Krisis oksigen pada tengah pandemi membuka sejumlah fakta terkait dengan manajemen oksigen. Fenomena antrean masyarakat mengisi ulang oksigen ditambah kelangkaan stok oksigen menambah semakin panjangnya situasi pandemi Covid-19.
Setidaknya sekitar 15 persen penderita di seluruh dunia memerlukan kurang lebih 1,1 juta silinder tabung oksigen per hari untuk penduduk di 25 negara yang terkategori LMICs. Cukup banyak negara yang mengalami krisis oksigen, seperti India, Brasil, Yordania, Nigeria, dan lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia mengeluarkan Pedoman Sumber Penyediaan dan Pendistribusian Oksigen untuk fasilitas perawatan Covid-19 . Melalui pedoman tersebut ditegaskan bahwa terapi oksigen menjadi kebutuhan penting. Ini didasari oleh data-data kasus Covid-19 di China. Dengan mayoritas kasus ringan maupun sakit sedang masing-masing 40 persen, akan ada sekitar 15 persen yang sakit berat dan butuh terapi oksigen. Sementara itu, ada sekitar 5 persen dengan kondisi kritis dan perlu perawatan intensive care unit (ICU).
Impor oksigen
Persoalan kekurangan oksigen mulai terjadi di akhir Juni 2021, saat kabupaten Kudus di Jawa Tengah) menyatakan kekurangan stok oksigen. Kondisi ini terus berlangsung hingga awal Juli 2021 yang tampak dari sejumlah RS mulai kesulitan dengan pasokan oksigen. Beberapa di antaranya adalah RS Dr Sardjito di Yogyakarta, RS PKU Muhammadiyah di Yogyakarta, RS Al-Islam di Bandung, dan RSUD Dr Soetomo di Surabaya. Sebagian rumah sakit bahkan ada yang menerapkan sistem buka tutup IGD demi menghemat oksigen.
Pada 25 Juni 2021 pemerintah menyatakan bahwa persediaan dan kapasitas produksi tabung masih mencukupi. Namun, sejak pertengahan Juli dinyatakan pemerintah akan terus berupaya memenuhi kebutuhan oksigen medis. Salah satunya adalah mengkonversi oksigen industri ke medis dengan target 575.000 ton oksigen medis. Selain itu, ada juga kerja sama dengan beberapa industri dalam negeri dan bantuan dari sejumlah negara.
Pada dasarnya oksigen diperlukan untuk semua sistem perawatan kesehatan, mulai dari kebutuhan operasi, trauma, gagal jantung, asma, pneumonia, kelahiran hingga perawatan bayi, dan banyak lagi. Pneumonia misalnya, dengan angka kematian sekitar 800 ribuan per tahun, penanggulangannya memerlukan sekitar 20 sampai 40 persen terapi oksigen.
Konversi oksigen
Persoalan konversi oksigen tidak terlepas dari manajemen oksigen, mulai dari industri, manajemen perencanaan, dan pelayanan. Industri sebagai penyedia (supplier), manajemen yang bertanggung jawab dalam tata laksana oksigen di rumah sakit, serta pelayanan yang merupakan user (pengguna) akhir, yaitu dokter dan pasien.
Secara umum suplai oksigen di sejumlah rumah sakit relatif mencukupi. Walaupun, dari sisi pemanfaatan, ada kebijakan nasional yang menetapkan oksigen industri lebih besar, yakni 80 persen dibanding medis sebanyak 20 persen. Karena pandemi, perhitungan diprioritaskan untuk medis (80 persen). Hanya saja, dari kapasitas produksi nasional (866 ribu ton per tahun), yang riil sebetulnya ternyata sekitar 75 persen (640 ribu ton). Dengan kata lain kapasitas ini harus dioptimalkan lagi.
Permasalahan tidak semata soal menggenjot produksi. Ada sejumlah masalah yang masih harus diperhatikan, antara lain lokasi produsen utama yang berada di Jawa Barat dan Jawa Timur, transportasi, ketersediaan tabung yang masih diimpor, hingga jaminan pasokan listrik. Jawa Tengah misalnya, sudah menggunakan 90 persen kapasitas produksinya, sehingga sekarang sangat bergantung pada suplai dari daerah-daerah lain.
Khusus tentang tabung, Indonesia masih rutin mengimpor. Begitu pula oksigen medis. Hal ini dinyatakan oleh Kementerian Perdagangan bahwa volume impor oksigen naik sekitar 13 persen selama Januari -- April 2021. Dalam sepuluh tahun terakhir, tren impor terbesar lebih terlihat pada tabung oksigen, sementara oksigen medis cenderung turun.