Cycle Threshold (Ct) dan Berbagai Jenis Tes Covid-19
Cycle Threshold (Ct) merupakan indikator yang dapat menunjukkan banyaknya muatan virus dari sampel yang diambil dari seorang pasien. Indikator ini didapatkan dari tes Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Terdapat beberapa jenis tes Covid-19 selain RT-PCR.
Selama Pandemi Covid-19, istilah Cycle Threshold (Ct) sering muncul berkaitan dengan hasil tes Covid-19 Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Secara sederhana, istilah tersebut merujuk pada kepadatan atau banyaknya muatan virus dari sampel yang diambil dari pasien.
Angka Ct menunjukkan frekuensi (cycles) amplifikasi enzim yang diperlukan untuk mendeteksi muatan genetis virus pada sampel. Angka Ct yang rendah menunjukkan tingginya konsentrasi materi genetis virus pada sampel. Angka Ct yang rendah ini secara umum diasosiasikan dengan tingginya risiko menularkan penyakit.
Sebaliknya, angka Ct yang tinggi menunjukkan rendahnya konsentrasi materi genetis virus pada sampel. Konsentrasi yang rendah membuat amplifikasi enzim perlu dilakukan berulang kali agar materi genetis terdeteksi sehingga angka Ct pun tinggi. Angka Ct yang tinggi secara umum diasosiasikan pula dengan risiko penularan penyakit yang rendah.
Kondisi Klinis
Melalui skema diagram kemunculan gejala Covid-19, otoritas kesehatan masyarakat Inggris menunjukkan bahwa virus penyebab Covid-19 mulai dapat terdeteksi setelah sekitar satu minggu menginfeksi manusia.
Selain itu, Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa masa inkubasi Covid1-19 hingga memuncukan gejala rata-rata mencapai 5-6 hari dengan kisaran antara 1 hingga 14 hari, tetapi dapat mencapai 14 hari.
Bersamaan dengan gejala yang mulai muncul, produksi virus dalam tubuh semakin meningkat hingga satu minggu berikutnya. Hal ini kemudian diasosiasikan dengan potensi penularan virus yang lebih besar dari pasien. Produksi virus dalam tubuh tersebut akan berangsur menurun bersamaan dengan menurunnya gejala penyakit.
Meskipun virus baru terdeteksi sekitar satu minggu setelah menginfeksi, orang yang terinfeksi dapat langsung menularkan sampai dengan 48 jam sebelum munculnya gejala pada pasien. Penularan dapat terus terjadi hingga 14 hari setelah gejala muncul.
Perkiraan terbaik yang kini (Oktober 2020) dapat diberikan para ahli menunjukkan bahwa seseorang tidak lagi memiliki virus yang menular dalam tubuhnya setelah 12 hari sejak gejala muncul. Namun, seseorang dapat pula berisiko menularkan virus pada dua atau tiga hari sebelum gejala muncul. Oleh karena itu, protokol kesehatan dan isolasi diri tetap merupakan pilihan terbaik untuk mengurangi risiko penularan virus.
Pemahaman akan jangka waktu munculnya gejala dan produksi virus setelah infeksi dapat membantu memahami indikator Ct dari pasien. Oleh karena itu, indikator Ct mesti dipahami dari konteks klinis pasien untuk dapat menginterpretasikan keterkaitannya dengan kondisi pasien itu sendiri.
Angka Ct yang tinggi berarti konsentrasi muatan virus yang rendah. Hal ini bisa terjadi karena tes diambil pada masa sangat awal dari penularan virus atau pada masa paling akhir dari siklus penularan virus.
Gejala penyakit merupakan tanda utama yang menunjukkan apakah seseorang dengan Ct tinggi berada pada masa awal atau akhir dari sakitnya. Namun, penentuan masa awal atau akhir menjadi sulit dilakukan pada kasus pasien tanpa gejala (asymtomatic).
Angka Ct yang tinggi dapat pula terjadi dalam berbagai situasi. Berikut beberapa kemungkinan kondisi saat seseorang dapat memperoleh Angka Ct yang tinggi.
- Angka Ct yang tinggi dapat terjadi pada pasien tanpa gejala (asymptomatic infection). Meskipun tetap berisiko menularkan virus, tinggi-rendahnya risiko penularan dari mereka yang tak bergejala menjadi sulit ditentukan karena belum diketahui kapan waktu awal infeksi terjadi.
- Angka Ct tinggi dapat juga terjadi pada pasien pada fase infeksi awal, atau fase infeksi pragejala (pre-symptomatic infection). Kondisi ini dapat berkembang menjadi infeksi bergejala dengan muatan virus yang makin tinggi dan risiko penularan yang tinggi.
- Angka Ct yang tinggi dapat pula terjadi karena kesalahan pada uji RT-PCR. Hal ini dapat terjadi karena sampel yang diambil tidak cukup, tercemar, atau kualitasnya menurun (degraded) akibat penyimpanan yang tidak baik atau penanganan yang buruk. Meskipun demikian, mereka yang bergejala perlu diasumsikan dapat menularkan virus pada 10 hari pertama sepanjang gejala penyakit mulai muncul. Asumsi yang sama juga perlu diberikan kepada mereka yang tidak bergejala selama 10 hari setelah hasil tes swab menunjukkan hasil positif.
- Angka Ct yang tinggi dapat terjadi pada orang dengan sistem imun yang terganggu atau mengalami sakit lainnya. Mereka dapat mengalami tahapan fase penularan yang lebih panjang sehingga memperoleh angka Ct tinggi di fase awal atau akhir perkembangan kondisi yang lebih panjang dari kondisi umum.
Perbedaan angka Ct dari tes RT-PCR yang berbeda
Tiap jenis RT-PCR dapat menghasilkan angka Ct yang berbeda, tergantung dari spesifikasi jenis tes RT-PCR yang dibuat oleh produsennya. Oleh karena itu, angka Ct tidak dapat diperbandingkan pada jenis RT-PCR yang berbeda.
Angka Ct 36 dapat berarti negatif pada suatu jenis RT-PCR, tetapi dapat pula diartikan positif pada jenis RT-PCR lain. Kesimpulan arti angka Ct mesti didasarkan pada ketentuan dari jenis uji RT-PCR yang pakai. Bahkan, pada beberapa tes PCR, tidak ada angka Ct karena sistemnya memang tidak memungkinkan operator tes untuk memeriksa reaksi enzim secara langsung (real-time) dalam proses pengujian. Dalam tes semacam itu, kesimpulan akhir positif atau negatif diberikan oleh perangkat lunak secara langsung.
Semua uji PCR memberikan kesimpulan kualitatif, yakni positif atau negatif. Namun, tidak semua menunjukkan hasil kuantitatif dengan angka Ct tersebut.
Pada tes RT-PCR yang dapat menunjukkan angka Ct, nilainya dapat berbeda. Sebagian besar dari model RT-PCR yang ada saat ini menggunakan batas siklus amplifikasi enzim sampai 35-40 kali. Pada RT-PCR seperti ini, seseorang hanya akan dinyatakan betul-betul positif jika muatan genetis virus terdeteksi dengan amplifikasi enzim di bawah 35-40 kali.
Pada beberapa RT-PCR, selain batas ambang teratas seperti itu, ada pula batas tengah yang membuat hasil tes perlu diamati diulang untuk dapat menarik kesimpulan positif atau negatif dari penularan virus.
Ambang batas siklus amplifkasi ini (Ct cutoff) ditentukan oleh produsen alat uji PCR itu sendiri, bukan laboratorium tempat pengujian. Tiap-tiap alat uji PCR itu sendiri telah lebih dahulu melewati proses pemeriksaan pada otoritas kesehatan setempat, misalnya FDA di Amerika Serikat dan BPOM di Indonesia. Selanjutnya laboratorium tidak dapat mengubah ketentuan ambang batas ini.
Beragam tes Covid-19
Selain RT-PCR, terdapat berbagai jenis tes untuk mengidentifikasi seseorang positif Covid-19. Tes Covid-19 ini sangat penting untuk mengetahui kondisi kesehatan seseorang terhadap paparan virus SARS-CoV-2. Selain itu, tes Covid-19 juga sangat berguna untuk mengetahui kondisi penularan Covid-19 di antara masyarakat umum demi pengambilan kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Ada beberapa tes Covid-19 yang tersedia, masing-masing dengan keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Secara umum tes Covid-19 dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni tes diagnosis (termasuk di dalamnya tes molekuler PCR dan tes antigen) dan tes antibodi. (Lihat detail di catatan akhir).
1. Tes Diagnosis
Tes diagnosis bertujuan untuk menunjukkan apakah seseorang mengalami infeksi virus korona dengan jalan mendeteksi keberadaan materi genetis virus dalam tubuh seseorang (seperti pada tes RT-PCR) atau dengan mendeteksi keberadaan protein spesifik dari virus tersebut (seperti tes antigen). Dua jalan pendeteksian itu yang kemudian sering dikenal sebagai tes PCR dan tes rapid antigen.
Jenis tes ini hanya bertujuan untuk memeriksa keberadaan virus Covid-19 di dalam tubuh. Tes diagnosis ini tidak dapat memberikan kesimpulan pasti tentang tingkat risiko penularan dari mereka yang terjangkit Covid-19.
Dua tes yang digunakan untuk mendiagnosis Covid-19 adalah tes molekuler dan tes antigen.
a. Tes Molekuler
Sebagian besar dari jenis tes ini dilakukan dengan metode polymerase chain reaction yang dikenal sebagai tes PCR. Tes jenis ini amat akurat dan biasanya dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi serta memerlukan tenaga ahli laboratorium.
Pengambilan sampel tes ini dapat dilakukan dengan swab melalui hidung, tenggorokan, bagian tenggorokan di belakang hidung, hingga air liur. Sedangkan, hasilnya dapat diperoleh setelah beberapa hari.
Ada pula yang menggunakan metode rapid point-of-care molecular tests. Hasilnya dapat diperoleh sekitar 13 menit dan tesnya dapat dilakukan dengan mudah oleh tenaga nonahli.
Tentang tes PCR itu sendiri, ada dua jenis yakni tes real-time PCR dan tes PCR. Keduanya sama-sama menghasilkan diagnosis yang amat akurat. Perbedaannya terletak pada teknologi RT-PCR yang memungkinkan peneliti memeriksa secara langsung proses pengujian sampel sehingga angka Cycle Threshold (Ct) dapat diperoleh pada akhir tes yang menunjukkan konsentrasi materi virus dalam sampel yang diambil.
Lebih lanjut, tes PCR ini bekerja dengan mengidentifikasi kehadiran materi genetis tertentu dari suatu sumber penyakit seperti virus melalui proses amplifikasi biokimia menggunakan enzim. Genetik materi itu dapat berupa DNA atau RNA dari suatu sumber penyakit. Dalam konteks tes PCR untuk Covid-19, yang diuji adalah materi RNA dari virus SARS-CoV-2.
Teknik uji laboratorium ini merupakan tes paling baik yang ada di dunia saat ini untuk mengidentifikasi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Tes ini memiliki tingkat sensitivitas dan kekhususan tinggi sehingga tepat dapat mengidentifikasi virus SARS-CoV-2. Selain itu, tes ini mampu mendeteksi jumlah RNA patogen (sumber penyakit) sekalipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil dan dalam waktu yang singkat.
Dalam ilmu biologi molekuler, teknik PCR ini dianggap sebagai salah satu hasil perkembangan termutakhir. Pengembangnya, Kary B. Mullis, memperoleh hadiah Nobel bidang kimia pada tahun 1993.
b. Tes Antigen
Tes antigen, atau dikenal dengan tes rapid antigen, bekerja dengan mendeteksi protein tertentu yang terdapat pada permukaan virus. Tes ini efisien, cepat, dan lebih terjangkau dalam hal harga bila dibandingkan dengan tes PCR. Tes ini terutama ditujukan untuk melakukan diagnosis klinis pada pasien-pasien yang mengalami gejala-gejala Covid-19 pada lima hari pertama sejak gejala tersebut muncul.
Pengambilan sampel dalam tes ini dapat dilakukan melalui swab melalui hidung maupun tenggorokan. Hasil dari tes ini dapat diketahui secara cepat, sekitar 10 hingga 30 menit setelah sampel diambil.
Berdasarkan keterangan Bloomberg School of Public Health, Universitas Johns Hopkins, tes ini tidak direkomendasikan untuk menguji apakah seseorang terinfeksi Covid-19 pada orang-orang yang tidak menunjukkan gejala Covid-19. Akan tetapi, situasi khas tiap negara membedakan kebijakan penentuan jenis tes yang digunakan dalam situasi darurat pandemi Covid-19.
2. Tes Antibodi
Kendati memiliki tujuan yang sama, yakni untuk menunjukkan apakah seseorang telah terpapar dan terinfeksi virus korona, tes antibodi bukan memeriksa keberadaan virus dalam tubuh.
Tes antibodi mencari keberadaan antibodi yang terbentuk sebagai respons sistem imun tubuh terhadap masuknya patogen, bukan virus itu sendiri. Antibodi tersebut hanya terbentuk ketika tubuh telah terjangkiti suatu penyakit, dalam hal ini Covid-19. Tes ini dikenal publik sebagai tes rapid antibodi dan pengujiannya dilakukan melalui sampel darah, baik dari tetes darah jari tangan maupun suntikan.
Tes antibodi tidak dapat diandalkan sebagai sarana tes diagnosis Covid-19. Pada beberapa kasus, antibodi tubuh baru terbentuk setelah beberapa hari bahkan beberapa minggu setelah seseorang mengalami infeksi. Dengan demikian, seseorang dapat saja telah terpapar Covid-19 dan dapat menularkannya kepada orang lain meskipun dinyatakan nonreaktif dalam tes antibodi karena antibodi belum terbentuk.
Sebaliknya, antibodi ini dapat bertahan hingga beberapa minggu setelah kesembuhan. Dengan demikian, seseorang yang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19 masih dapat memperoleh hasil tes reaktif dari tes antibodi karena masih terdapat antibodi dalam tubuhnya.
Hal ini ditegaskan oleh banyak otoritas kesehatan, termasuk WHO, FDA Amerika Serikat, Bloomberg School of Public Health Universitas Johns Hopkins.
Inovasi Baru
Selain beberapa tes Covid-19 di atas, dikembangkan berbagai metode tes lain untuk mengatasi keterbatasan sarana, efektivitas, serta demi kenyamanan.
Tes swab melalui hidung dan tenggorokan kerap kali menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien. Ketidaknyamanan ini menjadi persoalan yang semakin besar ketika seseorang perlu menjalani tes berulang kali. Oleh karena itu tes-tes baru seperti tes melalui pernapasan (breath-based tests) dan air liur (refine saliva tests) tengah dikembangkan. Tes GeNose yang dikembangkan oleh Unversitas Gadjah Mada merupakan salah satu bentuk tes inovasi baru melalui pernapasan ini.
Metode tes kelompok (pooled testing) juga dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan sarana tes, waktu, dan tenaga medis. Tes ini diadakan dengan metode PCR secara massal, yakni dengan menguji sampel dari banyak orang dalam suatu kelompok secara bersamaan (bukan satu per satu). Apabila suatu kelompok didapati tes positif, barulah tes orang per orang diadakan. Tes ini memang dikembangkan di tempat-tempat dengan sumber daya yang minim. Akan tetapi, model ini hanya berjalan baik dalam situasi prevalensi kasus yang rendah.
Terdapat pula tes Covid-19 swab melalui anus yang telah dilakukan di China. Tes jenis ini dilakukan berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa virus hidup lebih lama di anus daripada di saluran pernapasan. Mengingat ketidaknyamanan yang ditimbulkan, tes tersebut hanya dilakukan kepada mereka yang dianggap termasuk dalam kelompok risiko tinggi karena kontak dengan pasien Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Catatan Akhir
Sumber: FDA Amerika Serikat. Diolah Litbang Kompas/ERW
https://www.fda.gov/consumers/consumer-updates/coronavirus-disease-2019-testing-basics