Menilik Mahalnya Biaya Kuliah di Perguruan Tinggi Negeri
Berbagai kebijakan politik pendidikan tinggi di Indonesia berdampak pada tingginya biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Akibatnya, akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi masih minim. Otonomi perguruan tinggi yang seharusnya mentransformasi tata kelola perguruan tinggi negeri justru menjadi jalan masuk komersialisasi pendidikan.
Perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi tumpuan masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau. Menjelang tahun akademik 2021/2022, sejumlah PTN menginformasikan jadwal seleksi masuk dan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa. Setidaknya terdapat tiga jalur masuk PTN, yaitu melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan Jalur mandiri.
Menurut informasi yang tertera pada website masing-masing PTN, biaya kuliah untuk jalur SNMPTN, SBMPTN, dan Jalur Mandiri menggunakan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT ini merupakan satu biaya yang dibayar tiap semester oleh mahasiswa yang besarannya sudah meliputi semua komponen dalam proses perkuliahan seperti uang satuan kredit semester, biaya peralatan, atau uang praktikum.
Sistem UKT ini mulai diterapkan pada tahun akademik 2013--2014 sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 55 Tahun 2013. Biaya kuliah mahasiswa disubsidi pemerintah dengan mengucurkan dana Bantuan Operasional PTN (BOPTN). UKT ini dibayarkan denga sistem berkeadilan. Artinya, siswa miskin bisa digratiskan atau membayar lebih murah, sedangkan mahasiswa yang lebih mampu membayar lebih tinggi.
Besaran UKT ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat dalam beberapa ketegori mulai dari yang terendah hingga tertinggi. Batas atas UKT setiap PTN pun berbeda-beda tergantung pada program S-1 yang diambil serta bidang ilmu yang dipilih. Penetapan UKT tidak boleh melanggar biaya kuliah tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Biaya jalur seleksi nasional
Mahasiswa yang lolos lewat jalur seleksi nasional SNMPTN atau SBMPTN dikenakan UKT tiap semester yang besarannya disesuaikan kelompok penghasilan keluarganya. Biasanya mahasiswa akan diminta beberapa dokumen pedukung seperli slip gaji atau rekening listrik dalam proses verifikasi untuk penentuan kelompok UKT.
Universitas Gadjah Mada (UGM) misalnya membagi UKT ke dalam 8 kelompok. Besaran UKT berbeda tiap fakultas, misalnya mahasiswa reguler yang memilih Fakultas Kedokteran biaya UKT per semester bekisar Rp500.000,00 -- Rp26.000.000,00. Kemudian, FISIP jalur reguler berkisar Rp500.000,00 -- Rp9.750.000,00; Fakultas Ekonomi bisnis Rp500.000,00 -- Rp10.000.000,00; dan F. MIPA (termasuk Aktuaria & Farmasi) Rp500.000,00 -- Rp17.500.000,00.
Sementara itu, di Universitas Indonesia (UI), penetapan biaya kuliah mahasiswa bukan hanya berdasarkan penghasilan penanggung biaya, tetapi juga mempertimbangkan pengeluarannya. Istilah UKT di UI dikenal dengan nama Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP-B) dengan biaya antara Rp0 sampai Rp7,5 juta untuk rumpun IPA dan Rp0 sampai Rp5 juta untuk rumpun IPS.
Dengan mempertimbangkan pengeluaran penanggung biaya atau orang tua mahasiswa, biaya kuliah dua mahasiswa yang mempunyai penghasilan orang tua yang sama, bisa berbeda. Misalnya, dua mahasiswa mempunyai penghasilan orangtua Rp5 juta, tetapi mahasiswa A mempunyai dua saudara, sedangkan mahasiswa B mempunyai empat saudara. Dengan kondisi itu, maka biaya kuliah mahasiswa A akan lebih rendah dari B.
Lain lagi di Institut Teknologi Bandung (ITB), kategori UKT terdiri dari 5 kelompok. Seluruh calon mahasiswa ITB yang diterima melalui SNMPTN dan SBMPTN) dikenakan besaran UKT kelompok 5 sebesar Rp12.500.000,00 (Fakultas bidang sains dan teknik) atau Rp20.000.000,00 (Fakultas Bisnis dan Manajemen). Bagi calon mahasiswa yang berkeberatan atas biaya UKT 5 dapat mengajukan permohonan beasiswa UKT pada saat pelaksanaan pendaftaran.
Perbandingan Biaya Kuliah 5 Perguruan Tinggi Negeri Terbaik Indonesia
Klik panah samping untuk melihat lainnya.
Biaya jalur mandiri
Bagi para calon mahasiswa yang gagal masuk melalui program S-1 reguler lewat seleksi nasional baik SNMPTN maupun SBMPTN, PTN membuka jalur mandiri. Biaya UKT jalur mandiri secara umum lebih tinggi dibandingkan jalur seleksi nasional. Jalur mandiri ini pun berbeda antara satu PTN dengan PTN lainnya. Selain biaya lebih tinggi, jalur mandiri PTN juga dikenakan uang pangkal atau uang gedung yang sebutannya berbeda pada tiap PTN, seperti Pembangunan Institusi (IPI), Dana Pengembangan (DP), atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Uang pangkal ini bervariasi tiap PTN (kecuali ITB tahun 2021 tidak memberlakukan IPI) dan hanya dibayarkan sekali saja pada saat pendaftaran ulang. Misalnya di ITB, iuran institusi berkisar Rp25.000.000,00 -- Rp40.000.000,00 tergantung program studi. Contoh lainnya, di Institut Pertanian Bogor (IPB), iuran institusi berkisar Rp23.000.000,00 – Rp50.000.000,00 tergantung prodi. Biasanya PTN memberingan keringanan bagi mahasiswa dalam pembayaran IPI tersebut di antaranya melalui skema cicilan.
Selain jalur mandiri hampir semua PTN juga membuka program internasional. Jalur kelas khusus yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai pengantarnya ini menawarkan gelar ganda dari kampus di luar negeri. Pada program ini, mahasiswa membayar biaya berlipat-lipat dibandingkan program reguler setiap semester. Rata-rata biaya program internasional di PTN berkisar Rp20.000.000,00 – Rp80.000.000,00 per semester.
Disparitas akses PTN
Meskipun secara nasional biaya UKT mahasiswa di PTN masih terbilang terjangkau dengan adanya kategorisasi sesuai kemampuan ekonomi, tetapi beban biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa ketika berkuliah di PTN papan terlihat semakin tinggi tiap tahunnya. Kenaikan ini terjadi lantaran besarnya biaya operasional bagi penyelenggaraan pendididkan yang bermutu. Sementera kucuran dana dari pemerintah ke perguruan tinggi, baik yang berstatus badan hukum, badan layanan umum, maupun satuan kerja, belum mampu memenuhi kebutuhan semuanya. Untuk menutupinya, dana pendidikan dibebankan kepada masyarakat. Hal ini berimbas kepada semakin sulitnya kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam mengakses PTN.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik pada 2019, dari waktu ke waktu angka partisipasi kasar penduduk termiskin dan terkaya usia 19--23 tahun yang menikmati pendidikan tinggi meningkat. Meskipun begitu, penduduk termiskin masih tertinggal jauh. PTN awalnya menjadi incaran calon mahasiswa karena dinilai berkualitas dan murah. Namun, semakin mahalnya biaya pendidikan, PTN lebih mudah diakses mahasiswa dari ekonomi menengah ke atas.
Kesenjangan geografis, belum meratanya mutu pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS), hingga rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat dalam mengakses biaya PTS berkualitas, juga menjadi beberapa faktor yang melatarbelakangi masih tingginya persaingan dalam merebutkan kursi di PTN.
Keterangan: angka dalam persen (%)
Otonomi perguruan tinggi
Jika ditelusuri ke belakang, naiknya biaya pendidikan di PTN terjadi karena adanya perubahan dalam politik pendidikan di Indonesia. Setelah era reformasi, gelombang desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah begitu kuat. Kondisi serupa terjadi pada dalam bidang pendidikan tinggi.
Pemerintah mempunyai misi menyelenggarakan pendidikan tinggi yang didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia dengan kualitas dan mutu yang baik sehingga masyarakat dapat mengejar ketertinggalan dan meminimalkan kesenjangan.
Hal ini menyebabkan pemerintah mendorong dan meminta dukungan dari masyarakat untuk ikut bertanggung jawab dalam penyelenggraan pendidikan tinggi. Misalnya, dalam hal peningkatan SDM, riset, dan fasilitas pendidikan. Selain itu, otonomi juga diperlukan untuk memangkas hambatan birokrasi dan mewujudkan tata kelola PTN yang mandiri.
Pada bulan November 1998, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 1998 membentuk tim kerja untuk mengeksplorasi kemungkinan, dan mengembangkan alternatif untuk otonomi perguruan tinggi.
Selang beberapa waktu kemudian, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada bulan Juli tahun 1999. Di dalam PP ini diatur kewenangan otonomi dan tanggung jawab dari perguruan tinggi BHMN.
Perguruan tinggi pertama yang mendapat status ini adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Dengan status BHMN, ketujuh PTN tersebut memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga sendiri, termasuk soal kerja sama penelitian, penerimaan mahasiswa baru, hingga masalah keuangan.
Kebijakan Pendidikan Tinggi dari masa ke masa
Komersialisasi pendidikan
Pasca keluarnya PP No. 61 Tahun 1999, beberapa PTN mulai membuka jalur dengan pendanaan dari masyarakat di antaranya melalui pembukaan program nonreguler. Setelah dikeluarkannya SK Dirjen Dikti No. 28/DIKTI/Kep/2002 tentang penyelenggaraan progam reguler dan nonreguler di PTN pada tahun 2002, PTN diberikan otonomi untuk menentukan tata cara jalur masuk, jumlah kuota, dan besaran biaya pendidikan program nonreguler yang dibebankan kepada masyarakat. Hampir semua PTN membuka program nonreguler, baik yang berstatus BHMN (UI, UGM, ITB, IPB, dan lain-lain), Badan Layanan Umum (UNPAD, UNDIP, UNSOED, UNS, dan lain-lain), maupun Satker (Universitas Wijayakusuma, Purwokerto, dan lain-lain).
Sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat kembali dilegalkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal terlihat dalam pasal 24 ayat 3 yang menyatakan perguruan tinggi dapat memproleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaanya dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Implementasi UU Sisdiknas ternyata disalahtafsirkan oleh PTN. Dengan dalih kemandirian, PT BHMN mengembangkan sejumlah jalur penerimaan mahasiswa baru dengan besar kecilnya sumbangan sebagai dasar penerimaan. Proporsi sumber pendanaan beberapa kampus BHMN pun cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Komersialisasi pendidikan yang dikhawatirkan sejumlah pihak sejak muncunya PP No. 61 Tahun 1999 pun terjadi. Polemik pun semakin memanas, setelah pasal 53 UU Sisdiknas yang mengatur Badan Hukum Pendidikan dijadikan dasar disahkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 pada tanggal 16 Januari 2009.
Kontroversi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
Polemik soal pendanaan PTN terus memanas. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 seyogianya berprinsip pada pengelolaan dana secara mandiri, nirlaba, otonomi, akuntabilitas, dan transparansi untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Namun pada praktiknya, otonomi tidak disertai dengan kucuran dana yang memadai dari pemerintah, sehingga perguruan tinggi dipaksa mencari sumber keuangan sendiri untuk kegiatan kampus.
PTN mencari pendanaan dengan memperbesar alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri. Sementara alokasi penerimaan dengan biaya minimal makin dikurangi persentasenya. Praktik ini dilakukan PTN guna menambah jumlah pendapatan dengan alasan peningkatan mutu.
Formula alokasi disusun tiap PTN dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, standar mutu yang ingin dicapai, dan biaya yang harus ditanggung. Padahal, alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan persentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin makin tertutup.
Kondisi inilah yang mendorong sejumlah pihak mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya, MK membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan pada 31 Maret 2010. Selanjutnya pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 yang mengembalikan status perguruan tinggi tersebut menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah.
Setelah dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan, penyelenggaraan pendidikan tinggi mengalami kekosongan payung hukum. Karena itulah, DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi yang drafnya diajukan Januari 2011. Dalam perkembangannya, RUU Perguruan Tinggi ini berubah menjadi RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT) dengan cakupan yang lebih luas.
Undang-Undang Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012
Undang-Undang Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012 disahkan oleh DPR pada tanggal 13 Juli 2013. Substansi undang-undang tentang pendidikan tinggi ini meliputi desentralisasi pendidikan tinggi untuk secara sah menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, melakukan riset dengan dunia industri dan usaha, status perguruan tinggi yang dapat berbentuk PTN Badan Hukum atau PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan menentukan besaran biaya pendidikan sendiri.
Setelah UU pendidikan tersebut diberlakukan beberapa PTN diubah statusnya menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Implikasinya PTN BH memiliki kewenangan untuk membuka dan menutup program studi. Mereka juga leluasa mengembangkan kerja sama dan usaha, serta pendapatannya tidak masuk sebagai pendapatan negara bukan pajak. Pengelolaan keuangan pun lebih fleksibel.
Peran negara dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan diatur dengan jelas. Contohnya, melalui bantuan operasional PTN (BOPTN). Adanya BOPTN ini, turut mengurangi besaran biaya operasional yang musti ditanggung oleh mahasiswa selama masa perkuliahan atau Biaya Tunggal Kuliah (BKT). Mahasiswa hanya menanggung biaya perkuliahan dengan sistem subsidi silang atau disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT). Selain itu, dalam UU Pendidikan Tinggi juga menetapkan aturan PTN harus menerima minimal 20 persen mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu.
Namun, kenyataanya Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang semestinya dapat memberi subsidi terhadap selisih biaya kuliah di PTN, setelah dikurangi uang kuliah mahasiswa sesuai kemampuan ekonomi, ternyata belum mencukupi. Akibatnya, berbagai hambatan untuk mengakses kuliah di PTN masih sangat tinggi terlebih calon mahasiswa dari keluarga tidak mampu. Negara harus mengatasi berbagai hambatan tersebut terlebih pendidikan tinggi digadang-gadang harus menjadi menjadi kampus merdeka yang dapat diakses seluruh lapisan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)