Polwan: Sejarah, Pendidikan, Organisasi, dan Tantangan
Sejarah dibentuknya kesatuan atau korps Polisi Wanita (Polwan) di Indonesia dimulai sejak 1 September 1948. Awal mulanya, di Bukittinggi, Sumatera Barat, pemerintah Indonesia sedang berjuang menghadapi Agresi Militer II Belanda. Pemerintah menunjuk Sekolah Polisi Negara di Bukittinggi untuk mulai merekrut polisi wanita dan membuka pendidikan inspektur polisi bagi kaum wanita. Sejak saat itu, polwan menjadi bagian dari Kepolisian RI.
Keberadaan polisi wanita (polwan) di Indonesia dimulai dengan kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap korban, tersangka, maupun saksi wanita pada tahun 1948. Selanjutnya, polwan juga ikut berjuang dalam revolusi perjuangan.
Dari tahun ke tahun, proporsi polwan semakin meningkat. Hingga 2021, jumlah polwan di Indonesia mencapai 6 persen dari total jumlah personel Polri. Meskipun secara proporsi masih kecil, polwan sudah memasuki hampir semua pos tugas yang diemban Polri.
Ke depan, keberadaan polwan semakin dibutuhkan karena penanganan kasus-kasus yang melibatkan kalangan wanita sebagai pelaku ataupun korban memerlukan penanganan oleh korps polisi wanita.
Selain itu, peran, tugas, dan fungsi polisi yang bersinergi dan dekat dengan kehidupan masyarakat membutuhkan keberadaan korps polwan. Dalam peliputan arus lalu lintas secara langsung dalam liputan di televisi, misalnya, polwan juga mengemban misi untuk memberikan fungsi penerangan kepada masyarakat.
Enam siswi pertama
Ketika Jepang kalah dari Sekutu, Belanda ingin menguasai kembali Indonesia. Dalam situasi yang kacau terjadi arus pengungsi dari Medan, Pematangsiantar, Pekanbaru, hingga Singapura. Pada waktu itu, ada kecurigaan bahwa pendatang baru bisa saja mata-mata Belanda. Maka pendatang diperiksa, tidak hanya barang, tetapi juga tubuhnya. Di sini timbul kecanggungan ketika polisi laki-laki (polki) harus memeriksa tubuh pendatang perempuan (Kompas, 7 Mei 1993).
Kondisi ini membuat Kepala Jawatan Kepolisian di Sumatera memohon kepada Kepala Kepolisian Negara di Yogyakarta untuk menyelenggarakan pendidikan bagi polisi wanita di Bukittinggi. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan (Kompas, 3 September 1973). Akhirnya, Cabang Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera yang berkedudukan di Sumatera Barat mendapatkan 6 calon dari 9 pendaftar. Keenam siswi tersebut adalah Nelly Pauna Situmorang, Mariana Mufti, Djasmaniar Husein, Rosmalina Pramono, Rosnalia Taher, dan Dahniar Soekotjo. Sebelumnya, keenam siswa ini sudah bekerja sebagai guru, pegawai, bidan, dan pamong praja.
Keenam calon tersebut secara resmi diterima bersama dengan 44 siswa laki-laki sebagai angkatan kedua Sekolah Inspektur Polisi (Sekolah Polisi Negara) di Bukittinggi pada 1 September 1948. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahir polisi wanita (Polwan).
Dua bulan di SPN Bukittinggi, terjadi Agresi Militer Belanda pada 19 Desember 1948. Pendidikan terpaksa dihentikan dan siswi polisi wanita diikutsertakan dalam perjuangan melawan Belanda. Rosmalina Pramono, Djasmaniar Husein, dan Nelly Pauna Situmorang sempat bergabung dalam kesatuan polisi yang ikut bergerilya di bawah pimpinan Sulaiman Effendi, Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah (Kompas, 23 Desember 1979).
Setelah kondisi kembali kondusif, para siswa polisi wanita dipanggil kembali untuk menjalani pendidikan Inspektur Polisi di Sekolah Polisi Negara (SPN) Sukabumi. Pada saat itu, SPN di Yogyakarta dan Bukittingi ditutup kemudian pendidikan dipusatkan di SPN Sukabumi. Di sana, mereka diajarkan ilmu sosial, pendidikan, latihan militer, dan bela diri. Agar dapat menjalankan tugas dengan baik, mereka juga mendapatkan tambahan pelajaran tentang merawat anak, ilmu jiwa anak, dan praktik sebagai juru rawat.
Lulus pada 1 Mei 1951, keenam polwan dilantik menjadi Inspektur Polisi Wanita yang pertama setelah mengikuti pendidikan selama 15 bulan. Penugasan mereka diatur melalui Order Kepala Kepolisian Negara No.Pol.:18/II/51. Untuk sementara, mereka ditempatkan di kantor Jawatan Kepolisian Indonesia Pusat bagian Inspeksi Daerah serta diperbantukan kepada Kepala Polisi Jakarta Raya untuk menjalankan tugas di lapangan dan di kantor polisi (Murtiah, 1971).
Di Jakarta, tugas keenam inspektur wanita tersebut adalah menangani kejahatan yang dilakukan oleh atau terhadap perempuan dan anak-anak, melakukan pemeriksaan fisik kaum perempuan yang terkait dengan suatu perkara, dan melakukan pengawasan serta pemberantasan masalah pelacuran dan perdagangan perempuan dan anak.
Sejarah pendidikan polwan
Pendidikan polwan mendapat perhatian dengan pembukaan pendidikan bagi perwira, bintara, dan tamtama polwan.
Perwira Polwan
Untuk memenuhi kebutuhan polisi wanita berpangkat perwira, pada tahun 1961 diterima enam mahasiswi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Ciputat, Jakarta. Dalam urutan PTIK, angkatan tersebut masuk dalam PTIK Angkatan IX/Rajawali. Mereka dididik bersama dengan mahasiswa PTIK. Angkatan kedua diikuti oleh 10 mahasiswi PTIK pada tahun 1962. Selanjutnya, angkatan ketiga diikuti 40 mahasiswi PTIK pada 1964.
Para mahasiswi PTIK tersebut menempuh pelatihan mulai dari enam bulan latihan dasar di Sukabumi sebagai calon mahasiswa PTIK, tiga tahun pendidikan sarjana muda Ilmu Kepolisian, dua tahun tugas praktik, kemudian dipanggil kembali untuk menempuh dua tahun pendidikan sarjana ilmu kepolisian. Setelah lulus, mereka ditempatkan di Mabes Polri serta Polda di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1965, pendidikan calon perwira Polwan diselenggarakan bersama dengan pendidikan calon perwira Polki di Akademi Angkatan Kepolisian (AAK). Saat itu, diterima 25 taruni di AAK untuk menempuh pendidikan selama satu tahun. Akan tetapi, perekrutan di AAK untuk Polwan hanya berlangsung untuk satu angkatan.
Lulusan AAK dapat melanjutkan pendidikan selama satu tahun di PTIK untuk mencapai gelar sarjana muda ilmu kepolisian. Pada tahun 1969, diterima dua mahasiswi PTIK angkatan XII/Waspada dan pada tahun 1976 diterima tiga mahasiswi PTIK yang tergabung dalam PTIK angkatan XIV/Satya Brata. Mereka ini berasal dari lulusan Akabri bagian Kepolisian.
Di sisi lain, Polri juga membuka kesempatan bagi para sarjana untuk masuk menjadi polwan melalui pendidikan Bentukan Dasar Perwira (Bendaspa). Pada 1965, diterima tiga orang sarjana muda wanita pada Bendaspa di Sukabumi selama enam bulan. Selanjutnya, pada tahun 1966, diterima enam sarjana wanita di Bendaspa Sukabumi. Di tempat lain, di Bendaspa di Ciputat, Jakarta, pada tahun 1967 diterima satu sarjana wanita, pada 1969 diterima 10 sarjana dan sarjana muda wanita, serta pada 1970 diterima 11 sarjana dan sarjana muda wanita.
Pada 1970, PTIK telah menghasilkan pertama kalinya sarjana wanita ilmu kepolisian dari PTIK angkatan IX/Rajawali. Dua orang lainnya mengikuti pendidikan lanjutan bersama dengan angkatan X/Bima. Sedangkan satu orang lagi mengundurkan diri.
Jalur perekrutan selanjutnya untuk Polwan adalah jalur perwira karier setingkat sarjana dan sarjana muda melalui Sekolah Perwira Militer Wajib (Sepamilwa). Pusat pendidikan untuk Polwan dimulai ketika pada 1975, Depo Pendidikan dan Latihan (Dodiklat) 007 Ciputat menyelenggarakan pendidikan bagi bintara Polwan. Baru pada tahun 1982, Dodiklat 007 Ciputat, yang berubah nama menjadi Pusat Pendidikan Polisi Wanita (Pusdikpolwan) Ciputat, menyelenggarakan pendidikan secara khusus untuk Polwan.
Bintara dan Tamtama
Di tingkat bintara, pendidikan bintara polwan secara umum mulai dilaksanakan pada 1 Mei 1959 dengan pendidikan angkatan pertama yang diikuti oleh 31 calon. Tenaga bintara polwan direkrut melalui Pendidikan Brigadir (Komandan Regu) wanita di SPN Sukabumi dengan lama pendidikan sembilan bulan. Angkatan kedua dari pendidikan ini berjumlah 40 orang (1963) dan angkatan ketiga berjumlah 41 orang (1964).
Meskipun secara umum baru dibuka pada 1 Mei 1959 di SPN Sukabumi, pendidikan yang setara bintara polwan juga sudah dilaksanakan pada 1 Februari 1958 oleh Dinas Pengawas Keselamatan Negara untuk tugas security and criminal intelligence. Pendidikan yang dilaksanakan selama satu tahun di Jakarta tersebut diikuti oleh 26 siswa angkatan pertama dan 42 siswa angkatan kedua. Setelah lulus, mereka diangkat sebagai Brigadir Polisi tingkat dua dan ditempatkan di Mabes Polri dan Polda di seluruh Indonesia. Setelah tahun 1965, pendidikan tenaga bintara polwan diambil dari tamtama polwan.
Di tingkat tamtama, pengadaan tamtama polwan diselenggarakan untuk mengisi kekurangan personel pada fungsi-fungsi Brimob dan Airud. Tamtama Polwan bersumber dari asimilasi pegawai negeri sipil kepolisian yang dididik dalam pendidikan tamtama. Selain itu, tamtama polwan juga bersumber dari pendidikan agen polisi.
Pendidikan tamtama polwan pertama diadakan pada tahun 1964. Para siswa dalam pendidikan tersebut berasal dari asimilasi personel atau pengangkatan dari PNS kepolisian. Sebelumnya, pernah juga diadakan pendidikan tamtama polwan di Bali pada tahun 1962. Selain itu, tamtama polwan juga berasal dari lulusan Pendidikan Agen Polisi tahun 1958 di Ujung Pandang (Makassar) dan lulusan Agen Polisi tahun 1964 di Denpasar. Hingga tahun 1967, pendidikan tamtama polwan masih terus berlangsung.
Pada tahun 1967, diterima 40 siswa untuk mengikuti pendidikan Bentukan Dasar Tamtama/Bintara (Bendasma/Bendasba). Lama pendidikan untuk Bendasma adalah 3 bulan dan untuk Bendasba adalah 6 bulan. Adapun tempat pendidikan untuk Tamtama di Deplat Ciputat Jakarta, Deplat Tegallega Bandung, Pusdik Peralatan Jakarta, Pusdik Airud Jakarta, Deplat Mega Mendung, dan Deplat Lido Jawa Barat. Sedangkan, pendidikan dasar Bendasba di Pusdik Kepolisian Candi Baru, Semarang.
Sejarah organisasi polwan
Organisasi polwan mulai diadakan seiring dengan bertambahnya jumlah polwan. Pada awalnya, polisi wanita hanya terdiri atas perwira pertama saja.
Organisasi polwan sebagai bagian dari Organisasi Polri baru dimulai tahun 1963 dengan adanya Instruksi Menteri Kepala Staf Angkatan Kepolisian yang membentuk Seksi Polisi Wanita dalam lingkungan Komisariat Jakarta Raya dan sekitarnya (Instruksi Nomor 20/Inst/MK/1963 tanggal 20 April 1963).
Seksi Polwan yang dibentuk bukan dalam arti teritorial, tetapi operatif, sejajar dengan seksi lain pada Komisariat Jakarta Raya. Seksi polwan yang bersifat pilot project ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1963. Tugas dan wewenang seksi polwan ini pada dasarnya sama dengan apa yang tertera dalam Order Kapolri Nomor 18/II/1951 yang mengatur tugas para polwan pertama.
Selanjutnya, pada 1964, organisasi polri ditingkatkan menjadi Korps Khusus Polisi Wanita melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Nomor Pol.11/SK/MK/64 tanggal 14 Februari 1964. Korps khusus ini dipimpin seorang Komandan Korps Khusus Polisi Wanita dan berada di bawah Direktur Tugas Umum Departemen Angkatan Kepolisian.
Pada tahun 1967, dibentuk Korps Khusus Polisi Wanita yang berdiri sendiri sebagai staf khusus Panglima Angkatan Kepolisian. Selanjutnya, Korps Khusus Polisi Wanita ini ditingkatkan menjadi Korps Polisi Wanita. Hal itu diatur melalui peraturan Menteri Panglima Angkatan Kepolisian No.Pol.5/PRI/MenPangak/67 tanggal 1 Juli 1970 jo. Peraturan Menteri Panglima Angkatan Kepolisian No.Pol.1/Prt/Pangak/69 tanggal 6 Januari 1969.
Pada tahun 1970, Korps Polisi Wanita diubah menjadi Pusat Polisi Wanita melalui Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Nomor Kep/A/385/VIII/1970 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Polri. Pusat Polisi Wanita kemudian ditempatkan di bawah Komandan Jenderal Induk Administrasi Personel melalui SK Kepala Kepolisian Negara RI No.Pol. 113/SK/K/1970.
Tantangan reformasi polwan
Sebagai bagian dari Polri, polwan memiliki tantangan tersendiri, mulai dari jumlah, peluang peningkatan karier, hingga kesetaraan gender.
Dari sisi jumlah, proporsi polwan dibandingkan seluruh anggota Polri hingga 2021 masih kurang dari 10 persen. Hal itu dibarengi dengan kecilnya jumlah polwan yang mencapai pangkat perwira tinggi. Menurut Komisioner Komisi Kepolisian (Kompolnas), Poengky Indarti, Polri perlu memiliki 30 persen anggota polwan.
Pada akhir tahun 1970, terdapat 921 polwan atau 0,6 persen dari total personel Polri yang berjumlah 135.788. Pada tahun 1990, dari 5.000 polwan, sejumlah 4.000 berpangkat sersan, kurang dari 100 polwan berpangkat letnan kolonel, dan tidak sampai 20 polwan yang berpangkat kolonel (Kompas, 1 September 1990). Pada tahun 1992, anggota polwan berjumlah 5.277 atau tiga persen dari 166.658 anggota Polri (Kompas, 6 September 1994). Pada tahun 2005 pun, proporsi polwan masih berada di angka tiga persen (Kompas, 1 September 2005).
Selang 27 tahun kemudian, menurut data Asisten Sumber Daya Manusia Polri 2017, dari 419.823 anggota Polri, sejumlah 23.533 orang atau 5,6 persen adalah polwan. Dari jumlah tersebut, hanya empat polwan yang berstatus perwira tinggi dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen). Mayoritas polwan berpangkat Brigadir Dua (Bripda) dengan jumlah 9.812 orang (Kompas, 17 September 2017).
Pada tahun 2021, persentase polwan naik menjadi 6 persen dengan jumlah polwan sebanyak 24.468 orang dari total 418.0432 anggota Polri.
Selain kecil dari sisi jumlah, peningkatan karier juga menjadi tantangan bagi polwan. Pada 1 September 1989, dalam wawancara Kompas, Jeane Mandagi, sewaktu masih berpangkat kolonel polisi, mengatakan bahwa tugas polwan sudah sama dengan polisi laki-laki. Dalam pengamatannya sebagai Kadispen Polri, polwan sudah memasuki hampir semua pos tugas Polri, mulai dari Sabhara, Polantas, Reserse, Intelijen, sampai Bimmas (Kompas, 1 September 1989). Namun, di balik penempatan tersebut, rendahnya peluang peningkatan karier polwan terus menjadi sorotan. Lambatnya peningkatan karier polwan tergambar pula dalam penugasannya.
Pada tahun 1991, sejak tahun 1948, hanya dua polwan yang menjadi komandan satuan kewilayahan, yaitu Letnan Dua (Pol) Tjas Kinah sebagai Kapolsek Keraton Yogyakarta dan Kapten (Pol) Dwi Gusiyati BA sebagai Kapolsek Pasar Klewer Surakarta (Kompas, 3 September 1991).
Pada tahun 2010--2011, terdapat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sri Suari yang menjabat sebagai Kapolres Bantul. Sri Suari pensiun pada tahun 2021 dengan pangkat brigjen pada masa kepemimpinan Jenderal Idham Azis. Di level provinsi, baru ada satu orang polwan yang berhasil menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), yaitu Brigjen Polisi Rumiah Kartoredjo yang bertugas di Polda Banten pada tahun 2008.
Selanjutnya pada awal 2020, mengutip Meliala (2020) dalam "Peran Polisi Wanita dalam Polmas Berbasis Gender", terdapat tiga polwan yang berpangkat brigjen, sebanyak 65 polwan sebagai kombes, sejumlah 644 polwan memegang jabatan AKBP, sejumlah 959 polwan berpangkat kompol, dan sejumlah 5.672 polwan dengan pangkat perwira pertama. Selain itu, terdapat 4 polwan yang sedang menjabat sebagai Kapolres, sejumlah 14 polwan sebagai Wakapolres, dan sejumlah 32 memegang jabatan Kapolsek.
Yang terbaru, pada 2021, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengangkat Brigjen. Pol. Ida Oetari Poernamasasi sebagai Wakapolda Kalimantan Tengah.
Selain tantangan dari sisi jumlah dan peluang karier, polwan juga mengalami tantangan dari lingkungan yang tak bersahabat bagi perempuan, mulai dari pelecehan atau seksisme. Hambatan yang dialami ini bukan merupakan gejala yang khas di kepolisian, tetapi mencerminkan masalah sosial yang endemik di masyarakat secara keseluruhan
Di sisi lain, studi Sandra Wells dan Betty Sowers berjudul “Police Women: Life with The Badge” (2005) menunjukkan bahwa polwan memiliki motivasi lebih untuk memperlihatkan kekuatan dan independensi di dalam profesi yang didominasi oleh dunia maskulin. Ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan untuk mengesampingkan potensi dan kontribusi Polwan.
Meskipun mengalami berbagai tantangan, keberadaan polwan perlu terus ditingkatkan karena polwan terbukti lebih sedikit menggunakan kekerasan dan lebih sedikit mendapatkan keluhan dari masyarakat dibandingkan polisi laki-laki. Figur seorang polwan yang halus, sopan, cepat tanggap, berwibawa, serta tegas sangat diperlukan dalam membina masyarakat. Sifat keibuan yang menjadi ciri khas polwan membuatnya sangat cocok untuk menangani masalah dengan pendekatan yang lebih humanis. Bahkan, penanganan kenakalan remaja dan pengawalan pada saat demonstrasi lebih maksimal ketika dihadapi oleh polwan.
Selain itu, polwan dinilai lebih berhasil dalam mendampingi korban perkosaan dan pelecehan seksual. Polda Metro Jaya bahkan memulai pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) bagi korban perkosaan dan tindak pidana khusus yang membutuhkan dampingan dengan pendekatan psikologis (Kompas, 1 September 1999). Karakter polwan yang keibuan sesuai dengan perkembangan kasus kejahatan yang tidak lagi didominasi oleh unsur kekerasan. Kejahatan seperti penganiayaan tentu beda dengan kenakalan remaja. Di sini, pemolisian bergaya lembut lebih dibutuhkan. (LITBANG KOMPAS)