Perempuan Indonesia Pejuang Olimpiade
Salah satu prestise yang dapat dibanggakan sebuah negara dan rakyatnya di dunia internasional adalah prestasi olahraga. Kemenangan meraih medali dalam ajang Olimpiade menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi rakyat Indonesia.
Olimpiade masa modern dimulai sejak 1896 di Athena, Yunani, tetapi Indonesia baru berpartisipasi mengirimkan kontingen olahraga pertama kali pada tahun 1952 dengan tiga atlet, yaitu Thio Ging Wie dari cabang angkat besi, Soedarmojo cabang atletik, dan Habib Soeharno dari cabang renang.
Setelah tujuh kali ikut olimpiade baru pada tahun 1988 di Seoul Korea Selatan, Indonesia berhasil membawa medali perak yang merupakan medali pertama bagi Indonesia dalam sejarah Indonesia mengikuti ajang ini. Adalah tiga Srikandi Indonesia---Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani---yang berhasil menunjukkan pada dunia olahraga internasional bahwa Indonesia mampu “berbicara” dan berprestasi ("Panahan Menyelamatkan Indonesia", Kompas, 21 Oktober 1988).
Tiga Srikandi
Indonesia yang dihormati di Asia Tenggara sebagai negara terkuat di bidang olahraga. Anehnya, ketika tampil dalam even internasional justru kalah jauh di bawah atlet-atlet negara ASEAN lainnya. Sebelum Olimpiade Seoul, Filipina sudah pernah meraih satu perak dan lima perunggu, bahkan Singapura telah mendapat satu medali perak. Keberhasilan tiga atlet perempuan dari cabang panahan itu membawa semangat baru pada dunia olahraga Indonesia.
Saat penjumlahan skor di babak penyisihan banyak pihak meragukan Tiga Srikandi itu dengan total skor 3.720 hanya mampu menduduki urutan kelima di bawah tuan rumah Korea Selatan, Uni Sovyet, Taiwan dan AS. Dalam babak final, tim panahan putri tersebut berhasil menduduki urutan kedua di bawah Korea Selatan, tetapi harus dilakukan tembakan ulang karena ternyata tim panahan AS memiliki skor yang mirip dengan Indonesia. Ternyata tembakan ulang berhasil dilakukan Tiga Srikandi dengan baik sehingga Indonesia sah untuk menempati urutan kedua dan menyabet medali perak, sedangkan AS harus puas dengan medali perunggu.
Tuan rumah Korea Selatan sengaja menyediakan empat medali emas untuk cabang panahan. Olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade sejak 1972 ini tidak hanya menyelamatkan wajah Indonesia tetapi juga reputasi Asia dalam Olimpiade di mata internasional, khususnya dalam cabang olahraga terukur. Asia berhasil merebut tiga medali emas, dua perak dan satu perunggu. Satu-satunya emas yang terlepas dari Asia adalah nomor perseorangan putra yang direbut oleh Jay Barrs dari AS.
Susi Susanti, Barcelona 1992 Emas Pertama bagi Indonesia
Indonesia tidak diperhitungkan dalam olahraga internasional khususnya Olimpiade hingga cabang bulu tangkis masuk dalam ajang dunia tersebut. Susi Susanti adalah atlet pertama yang berhasil mendapatkan medali emas bagi Indonesia dalam tunggal putri, dua jam kemudian, kekasihnya, Alan Budi Kusuma menang di final dan meraih medali emas dalam tunggal putra. Indonesia pun menyambut kemenangan itu dengan gegap gempita. Betapa tidak, setelah 40 tahun mengirimkan kontingen ke Olimpiade, inilah pertama kali mendapatkan medali emas.
Nama Susi Susanti sudah menjadi andalan sebelum Olimpiade 1992 di Barcelona. Wanita kelahiran Tasikmalaya, 11 Februari 1971 ini berlatih di klub sejak usia 9 tahun. Orangtuanya penggemar olahraga badminton, maka sedari kecil Susi sudah terbiasa melihat orang tuanya bermain bulu tangkis. Bahkan, pada awal perkenalannya dengan bulu tangkis orang tuanyalah yang menjadi pelatihnya ("Susi Susanti: Jangan Memberi Saya Beban Berlebihan", Kompas, Jumat, 3 Januari 1992).
Tahun 1986 Susi masuk Pelatnas Pratama, dengan rendah hati iapun mengakui banyak belajar dari seniornya seperti Retno Kustiah, Rudi Hartono, Atik Djauhari, Alex Taufik, serta Liang Chiush. Semangat selalu ingin menjadi pemenang dalam setiap pertandingan memberinya kekuatan mental dalam berlatih.
Tim bulutangkis putri Indonesia mengalami era keemasan pada Piala Uber 1975 dengan adanya dua ganda putri, yaitu Imelda Wiguna/Theresia Widiastuti dan Minarni/Regina Masli. Kegemilangan juga terjadi dalam kejuaraan All England dengan tampilnya Verawati Fajrin/Imelda Wiguna tahun 1979. Setelah itu, terjadi kevakuman kekuatan bulutangkis putri selama 19 tahun, hingga tampilnya Susi Susanti sebagai tunggal putri serta Lili Tampi/Finarsih sebagai ganda putri.
Susi telah mencuri perhatian bulutangkis Indonesia saat ia bergabung dalam tim Piala Uber tahun 1988 karena permainannya yang sangat baik. Pada usia yang belum genap 18 tahun, Susi tampil memukau dengan kecermatannya dan fokus membaca permainan lawan. Ia juga sangat lincah bermain di lapangan serta memiliki kemampuan teknis yang baik. Meskipun saat itu Susi akhirnya kalah oleh pemain Cina dan tidak mendapat medali, kepandaiannya di lapangan sungguh mengagumkan ("Prestasi Menanjak dan Perlu Pembinaan Serius", Kompas, 1 Juni 1988).
Pada tahun 1989, Susi Susanti makin cemerlang bintangnya dengan menjuarai beberapa turnamen bulu tangkis, ia memenangkan Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis Beregu Campuran Piala Sudirman 1989, lalu Juara Piala Dunia 555 di Guangzhou, Cina 1989. Hal yang cukup fenomenal adalah Susi dan Eddy Kurniawan menang di putaran terakhir Grand Prix tahun 1990. Hal tersebut sebuah prestasi yang belum pernah dicapai Indonesia sebelumnya, sejak turnamen itu dilaksanakan tahun 1983.
Sebelum berangkat ke Olimpiade Barcelona Susi sudah memiliki delapan gelar. Meraih juara Taipei, Swedia, All England, Indonesia, Denmark, Thailand, Sea Games, serta Grand Prix telah menempatkan Susi sebagai pemain nomor satu. Namun, dia juga pernah tiga kali kalah, saat melawan Huang Hua di Final Jepang Terbuka dan semifinal Piala Dunia Macao serta semifinal Kejuaraan Dunia Copenhagen melawan Tan Jiuhong.
Bertanding dalam Olimpiade Barcelona, Susi dengan mudah dapat mengalahkan lawan-lawan seperti Wong Chun Fang (Hongkong), Somharuethai Jaroensiri (Thailand), dan Huang Hua (Cina). Dalam final di gedung Pabello de la Marbella Susi bertemu dengan atlet terberat dari Korea Selatan Bang So-hyun, dengan tiga set pertandingan 5-11, 11-5 dan 11-3.
Atas keberhasilannya memberi medali emas pertama bagi Indonesia, Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma mendapat bonus dari pemerintah masing masing Rp450 juta, dari total bonus Rp2 miliar yang disediakan pemerintah untuk seluruh kontigen yang berangkat ke Olimpiade Seoul. Sementara itu, pengusaha dan Pemda Jawa Barat memberikan hadiah sebesar 225 juta rupiah untuk pemain dan pelatih, tetapi Susi mendapat bagian paling besar.
Kemenangan kontingen cabang bulu tangkis membawa medali emas disambut sangat meriah di Jakarta. Dengan arak-arakan, para atlet naik jip terbuka dan menyapa masyarakat yang turun memenuhi jalan untuk memberi ucapan selamat kepada pada pahlawan olahraga tersebut.
Prestasi yang ia torehkan dalam Olimpiade membuat prestasi Susi layak untuk mengisi koleksi museum bulutangkis di Musium Olimpiade di Lausanne, Swiss. Susi pun memberikan dua set celana, kaus, dan raketnya.
Kehebatan Susi tidak hanya sampai Olimpiade 1992, bersama dengan Mia Audina, Lili Tampi, Finarsih, Eliza, Zelin Resiana, Yuliani Sentosa, Yuni Kartika, dan Rosiana Tendean, ia berhasil memboyong Piala Uber kembali ke pangkuan ibu pertiwi setelah 19 tahun berada di luar negeri. Sungguh bagai mukjizat tahun 1994 Piala Uber Cup kembali lagi ke Jakarta dan berhasil dipertahankan oleh Susi dan rekan-rekannya pada tahun 1996.
Namun demikian, pada Olimpiade Atlanta 1996, Indonesia hanya mendapat satu emas dari bulu tangkis tunggal putra. Namun, Susi tetap bersemangat dan menjuarai kembali Indonesia Terbuka beberapa minggu setelah Olimpiade.
Tahun 1997 Susi Susanti menikah dengan Alan Budi Kusuma setelah 10 tahun mereka berpacaran. Susi mulai mengendurkan fokusnya dari bulutangkis dengan berfokus pada keluarga. Walaupun ia masih menjuarai Grand Prix Bulu Tangkis dan Malaysia Terbuka pada tahun 1997, tahun 1998 Susi mundur dari Tim Uber Cup dan kalah di semifinal Kejuaraan All England. Pada tahun itu juga, ia hamil dan memutuskan mundur dari dunia bulu tangkis yang telah ia geluti selama 20 tahun.
Greysia Polii dan Apriani Rahayu
Setelah era Susi Susanti dan pasangan Verawati Fajrin/Imelda Wiguna, bulu tangkis kembali sepi dari medali emas. Piala Uber Cup cukup lama tidak berada di Indonesia. Pada Olimpiade Tokyo 2020, semangat dan harapan bangkit kembali dengan kemenangan pasangan ganda perempuan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang berhasil memenangkan medali emas pertama dalam sejarah pemain ganda wanita.
Sejarah olahraga bulu tangkis di Indonesia mendapat asupan semangat tinggi, seolah darah segar bagi tubuh yang kelelahan, dengan kemenangan pasangan ganda perempuan di Olimpiade Tokyo 2020. Adalah Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang berhasil memenangkan medali emas pertama dalam sejarah pemain ganda wanita.
Pasangan ini mengalahkan Qingchen/JiaYifan (China), 21-19,21-15 di Mushashino Forest Sport Plaza. Tentu ini merupakan prestasi luar biasa yang hanya tercapai melalui kerja keras dan disiplin tinggi. Kemenangan ini sekaligus menunjukkan bahwa Greysia sangat tangguh dalam berlatih. Ia sempat hendak mundur dari lapangan, namun pelatih Eng Hian meminta ia untuk tetap di pelatnas. Pengalaman Greysia diharapkan dapat menular ke angkatan junior di bawahnya. Greysia pernah dipasangkan dengan Rosyita Eka Putri Sari, lalu dengan Rizki Amelia Pradipta, kemudian dengan Apriani Rahayu yang baru setahun lepas dari Yunior.
Kemenangan Greysia dalam Olimpiade adalah buah pengalaman mental di masa-masa sebelumnya. Pada tahun 2012, Indonesia tidak mendapat medali sama sekali. Hal yang cukup menyedihkan adalah Greysia yang berpasangan dengan Meliana Jauhari didiskualifikasi, walaupun telah lolos ke perempat final. Ada tiga pasangan lain yang juga didiskualifikasi, yaitu Ha Jung-eun/Kim Min-jung dan Jung Kyung-eun/Kim Ha-na (Korea Selatan), serta Wang Xiaoli/Yu Yang (China). Keempat pasangan itu dicoret dari persaingan karena dianggap merusak nilai-nilai olahraga karena tidak berusaha yang terbaik untuk menang demi menghindari lawan lebih kuat pada perempat final.
Greysia tidak patah arang karena peristiwa 2012. Ia tetap semangat untuk meraih mimpi, walaupun sempat kehilangan kepercayaan diri saat pasangannya Nita Krishinda Maheswari tidak bisa lagi bermain karena cedera lutut pada tahun 2016. Bahkan, Greysia sempat berpikir bahwa Olimpiade Rio de Janeiro 2016 adalah pertandingan terakhir baginya.
Pasangan Greysia/Apriyani pertama kali diturunkan dalam kejuaraan beregu campuran di Piala Sudirman, Mei 2017 di Selandia Baru, yang melambungkan nama Apriyani. Apriyani adalah bintang muda bermental tangguh dan tidak takut menghadapi tantangan apapun, termasuk saat dipasangkan dengan Greysia yang membuatnya harus berlatih lebih keras lagi.
Apriyani lahir dari keluarga sederhana di Lawulo, Konawe, Sulawesi Tenggara. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini gemar bermain bulutangkis sejak kecil dengan menggunakan raket dari papan. Sejumlah prestasi di daerah membawanya ke Jakarta dan berlatih di PB Pelita pada 2011 kemudian pindah ke Jaya Raya dan bergabung ke Pelatnas.
Hingga berakhirnya penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020, kontingen Indonesia menduduki peringkat ke-55 dengan meraih 1 medali emas, 1 perak, dan 3 perunggu.
Medali emas dipersembahkan oleh pasangan ganda putri bulu tangkis Greysia Polli/ Apriyani Rahayu setelah menundukkan pasangan pasangan China, Chen Qing Chen/ Jia Yi Fan dengan skor 21-19 dan 21-15. Medali perak dipersembahkan untuk Indonesia dari cabang angkat besi atas nama Eko Yuli Iriawan.
Adapun tiga medali perunggu dipersembahkan oleh Anthony Sinisuka Ginting pada cabang bulu tangkis setelah mengalahkan pebulu tangkis dari Guatemala, yakni Kevin Cordon dengan skor 21-11 dan 21-13 pada 2 Agustus 2021. Dua perunggu lainnya dipersembahkan cabang angkat besi melalui Widya Cantika Aisah dan Rahmat Erwin Abdullah. Selamat atas prestasi atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo. (LITBANG KOMPAS)