 1808--1811 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels membangun kembali dari sayap kiri dan sayap kanan dibuat menjadi bertingkat dua lantai.
Saat Inggris berkuasa, yaitu Letnan Jendral Thomas Stamford Raffles (1811--1816) melakukan pemugaran besar-besaran bahkan mengubah kebun disekitar istana menjadi taman bergaya Inggris klasik. Raffles dibantu seorang ahli W. Kent dari Inggris membangun kebun raya Hortus Bogoriensis yang mengelilingi Puri Buitenzorg, bahkan didatangkan enam pasang rusa dari Nepal, India untuk melengkapi istana seluas 14.892 meter persegi di atas tanah seluas 28,4 hektar.
Saat Belanda kembali berkuasa, Gubernur Jenderal Baron van der Capellen (1817 – 1826) menambah menara di tengah-tengah gedung induk. Pada 18 Mei 1817 van der Capellen meresmikan Kebun Raya dengan nama Land’s Plantentuiten Buitenzorg di atas tanah seluas 47 hektar dengan Caspar Georg Karl Reinwardt sebagai direktur pertama Kebun Raya Bogor (KRB). Reinwardt adalah seorang profesor ahli biologi berkebangsaan Jerman yang bertugas sebagai Menteri Bidang Pertanian, Seni dan Ilmu Pengetahuan di Jawa. Saat itu Reinwardt dibantu James Hooper dan W. Kent yang selama kurun waktu 1817 – 1822 mengumpulkan tanaman dan benih di Indonesia.
Baca juga: Menjaga Marwah Kebun Raya Bogor
Tahun 1830, Johannes Elias Teysmann memulai bekerja sebagai kurator di Kebun Raya Bogor yang selama 50 tahun mengembangkan kebun raya tersebut, tetapi keberadaan pohon-pohon itu kemudian dibongkar dan dipindahkan untuk ditata kembali oleh Karl Hasskarl sesuai taksonominya. Hasskarl membuat perpustakaan Bibliotheca Bogoriensis tahun 1842 dan Herbarium Bogoriense tahun 1844. Pada saat itu tercatat kebun raya sudah memiliki 2800 spesies tanaman. Kemudian bertambah lagi dengan Laboratorium Treub (1884), Museum kebun raya dan Laboratorium Zoologi (1894).
Di sinilah awal dikenal bibit kelapa sawit yang dibawa dari Afrika Barat dalam bentuk biji-bijian tahun 1848, kemudian hasil varietasnya menyebar ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa Teysmann pula dikembangkan pohon Kina sebagai obat malaria dengan mengunakan kulitnya.
Sedangkan pada masa kepemimpinan R.H.C.C. Scheffer (1869--1880) dikembangkan Eucalyptus dari Australia, tembakau, jagung dan kopi Liberia yang kemudian disebarkan di seluruh Indonesia. Saat di bawah pimpinan Melchior Treub, dirintis penelitian yang terkait dengan hama penyakit tanaman dengan mendatangkan para peneliti tamu dan membuat laboratorium kecil di kebun raya. Bahkan, Treub merintis agar penelitian ilmiah itu dapat memberikan manfaat pada pertanian dan industri.
Kebun Raya Bogor menjadi tempat riset tanaman yang penting bagi perekonomian Indonesia seperti kelapa sawit, kina, getah perca, tebu, ubi kayu, jagung dan kayu besi Kalimantan. Di kebun seluas 87 hektar ini terdapat 15.000 jenis koleksi pohon dan tanaman langka Bunga Bangkai (Amorphohalus Titanium) yang menjadikan salah satu daya tarik KRB.
Ketika Belanda kalah dari Jepang, maka Jepang mengambil alih kebun raya yang kemudian menamainya Syokubutzer, tetapi KRB diduduki kembali oleh Belanda saat agressi militer tahun 1945--1949. Setelah bebas dari agresi militer tahun 1950 Buitenzorg mulai digunakan sebagai Istana Kepresidenan, dan pertama kali digunakan untuk pertemuan kenegaraan tahun 1954.
Kebun Raya Bogor Indonesia
Kebun Raya Bogor adalah kebun raya terbesar dan tertua di Asia Tenggara dengan kekayaan flora dan faunanya. Dalam sejarahnya Kebun Raya Bogor pernah memiliki beragam nama dan julukan, yaitu Land’s Plantentuin, Kebun Gede, Syokubutzer (pada masa Jepang) dan Botanical Garden of Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka pengelolaan KRB sepenuhnya milik Indonesia, direktur KRB pertama adalah Setyodiwirjo dan Soedjana Kassan sebagai kurator tahun 1949--1959. Tahun 1962 KRB menjadi bagian dari Lembaga Biologi Nasional dengan Otto Soemarwoto menjadi direktur tahun 1964 dan ia mengembangkan KRB sebagai Lembaga Penelitian Biologi Tropika.
Kebun Raya Bogor mendapat lebih banyak dana pada Era Orde Baru dan mengembalikan marwah KRB sebagai tempat riset, pada Repelita I KRB menjadi pusat penelitian genetika tanaman yang bernilai ekonomi, pengendalian gulma dan herbisida. Pada REPELITA II KRB memulai pemanfaatan sumber daya alam seperti kompos dari rumah tangga dan pemanfaatan tanaman obat-obatan, serta memuliakan tanaman seperti limau dan anggrek.
Kemudian direvitalisasi lembaga peninggalan Belanda menjadi: Herbarium, Museum Kebun Raya, Laboratorium Botani, Kebun Percobaan, Laboratorium Kimia, Laboratorium Farmasi, Laboratorium Kimia, bahkan KRB memiliki laboratorium cabang di Sibolangit dan Purwodadi.
Tahun 1980 Lembaga Biologi Nasional di pecah menjadi dua, yaitu Kebun Raya dan Puslitbang Biologi, kemudian KRB semakin ramai pengunjung dan dikembangkan sebagai tempat rekreasi.
Kebun Raya Bogor statusnya adalah Unit Pelaksana Teknis UPT Eselon II, tetapi pada tahun 2011 statusnya naik menjadi UPT E.III dengan tugas yang lebih penting, yaitu Pusat Konservasi Tumbuhan-BRIN. Pada 2011 Presiden mengeluarkan Perpres No. 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya, bahwa kebun raya sebagai kawasan konservasi untuk mengurangi laju degradasi keanekaragaman tumbuhan maka perlu meningkatkan pembangunan kebun raya. Kemudian dibangun kebun raya yang menjadi tanggung jawab provinsi atau daerah sebagai konservasi tumbuhan sehingga jumlah kebun raya di Indonesia berkembang menjadi 37.
Dengan adanya Peraturan Walikota Bogor Nomor 17 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka, salah satunya menyebutkan bahwa Bogor sebagai Pusaka Saujana (pasal 11) harus melindungi lanskap atau bentang alam fungsional dan harmonis. Dalam hal ini Kebun Raya Bogor adalah warisan yang harus dilindungi karena juga menyangkut sumber daya air, bangunan gedung, penyediaan air bersih, drainase serta saluran limbah cair.
Fungsi Kebun Raya Bogor
- Konservasi
Kebun Raya Bogor menjadi tempat bagi pemulihan jenis tumbuhan terancam punah dan lahan yang terdegradasi, serta menjadi rujukan koleksi tanaman yang bernilai tinggi untuk pengembangan potensi pemanfaatan berkelanjutan.
- Edukasi
KRB menyajikan informasi bagi pengunjung beragam pengetahuan di bidang botani, konservasi, lingkungan dan pemanfaatan tanaman; serta merangsang tumbuhnya kesadaran, kepedulian, tanggung jawab dan komitmen masyarakat terhadap pelestarian tumbuhan
- Penelitian
Melaksanakan dan memfasilitasi berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang konservasi, domestikasi dan reintroduksi tumbuhan serta botani ekonomi. Di sini mahasiswa dan peneliti dapat melakukan penelitian mengenai tumbuhan dan manajemen sesuai dengan kebutuhan penelitian.
- Wisata Alam
Selain menghadirkan ilmu pengetahuan, KRB juga dapat mendukung kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih baik.
- Jasa Lingkungan
Dampak ekologis KRB mampu meningkatkan kualitas lingkungan baik tata air, keanekaragaman hayati, penyerapan karbon dan keindahan lanskap.
Sesuai dengan tagline KRB "Belajar, Bermain dan Berekreasi" maka dibangunlah sarana pendidikan dengan menghadirkan Tour De Kebun Raya, yaitu berkeliling Kebun Raya dan dipandu oleh Tour Guide. Studi Tour biasanya disediakan untuk siswa sekolah dari Taman Kanak-kanak, SMP dan SMA untuk mempelajari tumbuhan hingga disediakan Modul Botarium, yaitu kelas untuk memahami dan belajar membuat terarium; dan Virtual Tour yaitu kelas edukasi online untuk memahami flora kebun raya dan fauna di museum zoologi KRB.
Baca juga: Utamakan Konservasi dan Edukasi dalam Pengembangan Wisata di Kebun Raya Bogor
Perubahan pengelolaan Kebun Raya Bogor
Pada Februari 2020 LIPI menggandeng pihak swasta untuk mengelola empat kebun raya yang sejak dahulu dikelola oleh LIPI sebagai konservasi tumbuhan, yaitu Kebun Raya Bogor, Cibodas, Purwodadi dan Kebun Raya Eka Karya, Bali. Hal itu dilakukan agar LIPI lebih fokus pada riset saja, sementara pengelolaan bisnis diserahkan pada PT Dyandra Media Internasional melalui Mitra Natura Raya.
Saat ini ada tiga pihak yang menjadi pengelola Kebun Raya Bogor: pertama Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya untuk unit riset dan periset. Kedua, Deputi Infrastruktur melalui direktorat Laboratorium dan Kawasan Sains dan teknologi BRIN untuk pengelolaan laboratorium riset. Ketiga, Deputi Infrastruktur Direktorat Koleksi untuk pemeliharaan koleksi. Pembagian pengelolaan KRB ini dimaksudkan agar para periset tidak perlu memikirkan pengelolaan secara keseluruhan.
Fasilitas wisata telah lama ada di Kebun Raya Bogor seperti hotel, guest house, kafe dan fotografi komersil, kemudian BRIN mengambil inisiatif untuk menggandeng pihak swasta sebagai operator untuk memperkaya fungsi edukasi dengan mengadakan wisata malam yang disebut Glow (Kompas, 29 September 2021).
Baca juga: Menunggu Kepastian Nasib Atraksi ”Glow” di Kebun Raya Bogor
Gagasan wisata malam yang sudah dilakukan di Desert Botanical Garden (Phoeni, Arizona). Singapore Botanic Garden (Singapura), Fairchild Tropical Botanic Garden (Miami, USA), Atlanta Botanical Garden (Atlanta) dan Botanical Garden Berlin (Jerman).
Komersialisasi dengan menghadirkan wisata Glow, atraksi sinar lampu menimbulkan reaksi sebagian kalangan yang khawatir akan menggangu ekosistem, konservasi dan kepentingan riset di KRB. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bogor bersama BRIN dengan menggandeng IPB melakukan kajian yang dilakukan oleh pusat riset konservasi tumbuh-tumbuhan, riset biologi dan hewan untuk melihat dampak jika wisata malam pada flora dan fauna sekitar. Sesuai dengan Peraturan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 14 Tahun 2019 KRB harus sesuai dengan konsep hijau 80 persen dan konstruksi 20 persen, serta tidak boleh meninggalkan rambu-rambu konservasi dan edukasi. (LITBANG KOMPAS)