Hari Bhayangkara ke-75: Perjalanan Tiga Perempat Abad Kepolisian RI
Hari Bhayangkara yang diperingati setiap 1 Juli menjadi momentum pembuktian kinerja Kepolisian RI. Profesionalisme dan akuntabilitas merupakan indikator kredibilitas lembaga ini di mata masyarakat.
Sejarah Hari Bhayangkara
Istilah “Bhayangkara” sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit era Patih Gajah Mada. Pada masa itu, Bhayangkara merupakan unit pasukan pengamanan yang dibentuk untuk melindungi raja serta kerajaannya. Istilah Bhayangkara diambil dari bahasa Sanskerta yang mengacu pada pasukan elite Kerajaan Majapahit yang bertugas mengawal raja serta keluarga inti kerajaan. Gajah Mada menjadi anggota pasukan Bhayangkara dan beberapa kali menyelamatkan Raja Majapahit dari ancaman.
Pada era kolonial Belanda, dibentuk pasukan pengamanan untuk menjaga aset serta kekayaan orang-orang Eropa. Personel pasukan diambil dari orang-orang pribumi. Pada masa Hindia Belanda, ragam bentuk tugas polisi bermacam-macam sesuai dengan bidang lapangan wilayah kerjanya. Ragam tugas kepolisian, di antaranya, veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), serta bestuurs politie (polisi pamong praja).
Pribumi saat itu tidak pernah diperkenankan menjabat posisi tinggi seperti hood agent (bintara, inspekteur van poitie, serta commisaris van politie. Pribumi yang menjadi polisi hanya dapat menjabat sebatas mantri polisi, asisten wedana, serta wedana polisi.
Saat era pendudukan Jepang, pribumi yang menjadi polisi dapat menjabat posisi tinggi sebagai kepala polisi di tiap kantor polisi daerah. Pada saat itu, Jepang membagi kepolisian berdasarkan area regional kepulauan yang ada di Indonesia. Area wilayah kerja meliputi: Kepolisian Jawa dan Madura berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.
Pada era kemerdekaan, Jepang menyerah kepada Sekutu yang diikuti dengan langkah dibubarkannya polisi bentukan Jepang saat itu. Meski demikian, pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, personel kepolisian yang ada pada saat itu tetap bertugas mengamankan momentum Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Kepolisian yang tersisa pada masa itu menjadi “kepolisian yang merdeka” dari penjajahan. Dua hari setelah Kemerdekaan Indonesia dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) pada 29 September 1945. Pada masa itu, kedudukan kepolisian masih berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab masalah administrasi. Namun, tanggung jawab mengenai operasional berada di bawah Jaksa Agung.
Setahun kemudian pada 1 Juli 1946 diterbitkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Dengan aturan tersebut, Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Kinerja Kepolisian
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) setiap tahun mengevaluasi kinerja seluruh jajarannya. Hingga kini, cukup banyak yang telah dilakukan Kepolisian RI dari upaya pemberantasan kasus kejahatan seperti terorisme, kasus korupsi, narkotika, dan beragam kasus lainnya.
Kepolisian merupakan salah satu lembaga yang turut mengalami perubahan sepanjang periode Reformasi. Lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi titik balik sejumlah perbaikan di lingkungan kepolisian.
Pada era Reformasi, lembaga kepolisian mencoba beragam cara untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Cita-cita membentuk Polri sebagai lembaga yang humanis selalu mengemuka pada setiap suksesi kepala Polri, terutama sejak kelahiran UU Kepolisian.
Selain reformasi struktural, Polri juga mencoba melakukan reformasi kultural selama sekitar dua dekade terakhir. Asa untuk mendekatkan diri ke tengah masyarakat selalu digaungkan dan diupayakan demi mencapai cita-cita membentuk lembaga kepolisian yang humanis.
Jalan panjang menuju reformasi kultural Polri dapat dibagi dalam dua periode sepanjang era Reformasi, yakni periode sebelum lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta periode setelah lahirnya UU tersebut.
Lahirnya UU ini semakin memperkuat kelembagaan Polri dalam menjalankan tiga tugas pokok, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dari tiga tugas utama itu, Polri dituntut untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat.
Sepanjang 2020, Polri telah melakukan pencegahan aksi terorisme di seluruh wilayah Indonesia dengan menangkap para tersangka teroris sebanyak 228 orang. Dalam tindak pidana korupsi (tipikor) tahun 2020, Polri melakukan pencegahan serta penegakan hukum pada 1.412 kasus tipikor dengan menyelamatkan uang negara saat itu sebesar Rp 310 miliar. Jumlah perkara yang berhasil diselesaikan Polri meningkat dua persen dari tahun sebelumnya. Polri berhasil menyelesaikan 173.035 perkara dari 238.384 perkara yang masuk.
Peringatan HUT Bhayangkara ke-74 tahun 2020 bertema ”Kamtibmas Kondusif, Masyarakat Semakin Produktif” dilaksanakan di Istana Negara, Jakarta, secara virtual. Tahun 2021 ini, HUT Bhayangkara ke-75 mengangkat tema: “Transformasi Polri yang Presisi Mendukung Percepatan Penanganan COVID-19 untuk Masyarakat Sehat dan Pemulihan Ekonomi Nasional Menuju Indonesia Maju.”
Saat ini, Kepolisian RI dipimpin oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tantangan yang dihadapi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidaklah ringan. Dinamika politik tanah air dalam sepuluh tahun terakhir telah memaksa jajaran Kepolisian RI bekerja keras menghadapi ekskalasi politik akibat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) hingga Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Ancaman keretakan di masyarakat menuntut Kepolisian RI memperluas wilayah kerjanya hingga ke dunia siber atau virtual.
Ancaman terorisme yang menghantui dan meledak setiap saat menjadi tantangan Polri menaklukkannya. Persoalan laten terorisme yang tak kunjung selesai dan terus muncul akan menjadi pekerjaan rumah Kapolri Listyo Sigit beserta anggotanya.
Persoalan narkotika juga menjadi pekerjaan yang diselesaikan bersama Badan Narkotika Nasional (BNN). Upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi dan pengungkapan kasus korupsi dilaksanakan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam beberapa kasus, memang menjadi ironi di saat sejumlah petinggi kepolisian terlibat dalam pusaran arus korupsi. Tidak sedikit aparat kepolisian dan petingginya masuk bui akibat tersangkut praktik korupsi yang menggurita di negeri ini.
SIM, SKCK, dan Tilang Elektronik
Teknologi yang makin pesat menjadikan Polri sukses dalam meningkatkan pelayanan publik berbasis teknologi. Pada fungsi Lantas, misalnya, seperti menerapkan aplikasi SIM Internasional daring, aplikasi SIM Nasional Presisi daring, aplikasi Ujian Teori SIM daring (Eavis), aplikasi e-PPSI, aplikasi e-Rikkes, serta Samsat Digital Nasional.
Hal ini sangat memudahkan masyarakat untuk melakukan administrasi pembuatan atau perpanjang SIM secara daring dan bahkan bisa diantar sampai ke rumah. Hal ini juga menjadikan salah satu pencegahan adanya kerumunan di saat terjadinya wabah Covid-19 dan turut mendukung program pemerintah dalam pemutus mata rantai virus Covid-19.
Pada fungsi Intelkam, Polri telah menerapkan secara daring pembuatan SKCK, lalu fungsi lainnya seperti Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Di Bareskrim, penerapan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) daring, pada Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) lewat aplikasi Patrolisiber.id, selanjutnya di Inspektorat Pengawasan Umum Polri melalui Dumas Presisi, pada Divpropam Polri melalui Propam Presisi.
Saat ini, Polri juga mengaktifkan serta menambah fasilitas tilang elektronik (e-TLE) dan sudah terdapat sebanyak 244 titik kamera e-TLE yang tersebar di 12 wilayah Polda, yakni di 98 titik Polda Metro Jaya, 5 titik Polda Riau, 55 titik Polda Jawa Timur, 10 titik Polda Jawa Tengah, 16 titik Polda Sulawesi Selatan, 21 titik Polda Jawa Barat, 8 titik Polda Jambi, 10 titik Polda Sumatera Barat, 4 titik Polda DIY (Yogyakarta), 5 titik Polda Lampung, 11 titik Polda Sulawesi Utara, serta 1 titik Polda Banten.
Pemberantasan terorisme
Terorisme selalu mencekam dan membuat resah di tengah masyarakat karena aksinya yang menakutkan, seperti penyerangan hingga bom bunuh diri. Hingga saat ini, terorisme di Indonesia masih terjadi dan pemberantasan terorisme pun makin genjar dilakukan.
Salah satu contoh pemberantasan terorisme terjadi di Papua. Sebanyak 10 terduga teroris ditangkap oleh aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri bersama Polres Merauke pada Mei 2021.
Sebelum terjadi penyerangan terhadap aparat dan rumah ibadah serta masyarakat yang marak beberapa tahun terakhir, gerakan teroris di Indonesia fokus pada orang asing beserta simbol asing yang dijadikan target serangan. Sejak 2010, jaringan kelompok teroris menunjukan perubahan sasaran teror, antara lain adalah aparat kepolisian.
Pada tahun 2010, Densus 88 Antiteror Polri menangkap sejumlah anggota teroris yang terlibat pelatihan militer di Aceh. Pada Maret, April, dan September 2010 pula terjadi serangkaian serangan terhadap personel Polri di beberapa daerah yang diduga terkait aksi terorisme. Tidak sedikit anggota Polri yang gugur pada saat operasi penangkapan terduga teroris.
Densus 88 Antiteror Polri sepanjang Januari--Mei 2021 telah menangkap sebanyak 217 terduga teroris. Penangkapan tersebut terjadi di sejumlah provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, NTB, Jawa Timur, Jawa Tengah, serta DIY (Yogyakarta). Sebanyak 209 tersangka sedang dalam proses penyidikan dan delapan tersangka di antaranya dilakukan tindakan tegas terukur.
Dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme, Polri mengedepankan soft aproach untuk menangkal pemahaman radikalisme serta intoleransi yang telah masuk di berbagai lini.
Pemerintah melibatkan masyarakat sipil dalam melakukan penggulangan terorisme berdasarkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020-2024. Perpres ini ditandatangani pada 6 Januari 2021 oleh Presiden Joko Widodo.
Perpres ini bisa menjadi acuan masyarakat dalam mengidentifikasi lebih awal gejala-gejala radikalisme serta terorisme. Adanya pelibatan masyarakat menjadikan warga peka serta sadar akan gejala radikalisme dan terorisme yang berfokus pada antisipasi sehingga dapat merespons dengan jalur mediasi yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat.
Dengan adanya kemampuan deteksi dan identifikasi tersebut, masyarakat diuntungkan karena tidak rentan terpapar kekerasan juga meminimalkan korban. Kemudian, bisa dilakukan pelaporan kepada polisi apabila tidak dapat diatasi secara bersama. Pelaporan masyakarat juga dapat meminimalkan terjadinya salah tangkap serta risiko kekerasan aparat.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Reformasi Kultural Polri
Pemberantasan Narkoba
Berdasarkan catatan Kompas pada tahun 2019, Polri telah mengamankan barang bukti narkotika sebanyak 59,76 ton ganja, 4,07 ton sabu, 23,5 kilogram heroin, 1,99 kilogram kokain, serta 889.179 butir pil ekstasi. Kemudian pada tahun 2020, saat masih dipimpin oleh Kapolri Jenderal Idham Azis, Polri berhasil mengungkap ribuan kasus dengan diamankannya barang bukti narkotika sebanyak 51 ton ganja dan juga 5,53 ton sabu.
Pada tahun 2020, Hasil penelitian Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) menyebutkan bahwa ketegasan dan kerja keras seluruh jajaran Polri dalam memberantas narkoba dipuji dan diapresiasi publik. Apresiasi publik ini muncul karena berbagai capaian Polri dalam pemberantasan narkoba, terutama pada saat itu keberhasilan Polri mengungkapkan jaringan narkoba internasional dengan barang bukti 11,8 kilogram di Bintaro, Tanggerang Selatan.
Selain itu, Polri juga berhasi mengungkap jaringan narkoba jenis ganja jalur Jakarta--Aceh dengan barang bukti sebesar 336 kilogram ganja. Contoh lain adalah penggerebekan pabrik besar liquid wape dan gorila di Bali yang diungkap oleh Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya. Lalu ada pula penangkapan publik figur dan anak pejabat dalam kasus sabu-sabu oleh Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya.
Pada periode Januari–Juni 2021, Polri telah mengungkap 19.229 kasus narkotika dengan 24.878 tersangka pada periode Januari--Juni 2021. Dari belasan ribu kasus tersebut, ditemukan 7,6 ton sabu, 2,1 ton ganja, dan 7,3 kilogram heroin. Polisi juga mengamankan 34,3 kilogram tembakau gorila dan 239.277 butir pil ekstasi. Jika dikonversikan, barang bukti yang diamankan bernilai Rp11,66 triliun dan telah menyelamatkan 39,24 juta orang. (Kompas.id 16/06/2021)
Di dalam tubuh Polri terdapat oknum yang terlibat dalam kasus narkotika yang menjadi pekerjaan rumah bagi Polri. Terhadap kasus semacam ini, Polri menegaskan bahwa tidak ada toleransi terhadap oknum anggota yang menyalahgunakan narkoba dan harus dipecat.
Penegakan hukum serta upaya dalam pemberantasan narkotika dilakukan salah satunya dengan Program Kampung Tangguh Narkoba, bekerja sama dengan pemerintah daerah, tokoh agama, serta tokoh masyarakat.
Baca juga: Sepanjang 2021, Polri Amankan Narkotika Senilai Rp 11,66 Triliun
Masa Pandemi
Selama masa pandemi Covid-19, tugas kepolisian RI bertambah berat. Bersama Gugus Tugas Nasional Covid-19 bersinergi menekan laju kenaikan kasus Covid-19. Dalam berbagai kebijakan pembatasan keraiaman, Polri berada di garda terdepan bersama dengan instansi lain. Selain itu, Polri juga menjalankan operasi rutin terkait keramaian, seperti Operasi Ketupat Lebaran dan Operasi Lilin pada akhir tahun.
Kebijakan Pemerintah tentang Larangan Mudik 2020 dan Peniadaan Mudik 2021 akibat pandemi Covid-19 menjadikan tugas aparat kepolisian berlipat. Selain mengamankan situasi perayaan Lebaran maupun Hari Raya Natal dan Tahun Baru dalam masa pandemi, aparat kepolisian juga bertugas memastikan masyarakat mematuhi kebijakan larangan mudik yang sudah diberlakukan selama dua tahun.
Berjibaku dengan masyarakat yang memaksakan mudik atau pulang kampung serta ancaman terpapar virus Covid-19 saat bertugas merupakan bentuk nyata pengabdian dan pengayoman terhadap masyarakat. Dirgahayu Bhayangkara ke-75, Jayalah Selalu Polisiku! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Polri Diminta Reformasi Diri