”Hama Wing”, Pencarian Sumber Energi Baru
Jika menelusuri lebih jauh sejarah otomotif dunia, kendaraan berbahan bakar hidrogen sebenarnya sudah ada sejak tahun 1807. Kala itu, ilmuwan Swiss, Francois Isaac de Rivaz, membuat kendaraan empat roda menggunakan bahan bakar campuran antara hidrogen dan udara. Akan tetapi, kendaraan ini tidak pernah diproduksi massal.
Riset demi riset terus dikembangkan untuk membuat penggunaan bahan bakar hidrogen semakin nyaman dan aman. Keamanan menjadi faktor serius yang harus dipikirkan selain faktor cadangan minyak dunia yang terus menipis dan makin buruknya kualitas udara.
Hal itu membuat perusahaan otomotif dan ilmuwan di seluruh dunia bergegas mencari bahan bakar alternatif dan sumbernya. Listrik, gas, matahari adalah beberapa contoh energi terbarukan yang sudah banyak dicoba untuk diterapkan di dunia otomotif.
Namun, sumber listrik pun sering kali berasal dari batubara, yang juga bahan bakar fosil dan bagian dari industri pertambangan ekstraksi. Hal ini sering kali dinilai sebagai antitesis jawaban sumber bahan bakar terbarukan yang bersih dan tidak mencemari lingkungan. Yang diinginkan adalah bahan bakar yang ramah lingkungan dan dalam teknologi pengolahannya pun juga ramah lingkungan.
Teknologi
Ilmuwan pun kembali melirik hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Setelah sukses dengan Toyota Prius yang menjadi salah satu ikon mobil hibrida, Toyota meluncurkan mobil yang menggunakan bahan bakar hidrogen, Mirai, pada 2014.
Kiyotaka Ise, President Advanced R&D and Engineering Company Toyota Motor Corporation (TMC), saat ditemui di sela-sela perhelatan Tokyo Motor Show 2017, Oktober, mengatakan, penerapan teknologi pada kendaraan bermotor bukan berbicara tentang siapa yang lebih cepat. ”Tetapi, siapa yang membuat hasil paling baik bagi masyarakat luas,” katanya.
Toyota sendiri sudah mengembangkan empat jenis mobil listrik, mulai dari hibrida (kombinasi mesin konvensional berbahan bakar fosil dan motor listrik untuk menggerakkan roda), plug-in hybrid electric vehicle (PHEV, mobil hibrida yang baterainya bisa dicas layaknya gawai), dan mobil elektrik murni (electric vehicle/EV) yang sumber tenaganya murni dari baterai yang dicas.
Dan, kini mereka melangkah ke tahap selanjutnya dengan fuel-cell electric vehicle (FEV), mobil dengan sel bahan bakar sebagai sumber energi listriknya.
Alasan yang disampaikan Ise sederhana: membuat orang hidup lebih bahagia dan sehat saat tingkat polusi di udara sekelilingnya semakin rendah. ”Dan, itu adalah tantangan bagi kami. Tantangan itu baru saja dimulai,” katanya.
Hama Wing
Sejak meluncurkan Mirai, lanjut Ise, kendaraan ramah lingkungan ini semakin meningkat penggunaannya. Menurut data yang dipegangnya, saat ini dari 4.300 mobil berbahan bakar hidrogen di jalanan dunia, sekitar 3.000 di antaranya adalah Toyota Mirai.
Makin tingginya permintaan pasar untuk kendaraan ramah lingkungan ini membuat Toyota berupaya menyiapkan infrastrukturnya, termasuk pengolahan sumber bahan bakarnya. Apalagi, Toyota menargetkan 90 persen kendaraan yang beredar di pasaran Jepang pada 2050 merupakan kendaraan beremisi nol.
Ise menyatakan, Jepang mungkin tak memiliki sumber daya alam seperti negara-negara lain yang bisa diolah menjadi hidrogen. ”Tetapi, kami punya air, udara, dan angin untuk diolah,” ujarnya.
Jauh sebelum Mirai diproduksi, TMC bekerja sama dengan pemerintah Prefektur Kanagawa di Yokohama; Toshiba; dan Badan Pengelola Lingkungan Jepang membangun kincir angin setinggi 78 meter yang bertetangga dengan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pelabuhan Yokohama. Mulai dibangun pada 2007 dengan menghabiskan dana sekitar 5 miliar yen atau setara Rp 600 miliar, kincir angin bernama Hama Wing atau Yokohama Wind Power Plant itu berfungsi penuh pada 2017.
Dibangun dengan menggunakan teknologi turbin dari Denmark, Hama Wing mampu memproduksi listrik sebesar 1.980 kilowatt yang digunakan untuk mengolah air murni (bukan air laut) menjadi hidrogen dengan tekanan yang sama untuk digunakan pada berbagai kendaraan bermotor. Untuk uji coba awal, hidrogen yang dihasilkan digunakan sebagai bahan bakar forklift di beberapa industri di sekitar kota Yokohama.
Menurut Senior Manager Toyota Industries Corp Koji Yoshikawa, dibandingkan dengan mobil EV biasa, efektivitas pengisian listrik dari bahan bakar hidrogen jauh lebih baik dibandingkan dengan catu daya listrik dari jaringan konvensional. ”Kalau tenaga listrik (dari jaringan konvensional) butuh delapan jam untuk mengisi baterai forklift, dengan hidrogen, pengisiannya hanya membutuhkan waktu tiga menit,” kata Yoshikawa. Forklift itu sendiri bisa digunakan delapan jam sebelum harus mengisi ulang bahan bakarnya.
Salah satu alasan Hama Wing ini dibuat adalah untuk mengenali pola konsumsi dan distribusi yang mungkin akan dihadapi Jepang di masa mendatang ketika mobil berbahan bakar hidrogen menjadi massal di jalan-jalan ”Negeri Matahari Terbit” ini.
Apalagi, menurut Didier Leroy, Eksekutif Wakil Presiden Direktur Eksekutif TMC, 100 unit bus dengan bahan bakar hidrogen, yang dinamai Toyota Sora, akan mulai meluncur di jalanan Jepang tahun 2019. Bahkan, pada 2020, bus ini akan menjadi bagian dari penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020.
Indonesia pun sebenarnya berpeluang dalam memproduksi hidrogen sebagai bahan bakar ini. Akhir Januari ini, Indonesia akan memiliki 30 kincir pembangkit listrik tenaga bayu di Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Tinggal menunggu mobil berbahan bakar hidrogen hadir di Indonesia.