Liga Indonesia: Sejarah, Penyelenggara, Tim Juara, dan Pemain Terbaik
Liga Indonesia merupakan kompetisi sepak bola antarklub di bawah naungan PSSI sebagai induk organisasi sepak bola di Indonesia. Kasta tertinggi kompetisi sepak bola nasional ini hasil penggabungan dari dua kompetisi sebelumnya, yakni Liga Sepak Bola Utama (Galatama) dan Perserikatan.
Sejarah
Berbicara tentang kompetisi sepak bola Liga Indonesia, maka tidak bisa dilepaskan dari ruang lingkup yang menyelimutinya, di antaranya: perubahan nama event, kontroversi penyelenggaraan, pihak penyelenggara, sistem kompetisi, tim-tim hebat yang menjadi juara, pemain terbaik, pencetak gol terbanyak dan pelatih-pelatih hebat yang di balik suksesnya perjuangan tim.
Cikal bakal kompetetisi teratas di negeri ini berawal dari kompetisi sepak bola Indonesia yang disebut “Perserikatan”. Kompetisi itu mulai digelar pertama kali pada 1951 yang diikuti semua perserikatan sepak bola yang menjadi anggota PSSI. Kompetisi sepak bola nasional di Indonesia itu diselenggarakan secara amatir, dan lebih dikenal dengan istilah "Perserikatan" dan digelar hampir setiap tahun.
Meski demikian, kompetisi sepak bola Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 1931, atau satu tahun setelah PSSI resmi terbentuk. Saat itu kompetisi diikuti oleh klub yang sebagian besar masih menggunakan nama bahasa Belanda.
Pada era kemerdekaan klub-klub itu berganti dengan menggunakan nama kota domisili klub-klub tersebut sebut saja misalnya Persija Jakarta (Sebelumnya Voetbalbond Indonesische Jacatra), Persis Solo (Vorstenlandsche Voetbal Bond), Persebaya Surabaya (Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond), Persib Bandung ( Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond) dan PSIS Semarang (Voetbalbond Indonesia Semarang).
PSSI kemudian secara resmi mengelar kompetisi pertamanya yang diberi nama Kejuaraan Nasional (Kejurnas) PSSI pada tahun 1951. Pesertanya adalah semua tim perserikatan sepakbola yang pada 1 April 1951 telah mendaftarkan diri sebagai anggota PSSI. Kejurnas itu selanjutnya diselenggarakan hampir tiap tahun dengan peserta yang terus meningkat.
Kemudian tahun 1979, PSSI memperkenalkan kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama). Galatama merupakan kompetisi sepak bola semi-profesional yang terdiri dari sebuah divisi tunggal. Meski demikian, baik Perserikatan maupun Galatama tetap berjalan sendiri-sendiri.
Kedua liga tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Perserikatan memiliki kekuatan jumlah pendukung yang cukup besar dengan fanatisme kedaerahannya. Namun, klub-klub perserikatan tidak memiliki manajemen yang baik untuk mengelola klub dan pemain. Sedangkan, Galatama memiliki kekuatan manajemen klub yang telah dikelola secara profesional. Sayangnya, Galatama tidak banyak diminati sehingga beberapa pertandingannya sepi penonton.
Dalam perkembangannya, kekuatan dari masing-masing liga, perserikatan dengan fanatisme suporternya dan galatama dengan profesionalismenya, kemudian oleh PSSI digabungkan menjadi sebuah liga sepak bola yang baru yang diberi nama Liga Indonesia. Liga hasil gabungan perserikatan dan galatama itu pertama kali digulirkan pada 1994 dengan tujuan meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia.
Peraturan dan perangkat pertandingan dalam Liga Indonesia diatur dengan menyesuaikan pada dua liga sebelumnya. Liga Indonesia terbagi dalam dua divisi, yakni Divisi Utama dan Divisi I sehingga tiap musimnya akan ada tim yang mengalami promosi-degradasi. Kompetisi ini secara resmi mulai dimainkan pada musim 1994/1995.
Edisi perdana liga tersebut diikuti 34 tim yang terdiri dari 16 tim Divisi Utama Perserikatan 1993/1994, dua tim dari Divisi II Perserikatan 1993/1994, dan 16 tim dari Liga Galatama 1993/1994. Dari 34 tim dibagi dua grup, masing-masing 17 tim di Grup Barat dan 17 tim lainnya di Grup Timur. Aturannya tiap tim bakal bermain penuh dengan sistem kandang dan tandang, peringkat empat besar di masing-masing grup bakal lolos ke babak delapan besar. Dua tim terbawah di masing-masing grup terdegradasi ke Divisi I.
Babak delapan besar dibagi lagi dua grup, dua grup peringkat teratas masuk ke semifinal, dan yang lolos selanjutnya masuk di babak final.
Hingga musim 2002, Liga Indonesia menerapkan pembagian grup berdasarkan wilayah yang berlaku pada Divisi Utama. Pada musim 2003 dan musim 2004, PSSI mulai mengubah sistem kompetisi Divisi Utama dalam satu grup meniru liga sepak bola di negara lain. Namun, sistem tersebut tidak bertahan lama sehingga musim liga tahun 2005 kembali diubah menjadi dua grup atau dua wilayah. Format dua wilayah itu bertahan hingga musim 2007.
Nama Liga Indonesia kemudian diubah menjadi Liga Super Indonesia (LSI) pada musim kompetisi 2008/2009. LSI mengantikan Divisi Utama sebagai kompetisi sepak bola tigkat teratas di Indonesia. Perubahan itu dilakukan setelah PSSI membuat peraturan baru di mana setiap klub wajib melakukan verifikasi lisensi kepada Badan Liga Indonesia sebelum mengikuti kompetisi. Klub harus memenuhi lima aspek standar Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), yakni pembinaan pemain muda, infrastruktur, personel dan administrasi, legal, dan finansial.
Liga Super Indonesia sebagai liga sepak bola tertinggi, sementara, untuk liga tingkat dua diberi nama Divisi Utama sebagai pengganti Divisi I yang dipakai pada sistem kompetisi sebelumnya. Kompetisi sepak bola teratas itu diikuti oleh 18 klub saja, beda dengan sebelumnya yang diikuti lebih dari 30 tim yang terbagi dalam dua wilayah. Sistem kompetisi LSI menggunakan satu grup dengan pertandingan kandang-tandang dan promosi-degradasi.
Kompetisi LSI sukses diselenggarakan selama 3 tiga musim, yakni musim 2008/2009, 2009/2010, dan 2010/2011, dan rutin diikuti 18 klub. Meski demikian, kompetisi itu memunculkan ketidakpuasan dari klub-klub. Mereka akhirnya mengulirkan liga sepak bola tandingan bernama Liga Primer Indonesia (LPI) tahun 2011.
Bergulirnya LPI menyebabkan dualisme liga antara LSI dengan LPI. FIFA sebagai induk organisasi sepak bola sejagat meminta PSSI menyelesaikan dualisme itu. Untuk itu dibentuk Komite Normalisasi yang diketuai oleh Agum Gumelar untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) dengan agenda memilih Ketua Umum PSSI yang baru sekaligus menyelesaikan dualisme liga tersebut.
KLB PSSI yang digelar di Solo pada 9 Juni 2011 berhasil memilih ketua umum PSSI baru, yakni Djohar Arifin Husin. Djohar Arifin kemudian menetapkan LPI sebagai liga sepak bola tertinggi di Indonesia dan mengakomodasi klub-klub LSI untuk bergabung. Namun dalam perkembangannya, langkah akomodatif itu tak berjalan mulus. Beberapa klub memilih untuk angkat kaki dari LPI dan membentuk kompetisi sendiri di luar PSSI.
Dualisme liga sepak bola Indonesia itu berakhir setelah pertmuan antara PSSI yang menjalankan kompetisi LPI dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang menyelenggarakan LSI pada 17 Maret 2013. PSSI dan KPSI kemudian menyetujui untuk menggabungkan LPI dan LSI dalam satu liga dengan nama tetap Liga Super Indonesia yang dimulai pada musim 2014.
Kompetisi LSI musim 2014, diikuti 22 tim peserta yang terbagi dalam 2 wilayah dengan 11 tim di setiap wilayah. Sementara kompetisi musim 2015 ditunda karena kisruh sepak bola nasional yang berujung pada sanksi FIFA.
Pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi membekukan PSSI pada April 2015 karena PSSI dianggap tidak mematuhi peraturan olahraga nasional. Akibat intervensi tersebut, PSSI dibekukan oleh FIFA.
Satu tahun kemudian, Menpora mencabut sanksi terhadap PSSI. Pada tanggal 13 Mei 2016, FIFA mencabut sanksi yang diberikan untuk Indonesia setelah menerima laporan bahwa Menpora telah mencabut surat pembekuan aktivitas terhadap PSSI.
Untuk mengisi kekosongan kompetisi digelar Torabika Soccer Championship (TSC) yang digelar pada April 2016 hingga Desember 2016 diikuti oleh 18 tim yang sebelumnya berlaga di Liga Super Indonesia (LSI) 2015. Kompetisi itu berhasil mengairahkan kembali antusiasme pengemar sepak bola tanah air.
PSSI kemudian melakukan reformasi kepengurusan dalam kongres yang diadakan di Jakarta pada 10 November 2016. Kongres tersebut menetapkan Eddy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI yang baru. Eddy Rahmayadi selanjutnya mengulirkan kembali kompetisi sepak bola Indonesia musim 2017 dengan menyelenggarakan liga sepak bola yang diberi nama Liga 1, Liga 2, dan Liga 3.
Liga 1 adalah liga profesional level teratas dalam sistem liga sepak bola di Indonesia. Sebanyak 18 klub bersaing untuk menjadi juara dengan sistem kompetisi promosi dan degradasi. Total 34 pertandingan untuk setiap peserta yang dimainkan secara kandang dan tandang.
Sejak pertama diselenggarakan, Liga 1 sudah bergulir selama tiga musim, yakni musim 2017, 2018, dan 2019. Pada musim kompetisi 2020 seluruh liga sepak bola Indonesia termasuk Liga 1 terpaksa dihentikan akibat wabah Covid-19 yang melanda tanah air. PSSI mencoba untuk menggulirkan kembali liga antara Oktober dan November 2020 dengan syarat mematuhi protokol kesehatan. Namun, rencana tersebut gagal karena tidak mendapatkan izin dari kepolisian.
Kompetisi teratas sepak bola nasional kembali diselenggarakan pada musim 2021/2022 setelah Ketua Umum PSSI Mochammad Irawan memastikan kompetisi Liga 1 Musim 2021--2022 digelar pada akhir Agustus 2021 setelah beberapa kali tertunda karena pandemi Covid-19. Format kompetisi Liga 1 mengalami perubahan gara-gara pandemi Covid-19.
Jika sebelumnya pertandingan dimainkan dengan sistem kandang dan tandang, kini seluruh pertandingan Liga 1 2021--2022 diselenggarakan di Pulau Jawa dan menerapkan format bubble to bubble seperti penyelenggaraan Piala Menpora di mana pertandingan dilakukan secara berseri yang lokasinya di tiga kluster, yakni klaster DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten; Klaster Jawa Tengah dan Yogyakarta; serta Klaster Jawa Timur.
Penyelenggara Liga
Penyelenggara Liga Indonesia awalnya dilakukan oleh suatu kepanitiaan yang dibentuk PSSI di bawah komando Badan Liga Indonesia (BLI). Badan tersebut mengelola kompetisi profesional Indonesia, sedangkan kompetisi amatir ditangani Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI). BLI menyelenggarakan kompetisi Liga Indonesia sejak 1994 hingga tahun 2008.
PSSI kemudian membentuk suatu perusahaan yang bernama PT Liga Indonesia (PT LI) pada tahun 2008. PT LI ditugaskan PSSI untuk menyelenggarakan atau sebagai operator kompetisi sepak bola profesional di Indonesia yang merupakan pengembangan dari Badan Liga Indonesia (BLI). Mulai tahun 2009, PT LI menyelenggarakan Liga Super Indonesia (LSI), Divisi Utama Liga Indonesia dan Piala Indonesia. Perusahaan ini lantas menjadi operator kompetisi kasta tertinggi di tanah air yang bernama Liga Super Indonesia (LSI) hingga tahun 2015.
Pada awal pembentukannya, sebanyak 99 persen kepemilikan PT LI dipegang oleh PSSI sementara satu persen sisanya dimiliki oleh Yayasan Sepak Bola Indonesia. Perubahan komposisi kepemilikan saham PT LI terjadi pada 2011, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT LI, sebanyak 99 persen menjadi milik klub anggota PSSI dan satu persen sisanya milik PSSI.
Perubahan komposisi kepemilikan saham PT LI terjadi karena terjadi konflik internal di PSSI, di mana PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin menunjuk PT Liga Prima Indonesia Sportindo (PT LPIS) sebagai penyelenggara untuk kompetisi sepak bola profesional , mengantikan PT LI.
PT LPIS kemudian menyelenggarakan Liga Prima Indonesia (LPI) sebagai kompetisi sepak bola professional teratas Indonesia yang diakui PSSI pada musim 2011/2012. LPI hanya menyelesaikan putaran pertama atau hanya berlangsung sekitar lima bulan dari Januari –Mei 2011. Kompetisi LPI kembali digelar pada tahun 2013 dengan melibatkan 16 tim sepak bola. LPI edisi kedua itu sekaligus menjadi ajang penyelenggaraan kompetisi terakhir dengan operator PT LPIS.
Di saat bersamaaan, beberapa klub yang tidak terlibat d LPI meminta PT LI menyelenggarakan kompetisi tandingan yang diberi nama Liga Super Indonesia (LSI). Hal itu memunculkan dualisme kompetisi sepak bola nasional. Meski liga itu tidak didukung PSSI, LSI didukung oleh Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI).
Dualisme kompetisi itu menambah karut-marut sepak bola nasional sehingga pemerintah membekukan PSSI, dan berujung pada sanksi FIFA terhadap organisasi tersebut. Setelah sanksi FIFA dicabut, PSSI kemudian menutup PT Liga Indonesia pada tahun 2016. Kompetisi sepak bola pun berhenti dan sebagai gantinya diadakan turnamen yakni Kejuaraan Torabika Soccer Championship (TSC) 2016, yang dikelola oleh operator dengan nama PT Gelora Trisula Semesta (GTS).
Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 yang digelar pada April -Desember 2016 diikuti oleh 18 tim yang sebelumnya berlaga di Liga Super Indonesia (LSI) 2015. LSI 2015 terpaksa dihentikan karena konflik di PSSI dan adanya sanksi dari FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia. Pihak operator memberikan hadiah besar bagi pemenang kompetisi yakni Rp 3 miliar bagi juara pertama, dan Rp 2 miliar bagi runner up.
Selain itu, setiap klub peserta TSC juga mendapatkan subsidi komersial Rp 5 miliar dari PT GTS sebagai operator pertandingan. Nilai subsidi ini adalah dua kali lipat dari yang diterima setiap klub Liga Super Indonesia (ISL) dari PT LI pada musim 2013-2014.
Pada 2017, setelah Edy Rahmayadi menjadi Ketua Umum PSSI, penyelenggara kompetisi selanjutnya ditunjuk PT Liga Indonesia Baru sebagai operator kompetisi Liga 1, nama baru kompetisi teratas sepak bola nasional. Operator baru itu juga menyelenggarakan Liga 2 dan Liga 1 U-20.
Untuk memutar roda kompetisi, PT LIB memberikan subsidi Rp 7,5 miliar untuk setiap klub dalam mengarungi kompetisi yang bernama Liga 1 Go-Jek Traveloka musim 2017. PT LIB kemudian menjadi operator kompetisi teratas sepak bola Indonesia musim 2018, 2019, dan 2021. Musim 2020 kompetisi dihentikan karena pandemi Covid-19.
Di musim 2018, Subsidi yang diberikan pada setiap klub peserta nilainya sama seperti musim sebelumnya yakni Rp 7,5 miliar dengan rincian Rp 5 miliar untuk pembiayaan klub, sementara sisanya, yakni Rp 2,5 miliar untuk pembinaan usia muda. Sementara Liga 1 musim 2019, subsidi yang diberikan PT LIB pada masing-masing peserta sebesar Rp 5 miliar atau turun sepertiganya dari musim sebelumnya.
Operator kembali mengucurkan dana berbentuk kontribusi komersial atau match fee kepada klub peserta Liga 1 2021-2022 sebagai pengganti istilah \'subsidi\' yang digunakan beberapa musim sebelumnya.
Saham PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang jumlahnya 99 persen dimiliki bersama oleh semua klub yang bernaung di bawah PSSI, sementara satu persennya dimiliki federasi yakni PSSI. Di awal pembentukannya PSSI menunjuk beberapa orang untuk mengomandani PT LIB antara lain Berlinton Siahaan menjadi Direktur Utama, CEO dipegang Risha Adhi Wijaya, dan Chief Operating Officer Tigorshalom Boboy , dan Komisaris Utama Glenn T Sugita.
Dalam perkembangannya, perusahaan itu dipimpin oleh Akhmad Hadian Lukita yang terpilih menjadi direktur utama perusahaan itu pada RUPS Luar Biasa pada Juni 2020. Akhmad Hadian menggantikan Cucu Somantri yang sebelumnya mundur pada RUPS PT LIB pada 18 Mei 2020. Sementara Juni Rachman, ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT LIB untuk mengisi tempat yang ditinggalkan Sonhadji.
Format Kompetisi
Format penyelenggaraan Liga 1 2021-2022 berbeda dari kompetisi musim-musim sebelumnya. Biasanya, kompetisi digelar kandang dan tandang, dan otomatis pertandingan digelar di seluruh Indonesia. Namun, karena pandemi Covid-19, operator kompetisi memutuskan untuk menyelenggarakan seluruh pertandingan Liga 1 2021-2022 di Pulau Jawa.
Tak hanya lokasi pertandingan, format baru kompetisi juga berubah. Operator menerapkan sistem bubble to bubble seperti penyelenggaraan Piala Menpora. Seluruh pemain dan ofisial di karantina di hotel, dan semua transportasi ditanggung oleh penyelenggara dalam hal ini PT Liga Indonesia Baru.
Sistem kompetisi menggunakan sistem berseri, layaknya kompetisi basket profesional Indonesia (IBL) maupun Liga Futsal Indonesia. Rencananya, akan ada enam seri, yang terbagi dalam tiga klaster. Meski begitu, seluruh tim total tetap melakoni 34 pertandingan seperti biasa. Seri pertama Liga 1 2021-2022 akan dihelat di Klaster 1, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. kemudian Klaster 2 yakni Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta Klaster 3 di Jawa Timur.
Sistem berseri itu artinya selama 1,5 bulan tim-tim akan bertanding dalam satu klaster, mereka akan bertanding di beberapa stadion. Sebagai gambarannya tim-tim akan bertanding di stadion di DKI-Jabar, kemudian istirahat lantas masuk klaster Jateng-Jogja, kemudian masuk lagi klaster Jatim, istirahat dan kemudian masuk lagi DKI-Jawa Barat.
Jika dirunut lebih jauh, format kompetisi sepak bola kasta tertinggi di Indonesia itu mengalami beberapa perubahan. Awal digelar Liga Indonesia 1994 hingga 2007 mengunakan format dua wilayah yakni wilayah Barat dan Timur. Tim peserta kompetisi pun mencapai lebih dari 30 tim yang terbagi dalam dua wilayah atu grup.
Tiap-tiap tim dalam satu wilayah bakal bermain penuh dengan sistem kandang dan tandang, peringkat empat besar di masing-masing grup bakal lolos ke babak delapan besar. Dua tim terbawah di masing-masing grup terdegradasi ke Divisi I. babak delapan besar dibagi dua grup, dua grup peringkat teratas masuk ke semifinal, dan yang lolos selanjutnya babak final.
Kemudian mulai musim kompetisi tahun 2008, PSSI merombak total format pertandingan dengan menggunakan format satu wilayah yang diikuti 18 tim yang memainkan pertandingan kandang dan tandang. Pemenang akan ditentukan dari jumlah poin paling banyak selama 34 pertandingan.
Gelar juara ditentukan oleh tim dengan poin tertinggi selama satu musim kompetisi, jika poin sama maka juara akan ditentukan dengan selisih gol. Tiga tim penghuni terbawah klasemen akan langsung terdegradasi dan digantikan oleh tiga tim terbaik dari Liga 2 yang promosi. Format pertandingan itu selanjutnya berlangsung hingga musim kompetisi 2019.
Tim Juara
Sejak liga pertama kali diselenggarakan pada 1994, sudah ada 14 klub sepak bola di Indonesia yang merengkuh juara Liga Indonesia. Dari 14 klub itu, Persipura Jayapura yang menjuarai empat kali merupakan klub paling sukses mengapai puncak tertinggi supremasi sepak bola nasional, kemudian disusul oleh Persebaya Surabaya (2 kali), Persija Jakarta (2 kali), Persik Kediri (2 kali), dan Persib Bandung (2 kali).
Persipura Jayapura pertama kali berhasil menjadi juara Liga Indonesia di bawah asuhan Rahmad Darmawan pada musim kompetisi 2005. Kemudian klub berjuluk Mutiara Hitam itu meraihnya kembali musim 2008/2009, 2010/2011, dan 2012/2013 di bawah pelatih Jacksen Tiago.
Tidak hanya menjadi klub paling banyak meraih gelar juara di era Liga Indonesia, Persipura juga mencatatkan prestasi terbaik lainnya. Tim asal Papua itu tercatat memiliki jumlah kemenangan terbanyak dalam 10 musim terakhir (2008-2019), yaitu 165 kemenangan di pentas Liga Indonesia dari total 296 pertandingan yang mereka jalani. Sisanya, Mutiara Hitam itu mencatatkan 80 hasil imbang dan 51 kali kalah.
Juara Liga Indonesia
*dualisme liga yakni LPI dan LSI. LSI tidak diakui oleh PSSI dibawah pimpinan Djohar Arifin Husin, sebaliknya LPI yang diakui PSSI.
Sumber: Litbang Kompas/ERI, disarikan dari pemberitaan Kompas dan PSSI
Di bawah Persipura, Klub lainnya yang berhasil mengoleksi dua gelar juara yakni Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, Persib Bandung, dan Persik Kediri. Persebaya Surabaya meraih juara Liga Indonesia pada musim kompetisi 1996/1997 dan 2004, Persija Jakarata meraihnya pada tahun 2001 dan 2018, Persib Bandung pada musim 1994/1995 dan 2014, dan Persik Kediri di musim 2003 dan 2006.
Klub-klub lainnya yang pernah sekali menjadi juara di kompetisi sepak bola teratas itu yakni Sriwijaya FC, Arema Indonesia, PSM Makassar, Bandung Raya, Petrokimia Putra, PSIS Semarang, Semen Padang, Bhayangkara FC, dan Bali United. Sriwijaya FC sebenarnya meraih dua gelar Liga Indonesia yakni musim 2007 dan musim 2011/2012, namun kompetisi terakhir yang dimenanginya tidak diakui oleh PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin.
Bali United merupakan klub terakhir yang menjuarai kompetisi sepak bola professional teratas di tanah air. Skuad pulau dewata itu memastikan menjadi kampiun ketika liga masih menyisakan empat pertandingan lagi. Tepatnya, pada pekan ke-30 Liga 1 2019, tim berjulukan Serdadu Tridatu tersebut berhasil mengalahkan Semen Padang dengan skor 2-0 di Stadion Haji Agus Salim, Padang, Sumatra Barat, 2 Desember 2019. Hasil itu membuat perolehan angka Bali United tak terkejar oleh tim-tim lainnya.
Jika dirunut lebih jauh, tercatat ada 21 tim berbeda yang pernah meraih gelar juara Perserikatan, Galatama, dan Liga Indonesia. Jika tiga kompetisi itu digabung, Persija (termasuk cikal bakalnya VIJ Jakarta), merupakan klub tersukses dengan total mengoleksi 11 gelar tertinggi sepak bola nasional dengan rincian sembilan di era Perserikatan dan dua di era Liga Indonesia. Sementara Persebaya (termasuk SIVB Surabaya) total mengkoleksi delapan gelar juara, dua di antaranya dari Liga Indonesia.
Persib Bandung dan Persis Solo sama-sama mengoleksi tujuh gelar juara. Persib mengoleksi lima gelar di Perserikatan dan dua gelar di Liga Indonesia, Sementara tujuh gelar yang diraih Persis Solo semuanya dari Perserikatan yakni musim 1935, 1936, 1939, 1940, 1942, 1943, 1948.
Juara Era Perserikatan
Sumber: Litbang Kompas/ERI, disarikan dari pemberitaan Kompas dan PSSI
Tim eks Perserikatan lainnya yang meraih gelar juara lebih dari sekali yakni PSMS Medan (5 kali juara perserikatan), PSM Makasar (5 kali juara perserikatan dan 1 kali Liga Indonesia), PSIS Semarang ( 1 kali juara Perserikatan dan 1 kali Liga Indonesia).
Adapun tim eks Galatama yang pernah menjuarai lebih dari sekali yakni Pelita Jaya Jakarta (3 gelar Galatama yang diraih pada 1988/1989, 1990, 1993/1994), Niac Mitra Surabaya (3 gelar yakni 1980/1982, 1982/1983, 1987/1988), Krama Yudha Tiga Berlian (2 gelar yakni musim 1985, 1986/1987) dan Yanita Utama (2 gelar musim 1983/1984, 1984).
Juara Liga Sepak Bola Utama/Galatama
Sumber: Litbang Kompas/ERI, disarikan dari pemberitaan Kompas dan PSSI
Pemain Terbaik dan Top Skorer
Sejak pertama kali diselenggarakan tahun 1994, Liga Indonesia sudah mencatatkan nama 20 pemain terbaik yang lahir dari kompetisi tersebut. Kriteria seorang pemain Liga Indonesia bisa terpilih sebagai pemain terbaik antara lain kemampuan individu, pengaruhnya dalam tim, aspek fair play, menit bermain, dan kontribusi terhadap tim.
Dari 20 nama yang pernah menjadi pemain terbaik sepanjang perjalanan liga tersebut, terdapat satu nama yang paling sering menyandang gelar pemain terbaik yakni Boaz Solossa dari Persipura yang tiga kali menjadi pemain terbaik Liga Indonesia yakni musim 2008-2009, 2010-2011, dan 2013.
Pencapaian Boaz itu sekaligus menghantarkan Persipura Jayapura menjadi juara terbanyak di era Liga Indonesia hingga saat ini yang empat kali menjadi juara. Keberhasilan Persipura meraih tiga gelar juara di antaranya, tidak lepas dari kontribusi besar Boaz Solossa yang berhasil menjadi pemain terbaik setiap kali Mutiara Hitam menjadi juara di Liga.
Tak hanya sebagai pemain terbaik, Boaz Solossa juga tercatat sebagai pemain tersubur mencobloskan bola ke gawang lawan. Top skorer itu diraihnya setiap kali Persipura menjadi juara di Liga Super Indonesia yakni 2008-2009, 2010-2011, dan 2013.
Nama-nama lainnya yang pernah terpilih sebagai pemain terbaik sepanjang penyelenggaraan liga adalah Widodo C. Putro (Petrokimia), Ronny Wabia (Persipura), Nuralim (Bandung Raya), Ali Sunan (PSIS), Bima Sakti (PSM), Bambang Pamungkas (Persija), Ilham Jayakesuma (Persita), dan Musikan (Persik), Ponaryo Astaman (PSM), Christian Warobay (Persipura), Maman Abdurrahman (PSIS), dan Zah Rahan (Sriwijaya FC).
Di ajang Liga Super Indosia sebagai pengganti nama Liga Indonesia yang mulai dihelat musim 2008/2009 tercatat pemain terbaik yakni Boaz Solossa (Persipura), Kurnia Meiga (Arema), Keith Kayamba Gumbs (Sriwijaya FC), dan Ferdinand Sinaga (Persib). Adapun di Liga 1 yang mulai digelar sejak musim 2017 menghasilkan pemain terbaik yakni Paulo Sergio (Bhayangkara FC), Rohit Chand (Persija), Renan Silva (Borneo FC). Renan Silva dari Borneo FC merupakan pemain terbaik di Liga 1 2019 atau liga terakhir sebelum pandemi Covid-19 melanda tanah air.
Jika dicermati, nama-nama pemain terbaik di Liga Indonesia didominasi oleh pemain lokal yang sebagian besar di posisi striker atau pemain tengah.
Selain pemain terbaik di kompetesi liga teratas itu juga menunculkan pencetak gol terbanyak di tiap musimnya. Boaz Solossa yang terpilih tiga kali sebagai pemain terbaik juga tercatat tiga kali menjadi pencetak gol terbanyak Liga Indonesia. Sementara Cristian Gonzales mampu meraih prestasi yang lebih baik dari Boaz dalam mencetak gol terbanyak pada setiap musimnya. Pemain asal Uruguay yang kini telah menjadi warga negara Indonesia itu tercatat empat kali menjadi top scorer di era Liga Indonesia.
Pertama kalinya Cristian Gonzales menjadi top scorer Liga Indonesia adalah pada musim pertamanya bersama Persik Kediri, yaitu pada Liga Indonesia 2005. Torehan 25 gol menjadikannya sukses sebagai yang paling subur di musim itu. Cristian Gonzales kemudian tampil mendominasi top scorer bersama Persik Kediri dalam tiga musim berikutnya, mulai dari 2006, 2007, dan musim 2008/2009.
Di musim pertamanya yakni 2005, Gonzales menorehkan 25 gol. Gonzales makin tajam pada dua musim berikutnya dengan mencetak 29 gol di Liga Indonesia 2006, dan 32 gol di musim 2007. Pada musim 2007/2008, Cristian Gonzales berbagi tempat di puncak daftar pencetak gol terbanyak dengan Boaz Solossa yang sama-sama mengoleksi 28 gol. Meski empat kali sebagai top skorer, Gonzales belum pernah sekalipun menyandang predikat pemain terbaik di liga.
Selain Gonzales, nama top skorer yang melegenda yakni striker Bandung Raya, Peri Sandria yang mencetak gol terbanyak di musim 1994/1995. Saat itu, Peri Sandria menjadi top scorer dengan torehan 34 gol dalam satu musim dan rekor itu bertahan selama 22 tahun.
Torehan gol Peri Sandria itu pun patah pada musim 2017, Striker asal Belanda, Sylvano Comvalius yang bermain untuk Bali United mampu membuat torehan lebih baik yaitu 37 gol dalam satu musim. Torehan tersebut mengantar Sylvano Comvalius menjadi top scorer Liga 1 2017 sekaligus menjadi pencetak gol terbanyak dalam satu musim sepanjang Liga Indonesia hingga saat ini.
Pemain Terbaik Liga Indonesia
*dualisme liga yakni LPI dan LSI. LSI tidak diakui oleh PSSI dibawah pimpinan Djohar Arifin Husin, sebaliknya LPI yang diakui PSSI.
Sumber: Litbang Kompas/ERI, disarikan dari pemberitaan Kompas dan PSSI
Pelatih Terbaik
Kesuksesan suatu tim meraih gelar juara Liga Indonesia tak bisa lepas dari peran pelatih dalam mengomandani skud asuhannya. Dalam sejarah Liga Indonesia, terdapat empat pelatih yang sukses meraih juara Liga Indonesia bersama tim yang berbeda.
Keempat pelatih itu adalah Stefano Cugurra Teco yang dua kali menjadi juara di era Liga 1 bersama Persija Jakarta dan Bali United, Rahmad Darmawan yang menjadi kampiun bersama Persipura dan Sriwijaya FC, dan Jacksen Tiago yang menjadi juara bersama Persebaya Surabaya dan Persipura Jayapura, dan Henk Wullems yang membawa Bandung Raya dan PSM Makassar menjadi juara Liga Indonesia.
Stefano Cugurra Teco merupakan pelatih asal Brasil yang mampu meraih prestasi terbaik dalam dua musim berturut-turut di dua klub yang berbeda. Berkat keberhasilannya membawa dua klub berbeda meraih juara, Teco pun menorehkan prestasi dalam sejarah sepak bola Indonesia sebagai satu-satunya pelatih terbaik liga teratas di negeri ini yang mampu dua kali juara berturut-turut bersama tim berbeda .
Awalnya Teco datang ke Indonesia pada akhir 2016 dan mendampingi Persija Jakarta di Liga 1 2017. Tahun pertamanya di Persija, pelatih asal Brasil itu mampu membawa tim Macan Kemayoran finis di peringkat keempat. Tahun keduanya di Persija, Teco pun membawa Persija meraih gelar juara Liga 1 2018. Di penghujung kompetisi, prestasi Teco itu membawanya menyabet gelar pelatih terbaik Liga 1 2018.
Di musim 2019, Teco mendapatkan tawaran dari Bali United untuk menangani tim tersebut. Berbekal pemain-pemain berkualitas dan beberapa pemain yang dibawanya dari Persija, Teco pun berhasil mengantar Bali United menjadi juara pada akhir musim 2019. Teco pun terpilih kembali sebagai pelatih terbaik Liga 1 2019 sama seperti yang dicapainya musim sebelumnya bersama Persija Jakarta.
Pelatih Tim Juara Liga Indonesia
*dualisme liga yakni LPI dan LSI. LSI tidak diakui oleh PSSI dibawah pimpinan Djohar Arifin Husin, sebaliknya LPI yang diakui PSSI.
Sumber: Litbang Kompas/ERI, disarikan dari pemberitaan Kompas dan PSSI
Selain Teco, pelatih yang mampu dua kali menghantarkan timnya juara Liga Indonesia yakni Rahmad Darmawan. Ia berhasil membawa Persipura Jayapura meraih gelar juara Liga Indonesia 2005. Pencapaian itu buah dari perjalanan Persipura yang menjadi juara Wilayah Timur , dan kemudian menjadi pemuncak klasemen Grup B babak 8 besar Liga Indonesia 2005. Di partai final, Persipura Jayapura berhasil menang 3-2 atas Persija Jakarta di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 25 September 2005.
Dua musim kemudian di Liga Indonesia 2007-2008, Rahmad Darmawan yang menukangi tim Sriwijaya FC, berhasil membawa tim asuhannya yang berjuluk Laskar Wong Kito menjadi pemuncak klasemen Wilayah Barat dan maju ke babak empat besar. Sriwijaya FC Kembali menjadi teratas di fase tersebut, dan melaju ke partai final menghadapi PSMS Medan. Di laga final yang digelar di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung pada 10 Februari 2008, tim asuhannya berhasil mengalahkan PSMS Medan dengan skor 3-1.
Pelatih lainnya yang sukses meriah juara dengan tim yang berbeda adalah Jacksen Tiago. Setelah sukses mengantarkan Persebaya Surabaya promosi ke divisi utama, kasta tertinggi kompetisi sepak bola tanah air pada 2003, setahun kemudian ia berhasil membawa Persebaya juara Liga Indonesia 2004.
Pencapaian itu kemudian diulanginya bersama tim yang berbeda yakni Persipura Jayapura pada Liga Indonesia musim 2007/2008. Tak hanya musim 2007/2008, Pria kelahiran Rio de Janeiro Brasil itu kembali mengantarkan Persipura kampiun di Liga Indonesia musim 2010/2011 dan 2013. Selain itu, Jacksen Tiago ketika masih aktif bermain, berhasil membawa Persebaya juara musim 1996/1997 sekaligus menjadi top scorer musim tersebut.
Adapun pelatih asal Belanda Henk Wullems, prestasi gemilang dicapai ketika menangani klub Bandung Raya dan PSM Makasssar. Ia menjadi pelatih asing pertama di era Liga Indonesia yang berhasil mempersembahkan juara buat klub yang dilatihnya yakni Bandung Raya di musim 1995/1996. Empat tahun berselang bersama skuad PSM Makassar, Henk Wullems yang diduetkan dengan pelatih lokal, Syamsuddin Umar, sukses membawa PSM menjuarai Liga Indonesia VI 1999/2000. (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait