Hari Pamong Praja: Melihat Kembali Sejarah dan Peran Satpol PP
Satuan Polisi Pamong Praja atau lebih dikenal dengan Satpol PP memiliki sejarah yang panjang sejak tahun 1620. Pada awalnya, Satpol PP dibentuk untuk kebutuhan serikat dagang kolonial agar dapat memenangkan segala urusan ketika berhadapan dengan warga.
Definisi Satpol PP dan Pol PP tercantum dalam PP 16/2018 tersebut. Dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan: “Satuan Polisi Pamong Praja yang selanjutnya disebut Satpol PP adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.”
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 2 disebutkan: “Polisi Pamong Praja yang selanjutnya disebut Pol PP adalah anggota Satpol PP sebagai aparat Pemerintah Daerah yang diduduki oleh pegawai negeri sipil dan diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman serta pelindungan masyarakat.”
Untuk menjamin terlaksananya tugas Satpol PP dilakukan peningkatan, baik dari sisi kelembagaan Satpol PP maupun sumber daya manusia. Keberadaan Satpol PP dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diharapkan dapat membantu adanya kepastian hukum dan memperlancar pembangunan di daerah.
Sejarah Satuan Pamong Praja
Pada masa pemerintahan Belanda, satuan polisi pamong praja dikenal dengan istilah Bailluw. Salah satu tugasnya, yakni ikut terlibat urusan karesidenan untuk mendukung keamanan sekaligus pemimpin lokal saat itu.
Pada awal kemerdekaan, keberadaan detasemen keamanan tersebut sangat dibutuhkan baik oleh warga maupun pertahanan keamanan wilayah. Dalam perkembangannya, Satpol PP berada di bawah Kementrian Dalam Negeri dengan kewenangan yang lebih kecil dibandingkan masa awal kemerdekaan.
Keberadaan satuan keamanan yang langsung bergerak di tingkat masyarakat sudah ada sejak zaman VOC menduduki Batavia tahun 1620. Saat itu dibentuk Bailluw, yaitu satuan keamanan yang bertugas menangani perselisihan hukum antara VOC dengan warga kota. Selain turun langsung ke masyarakat, petugas Bailluw merangkap sebagai hakim dan jaksa sekaligus menjaga ketertiban dan ketentraman warga kota.
Pemerintah Kolonial Belanda membentuk tiga detasemen keamanan sesuai dengan fungsinya:
Polisi Pangreh Praja (Bestuurpolitie) ditempatkan sebagai pendukung dan menjadi bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepala desa, para penjaga malam dan agen-agen polisi yang membantu pejabat pamongpraja.
Polisi Umum (Algemeene Politie) bertugas melakukan kegiatan-kegiatan kepolisian.
Polisi Bersenjata (Gewapende Politie) yang bertugas mendukung pemerintah kolonial Belanda di Batavia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan aturan yang dampaknya memangkas kewenangan Polisi Pangreh Praja dan memberikan kewenangan yang lebih besar pada Kepolisian. Meskipun demikian, pada awal kemerdekaan keberadaan satuan keamanan di tingkat wilayah masih sangat dibutuhkan. Karena itu, keberadaan Satuan Keamanan Pangreh Praja tetap dilanjutkan.
Wilayah yang pertama kali menegaskan eksistensi detasemen polisi, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengeluarkan Surat Perintah Kepala Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1/1948. Saat itu satuannya hanya terdiri dari satu Pemimpin, yaitu Manteri Polisi dengan lima Agen Polisi dan 19 Pembantu Agen Polisi.
Indonesia resmi menetapkan Satpol PP ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UR.32/2/21 Tahun 1950 tentang Detasemen Polisi Pamong Praja untuk wilayah Pulau Jawa dan Madura, dengan formasi: 1 orang Manteri Polisi, 5 orang Calon Agen Polisi Pamong Praja dan 5 orang Pembantu Keamanan di setiap wilayah tertentu.
Sementara itu, untuk wilayah di luar Pulau Jawa dan Madura, pada 30 November 1960 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun 1960 tentang pembentukan Satpol PP. Khusus untuk Jakarta Raya dikeluarkan Permendagri No. 2/Tahun 1961 tentang Pembentukan Polisi Pamong Praja di Daerah Tingkat I Jakarta Raya. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi dipertegas dengan Permendagri No. 7 Tahun 1961.
Ketika keran otonomi daerah dibuka dan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan memberikan kewenangan tiap daerah untuk mengurus otonomi daerah masing-masing. Meskipun tidak disebutkan ketentuan pembentukan detasemen keamanan di setiap daerah, pada tahun 2000 hampir semua kabupaten/kota di Indonesia membentuk satuan keamanan di wilayah masing-masing.
Meskipun mengusung nama satuan yang berbeda di tiap wilayah tetapi memiliki fungsi dan peran Satpol PP, misalnya Dinas Keamanan dan Ketertiban Umum (Dinas Trantibum), Dinas Polisi Pamong Praja, Dinas Pol PP dan Ketertiban Masyarakat maupun Dinas Trantib dan Linmas.
Dalam aturan Kemendagri nama tersebut pernah berubah beberapa kali, misalnya dalam Kemendagri No. 32/2/20 tanggal 3 Maret Tahun 1950 disebut Kesatuan Polisi Pamong Praja, kemudian tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar Baya lalu kembali dengan nama Polisi Pamong Praja dalam Undang-Undang No. 5/1975.
Penegasan eksistensi Satpol Pamong Praja
Ketika kepolisian Republik Indonesia semakin besar dan semakin maju, persoalan sosial yang berkaitan dengan ketertiban dan keamanan di masyarakat semakin juga kompleks. Hal itu membuat peran Satpol PP semakin dipertegas oleh pemerintah.
Pemerintah mengeluarkan PP No. 6 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan dengan Permendagri No. 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Selain itu, untuk mengatur hak dan jaminan Satpol PP keluarlah PP No. 6 Tahun 2010. Secara garis koordinasi, Satpol PP bertanggung jawab pada Mendagri, sedangkan Kepolisian bertanggungjawab pada Presiden. Aturan tersebut kemudian diperbarui dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
Dinamika Perubahan Aturan Hukum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Surat Perintah Kepala Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1/1948 Tanggal 30 Oktober 1948 tentang Detasemen Polisi
Surat Perintah kepala Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2/1948
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UR32/2/21/Tahun 1950 tentang Perubahan Detasemen Pamong Praja menjadi Kesatuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun 1960 tanggal 30 Nopember 1960
Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 tertanggal 11 Juni 1962
Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 1 Tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963
Permendagri No. 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja
PP Nomor 6 Tahun 2010
PP Nomor 16 Tahun 2018
Citra Pamong Praja
Istilah “ketertiban umum” telah menjadi stigma yang melekat di masyarakat terkait tugas dan wewenang Satpol PP. Penggunaan istilah tersebut telah “diwariskan” dari jaman pemerintahan kolonial untuk membungkam pribumi.
Keberadaan Satpol PP di tengah masyarakat tidak jarang dianggap sebagai salah satu ancaman serius bagi pemenuhan warga negara atas Hak Asasi Manusia. Rekam jejak tindakan Satpol PP yang melakukan kekerasan, anggaran besar, dan pola rekrutmen yang tidak jelas, memberikan gambaran tata kelola kesatuan ini kerap dipertanyakaan efektivitasnya.
Kesan utama yang muncul di benak masyarakat, Satpol PP identik dengan tindakan penggusuran. Sementara, anggaran untuk menggaji dan operasional Satpol PP dianggap memboroskan APBD. Di sisi lain, Satpol PP dianggap memiliki impunitas atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman meskipun melakukan upaya paksa pada warga.
Keberadaan Satpol PP dibutuhkan pemerintah, salah satunya sebagai perpanjangan kewenangan aparat keamanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat sipil. Dari sisi sudut pandang hak asasi, kewenangan menindak yang dilakukan Satpol PP kerap berhadapan langsung hak mendapatkan rasa aman bagi warga.
Peristiwa perdebatan antara warga masyarakat dan Satpol PP yang kadang menimbulkan keributan seolah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Satpol PP pada dasarnya bertindak atas nama hukum, namun proses dialog dengan masyarakat seharusnya lebih diutamakan. Hubungan antara Satpol PP dan warga masyarakat bisa lebih baik jika mengutamakan dialog, karena antara masyarakat dan Satpol PP sama-sama menjalankan peran masing-masing di negara yang berlandaskan aturan. (LITBANG KOMPAS)