Kasus perdagangan orang pada masa pendemi angkanya justru meningkat. Dilihat dari korbannya, perdagangan orang terjadi pada perempuan, anak-anak, dan laki-laki. Ketakutan dari para korban untuk melaporkan kasus yang menimpanya menyebabkan kasus perdagangan orang akan terus menjadi kasus laten dan terpendam.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·6 menit baca
Definisi Perdagangan Orang
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, disebutkan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Dalam buku Human Trafficking, Human Misery: The Global Trade in Human Beings, Alexis A. Aronowitz (2009) menjelaskan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian dan penerimaan dengan cara-cara ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau mengeksploitasi kelemahan korban. Tujuannya adalah eksploitasi seksual, pelacuran, kerja paksa atau melayani secara paksa perbudakan atau sejenisnya dan pengambilan organ tubuh manusia.
Tindakan perdagangan orang pada masa pandemi angkanya justru meningkat seperti yang tertuang dalam siaran pers Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 29/7/2021 dengan Nomor : B-256/SETMEN/HM.02.04/07/2021. Menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2020, bahwa Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada perempuan dan anak meningkat 62,5 persen.
Berdasarkan wilayah tujuan dapat dikategorikan dengan internal trafficking (dalam negeri) atau international trafficking (luar negeri), biasanya korban berasal dari desa-desa dibawa ke kota besar atau perdagangan antarnegara yang akhirnya mengalami eksploitasi di luar negeri.
Dilihat dari korbannya, perdagangan orang terjadi pada perempuan, anak-anak (dibawah usia 17 tahun) dan laki-laki.
Kasus-kasus Human Trafficking
Pada awal Januari 202, sebuah peti mati datang dari laut berisi jenazah ABK kapal nelayan berbendera Cina, almarhum adalah Wendy (25 th) pemuda asal Kendal, Jawa Tengah yang baru 1 tahun bekerja. Nasib Wendy masih lebih baik daripada ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal nelayan berbendera Cina, karena pada 16 Januari 2020 beredar video tentang jenazah ABK Indonesia yang dilarung ke laut. Nasib pekerja migran di kapal asing sangat tidak menentu, dari perlakuan yang semena-mena dan tidak manusiawi dari operator kapal hingga gaji mereka tidak dibayar. Dalam kasus ini, Kementerian Luar Negeri RI juga turut mengambil peran untuk menyelesaikan persoalan ini (Kompas, Senin, 4 Januari 2021, "Kabar Duka Pekerja Migan yang Tak Putus", Rubrik Jendela Halaman C).
Demikian pula kisah Turini yang bekerja di Arab Saudi sejak tahun 1998. Keluarganya sempat kehilangan kabar Turini selama 15 tahun karena disembunyikan dan tidak dibayar gajinya oleh majikannya. Majikannya mengganti alamat tinggal dan nama Turini sehingga surat-surat dari keluarganya di Cirebon tidak pernah sampai padanya.
Pada tahun 2019 seorang teman kerja dari Filipina kemudian melaporkan nasib Turini ke polisi bahkan menuliskan kisahnya di Facebook. Dari situlah kemudian KBRI Arab Saudi dapat melacak keberadaannya dan memulangkannya ke kampung halaman, bahkan Turini mendapatkan gaji yang sebelumnya tidak pernah dibayarkan sebesar Rp600 juta (Kompas, Rabu 17 Februari 2021, "Pahlawan Devisa Meretas Trauma", halaman 1).
Selain dua kasus yang menjadi perhatian publik dan media tersebut, dalam kurun waktu 2015--2019 ada sebanyak 2.648 korban perdagangan orang yang terdiri dari 2.319 perempuan dan 329 laki-laki. Data yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) tersebut menunjukkan kasus TPPO semakin meningkat khususnya pada perempuan.
Di Indonesia masalah perdagangan orang sangat kompleks karena terkadang hadir dalam bentuk yang tidak terlalu menonjol seperti dalam kasus tenaga kerja. Umumnya masyarakat hanya memahami perdagangan orang dalam bentuk perekrutan dan pengiriman pekerja migran apalagi yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan perbudakan.
Padahal tindakan perdagangan orang terkadang hadir dalam bentuk yang terlalu naif, yaitu pengantin pesanan seperti yang telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Kasus ini mayoritas terjadi pada wanita Kalimantan Barat dan beberapa di wilayah Jawa dengan modus dinikahkan dengan pria Taiwan.
Bahkan, pernah terjadi penyebaran pamflet pada sebuah surat kabar nasional edisi 9 Februari 2021. Pamflet yang disisipkan tanpa izin ke surat kabar nasional tersebut berisi ajakan menikah pada usia 12--21 tahun dengan konten dan promosi Aisha Wedding. Konten itu ditengarai menjurus pada perdagangan orang.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati berkoordinasi dengan Kepolisian RI dan Kementrian Komunikasi dan Informatika segera menyelidiki lebih lanjut kasus tersebut. Kekhawatiran muncul karena data pribadi anak-anak yang tertarik dalam situs tersebut disalahgunakan untuk tindakan perdagangan anak ataupuan eksplotasi seksual ekonomi.
Dalam situasi pandemi banyak orang kehilangan pekerjaan. Data yang dilansir oleh BPS (2021) bahwa terdapat 9,30 persen atau 19,10 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19. Hal itu menyebabkan kasus TPPO meningkat karena banyak yang kehilangan pekerjaan, lalu terjerat hutang, dan menerima pekerjaan yang tidak menguntungkan sehingga cenderung tereksploitasi. Berdasarkan data ILO pada 2020 lebih dari 40 juta orang di dunia menjadi korban TPPO, 1 dari 4 korban tersebut adalah anak-anak.
Data Trafficking In Person (TIP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Penanganan TPPO Kementerian Dalam Negeri AS membagi negara-negara dalam tiga kategori:
Tingkat satu: negara yang kebijakan dan praktik perlindungan yang baik pada tenaga kerja lokal maupun asing
Tingkat dua: negara yang aturan dan praktik belum sesuai standar internasional tetapi sudah menunjukkan ke arah itu.
Tingkat tiga: negara-negara dengan masalah kekerasan terhadap tenaga kerja.
Indonesia berada di Tingkat Dua karena sudah berusaha ke arah perlindungan yang baik pada tenaga kerja lokal dan asing. Sementara itu, pada Tingkat Tiga terdapat 17 negara yang bermasalah dengan TPPO, seperti adanya problem serius tentang pekerja anak dan prajurit anak. Ketujuh belas negara itu adalah Korea Utara, Afghanistan, Myanmar, China, Rusia, Eritrea, Iran, dan Kuba. Sedangkan Selandia Baru, Norwegia, Swiss, dan Israel turun dari tingkat Tingkat Satu ke Tingkat Dua karena dianggap tidak memiliki aturan tindak tegas pemindanaan pelaku TPPO (Kompas, Selasa 6 Juli 2021, "Perdagangan Orang Terus Jadi Ancaman").
Jumlah kasus TPPO pada tahun 2019 ada 318 kasus dan meningkat menjadi 400 kasus pada tahun 2020. Data IOM mencatat jumlah korban perdagangan anak di mana 80 persennya dieksploitasi secara seksual.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika angka korban yang berlindung di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) tidak menurun. Tahun 2017 ada 1.291 yang berlindung di RPTC. Tahun 2018 ada 490 korban dan tahun 2019 ada 761 orang. Korban TPPO menempati porsi terbesar, kasus itu hanya sedikit di bawah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM.