Pada masa pandemi ini aktivitas anak-anak dengan dunia digital sangat tinggi. Hal tersebut membuka celah anak terhubung dengan dunia luar tanpa sepengetahuan orang tua. Pada kondisi itu, posisi anak menjadi rawan tanpa pengawasan ketat dari orang tua.
Dalam UU tersebut yang dimaksud perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Sementara, pada UU tersebut yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Di Indonesia masalah perdagangan orang sangat kompleks karena terkadang hadir dalam bentuk yang tidak terlalu menonjol seperti dalam kasus tenaga kerja. Umumnya masyarakat hanya memahami perdagangan orang dalam bentuk perekrutan dan pengiriman pekerja migran apalagi yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan perbudakan.
Sementara itu sepanjang tahun 2020 diketahui ada 149 laporan kasus, sedangkan pada tahun 2019 ada 244 perdagangan anak dengan beragam bentuk seperti pelacuran, pekerja anak hingga adopsi ilegal, bahkan ditemukan anak yang bertindak sebagai perantara dengan mucikari.
Pada masa pandemi KPAI tetap melakukan pengawasan terhadap titik rentan korban eksploitasi seksual anak dan pekerja anak. Dalam hasil laporan KPAI tentang perdagangan anak, sejak Januari hingga April 2021, KPAI telah menangani 35 laporan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan korban 234 orang anak. Dari jumlah tersebut 83 persen kasus kekerasan seksual atau prostitusi anak.
Secara umum, di Indonesia tindakan perdagangan orang pada masa pandemi angkanya justru meningkat, seperti dalam siaran pers Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 29/7/2021 dengan Nomor: B-256/SETMEN/HM.02.04/07/2021. Menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2020, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada perempuan dan anak meningkat 62,5 persen.
Data perdagangan anak akan jauh lebih besar jika prostitusi atau pekerja seks komersil anak dipandang sebagai TPPO, karena 30 persen pekerja seks di Indonesia berusia anak-anak. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) pada 2020 lebih dari 40 juta orang di dunia menjadi korban TPPO, dan 1 dari 4 korban tersebut adalah anak-anak. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah data terbaru Kedubes Amerika Serikat 2020 bahwa di Indonesia, diperkirakan ada 70.000 – 80.000 pekerja seks anak dan dewasa yang banyak terdapat di industri pertambangan di Maluku, Jambi dan Papua.
Regulasi dan perlindungan
Indonesia telah memperbaharui undang-undang tentang perlindungan anak dengan beberapa peraturan. Di antaranya, UU Nomor 23 Tahun 2002; UU Nomor 35 tahun 2014; Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; serta UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu 1/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 23/2002 menjadi Undang-undang
Untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kemudian dibentuk kelompok tugas di seluruh provinsi serta kabupaten/kota. Unit layanan penanganan kekerasan hadir dengan beragam nama, yaitu Women Crisis Centre (WCC), Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), serta Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang di dalamnya terdapat unsur SKPD terkait, rumah sakit atau layanan medis. Kemudian, dibentuk Aparat Penegak Hukum (APH), Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM), Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan organisasi keagamaan.
Untuk mempermudah penangangan kasus kekerasan dan TPPO Kemenkes mengembangkan aplikasi sistem pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak melalui Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak). Hal ini dimaksudkan agar ada pendokumentasian data kekerasan melalui sistem pencatatan dan pelaporan, baik lintas kabupaten maupun lintas provinsi, melalui sistem aplikasi yang terpadu dan komprehensif. Dengan demikian, ketika ditemukan kasus maka lebih mudah untuk dilakukan pengusutan dan penyelidikan karena tersedia data dan informasi yang cukup serta mempermudah alur pengusutan dan bukti cukup dihadapkan ke pengadilan.