Hari Tanpa Televisi: Momentum Meningkatkan Kualitas Program Televisi
Hari Tanpa Televisi merupakan gerakan untuk mematikan pesawat televisi satu hari. Gerakan ini muncul atas keprihatinan masyarakat terhadap kualitas program televisi.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kualitas sinetron yang masih di bawah standar menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan dalam mural di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten, Senin (15/3/2021). Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode II-2019 yang dirilis Komisi Penyiaran Indonesia pada 2019 menyatakan kualitas program-program siaran tersebut dalam lima terakhir masih di rendah karena memuat kekerasan, tidak memiliki kepekaan sosial, topiknya tidak relevan, dan kurang menghormati norma sosial serta kehidupan pribadi.
Pada awal Juni 2021, warganet membincangkan salah satu sinetrom di televisi swasta yang berjudul Suara Hati Istri: Zahra. Percakapan warganet tentang isi sinetron tersebut trending di media sosial. Sinetron yang mulai tayang pada 24 Mei 2021 tersebut dinilai banyak kalangan termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bermuatan konten yang mempromosikan poligami dan menormalisasi pernikahan anak, serta mempekerjakan anak di bawah umur untuk adegan dewasa.
Sinetron ini berkisah tentang seorang gadis di bawah umur bernama Zahra yang dikawin paksa oleh orang tuanya sebagai pengganti utang-utang ayahnya. Dalam sinetron tersebut, Zahra sebagai istri ketiga mendapat perlakuan buruk seperti paksaan hubungan seksual, perlakuan kasar seperti bentakan dan teriakan.
Sosok laki-laki yang menjadi peran antagonis dengan kasar melakukan pemaksaan, kekerasan bahkan marital rape. Sinetron ini oleh warganet dianggap telah mengampanyekan perkawinan di bawah umur, menampilkan isu trafficking bahkan menampilkan sosok toxic masculinity yaitu pria jahat yang menjadi suami Zahra.
Remotivi mencatat kisah sinetron tersebut sebagai penggambaran Zahra sebagai istri yang memaafkan dan menerima semua nasibnya mendorong pemakluman terhadap praktik pernikahan anak, kawin paksa, poligami dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pesan dari kisah tersebut selalu perempuan sebagai korbanlah yang perlu berpasrah diri, terus menjadi “istri yang baik” dan berserah kepada Sang Pencipta untuk membereskan sisanya.
Pesan semacam ini nampak mulia namun sebenarnya berbahaya. Ia bisa melanggengkan spiral kekerasan yang ditampilkannya. Praktik-praktik pernikahan anak, kawin paksa, poligami, dan KDRT harus dihadapi dengan langkah legal yang tegas. Korban memerlukan konsultasi dan akses perlindungan hukum agar lingkaran kekerasan benar-benar dapat dipatahkan.
Sementara itu, cerita Zahra justru mendorong korban untuk terus mengalah. Penonton diajak untuk percaya keadaan perempuan yang dihadapkan pada kejahatan-kejahatan mengenaskan ini bakal membaik semata karena kesetiaan dan ketaatan.
Kementerian PPPA menyatakan sinetron tersebut dianggap telah menampilkan perkawinan anak di bawah umur yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Penayangan sintron tersebut bertentangan dengan langkah pemerintah yang sedang berjuang melawan perkawinan pada usia anak. Kekerasan yang ditampilkan bahkan dianggap sebagai perbuatan mempromosikan kekerasan psikis dan seksual terhadap anak yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPPA) menyebutkan ada sekitar 36,62 persen anak perempuan menikah untuk pertama kali pada usia 15 tahun atau kurang. Kemudian, yang menikah di usia 16 tahun ada 39,92 persen dan 23,46 persen menikah di usia 17 tahun. Data ini menunjukkan tingginya tingkat pernikahan usia dini untuk perempuan di Indonesia. Dampak buruk pernikahan usia muda, bagi perempuan khususnya, adalah kehilangan kesempatan pendidikan.
Pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta lembaga penyiaran dan rumah-rumah produksi dapat menyesuaikan konten siaran yang dibuat agar mendukung anak-anak Indonesia tumbuh dan berkembang dengan baik, sebagai upaya menghadirkan generasi muda bangsa yang unggul dan berkualitas.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang pedagang makanan menonton sinetron yang disiarkan di televisi, Senin (15/3/2021) di Jakarta. Sinetron jadi salah satu hiburan warga yang mudah diakses dan gratis.
Merampas hak publik
Program hiburan di sejumlah stasiun televisi memiliki kencenderungan mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi lokal, tayangan cuaca serta tayangan yang lebih mendidik. Salah satu contohnya adalah ketika salah satu stasiun televisi menyiarkan acara pernikahan pasangan selebriti yang ditayangkan dengan durasi hingga 3,5 jam untuk mengejar angka rating atau angka kepemirsaan televisi.
Data rating yang disajikan lembaga pemeringkat hanya menunjukkan kecenderungan kepemirsaan televisi di sejumlah kota besar saja, sehingga tidak mewakili profil kepemirsaan masyarakat di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Namun, siaran langsung pernikahan selebritis tersebut menggunakan jaringan televisi di seluruh Indonesia yang jangkauan frekuensinya mencapai pelosok daerah.
Hal itu bertentangan dengan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, bahwa hak privasi atas kehidupan pribadi yang tidak sepatutnya disiarkan. Adapun kehidupan pribadi yang dimaksud antara lain, perkawinan, perceraian, perselingkuhan, konflik keluarga, konflik pribadi, keyakinan beragama, rahasia pribadi, dan hubungan asmara.
Dalam Pasal 1 Ayat 24 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) menyebutkan bahwa kehidupan pribadi tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Pasal 11 Ayat 2 juga menyebutkan, penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.