Mengebiri ”Anjing Penjaga”
Pasal pelarangan penayangan liputan investigasi di RUU Penyiaran berpotensi mengebiri pers sebagai ”anjing penjaga”.
Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Draf rancangan perubahan UU Penyiaran ini ada yang sudah baik, tetapi tidak sedikit aturan yang menyimpan potensi masalah apabila disahkan menjadi undang-undang.
Di antara sejumlah pasal yang bermasalah, salah satunya menyebut larangan penyiaran secara eksklusif jurnalisme investigasi, yaitu Pasal 50B Ayat 2 poin C. Pencantuman poin larangan ini perlu ditentang karena akan mengebiri tugas dan tanggung jawab pers sebagai pemantau kekuasaan dalam proses demokrasi.
Peran pers ini diibaratkan sebagai ”anjing penjaga” (watchdog), maksudnya anjing yang melindungi warga sebagai pemilik rumah dari mereka yang ingin berbuat jahat. Karena kesetiaan yang diberikan hanya kepada publik, pers berkewajiban melindungi publik dari para koruptor, pelanggar hak asasi manusia (HAM), dan penjahat lain yang merugikan publik, mencuri dan mengganggu kenyamanan hidup setiap warga.
Kita tahu, praktik jurnalisme investigasi telah banyak mengakibatkan pejabat publik, tokoh publik, dari pengusaha hingga penguasa tidak nyaman. Presiden Ke-37 Amerika Serikat Richard Nixon mundur dari jabatannya setelah serangkaian reportase investigasi yang dilakukan duo wartawan Carl Bernstein dan Bob Woodward diberitakan di Washington Post.
Penelusuran kedua jurnalis itu dilakukan sejak sidang kasus pencurian dokumen di kantor Partai Demokrat di Watergate pada pertengahan 1972 hingga pengumuman mundur Nixon pada 8 Agustus 1974. Pembongkaran skandal Watergate ini yang kemudian menjadi salah satu contoh praktik terbaik jurnalistik investigasi.
Baca juga: RUU Penyiaran Dinilai Ancam Kebebasan Pers
Kepercayaan publik di Filipina terhadap Presiden Joseph ”Erap” Estrada anjlok setelah sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Philipine Center for Investigative Journalists (PCIJ) membongkar harta kekayaan milik keluarga presiden kepada publik. Reportase investigasi PCIJ yang dipimpin oleh jurnalis perempuan Sheila S Coronel itu menguliti jejaring 66 perusahaan hingga aset bangunan dan surat berharga yang dimiliki sang presiden yang diduga dari hasil kejahatan korupsi dan penyuapan. Tahun 2001, Senat Filipina memakzulkan Erap dari jabatannya sebagai presiden dengan tuduhan korupsi.
Di Indonesia, reportase jurnalis investigatif Kompas tahun 2021 soal pembobolan jutaan data pribadi yang berasal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengungkap lemahnya pengamanan data digital milik warga oleh badan-badan publik. Di era digital, di mana hampir seluruh penduduk sudah terhubung dan beraktivitas melalui internet, perlindungan data pribadi menjadi salah satu prioritas tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.
Beberapa tahun sebelumnya, wartawan majalah Tempo Metta Dharmasaputra sukses mengungkap kasus penggelapan pajak senilai Rp 2,5 triliun oleh perusahaan Asian Agri. Pajak adalah pendapatan penting negara untuk mendanai pembangunan, seperti menyediakan jalan dan transportasi, membiayai kesehatan masyarakat dan sekolah setiap anak miskin di Indonesia.
Konten jurnalistik yang ”viral”
Seiring penetrasi internet dan platform digital, karya-karya jurnalistik yang menerapkan reportase mendalam dan investigatif semakin berkembang. Liputan-liputan jurnalistik tidak lagi dimonopoli oleh industri media besar.
Sekarang warga dapat menyaksikan laporan-laporan investigasi dan mendalam yang mengungkap bukti perebutan lahan milik masyarakat adat oleh perusahaan swasta, video kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat penegak hukum dan keamanan, penyimpangan dalam dunia kesehatan, hingga penyelewengan dana publik dalam pembangunan jalan hingga sekolah yang dilakukan pejabat publik melalui platform digital dan media sosial. Sebagian laporan-laporan investigasi tersebut tidak diproduksi oleh perusahaan media nasional, ternama dan besar.
Film-film dokumenter seperti Dirty Vote (2024) dan Sexy Killers (2019) merupakan hasil inisiatif sekelompok warga yang berkolaborasi dengan media kecil dan organisasi-organisasi swadaya masyarakat untuk membiayai dan menutup ongkos produksi. Karya jurnalistik itu mengungkap praktik politik kotor para pejabat publik terkait kebijakan dan tindakan mereka yang merugikan publik.
Partisipasi dan rasionalitas hanya bisa dicapai apabila publik dapat mengakses media yang memberi informasi berkualitas dan akurat.
Hebatnya, terlepas dari pro dan kontra di kalangan masyarakat, kedua tayangan karya dokumenter itu viral dan ditonton jutaan warganet melalui platform digital. Dalam waktu singkat, film dokumenter Dirty Vote yang dirilis menjelang pencoblosan pada Pemilu 2024 telah ditonton lebih dari 9 juta warganet.
Lewat karya dokumenter itu, warga justru mendapatkan literasi politik dan pendidikan sebagai pemilih dalam pemilihan umum sebagai pelanggengan sistem demokrasi yang sehat. Menurut McNair (2018), demokrasi yang sehat mensyaratkan partisipasi, rasionalitas dalam pemilihan, dan konstitusi.
Partisipasi dan rasionalitas hanya bisa dicapai apabila publik dapat mengakses media yang memberi informasi berkualitas dan akurat sehingga publik dapat menilai dan memilih kandidat pemimpin yang bijak dan terbaik dalam proses pemilihan umum.
Ilustrasi
Menjaga akuntablitas publik
Kembali ke klausul soal pelarangan penyiaran laporan investigasi secara eksklusif dalam RUU Penyiaran, larangan ini bertolak belakang dengan semangat dan amanat pemerintah untuk mendorong pers yang berkualitas lewat Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024. Peraturan ini melindungi dan mendorong usaha pers dilindungi dari ketidakadilan ekonomi dan persaingan bisnis yang tidak sehat melawan perusahaan platform digital raksasa yang agresif dalam menarik konsumen informasi dan merebut iklan.
Lebih jauh, perlindungan ini tentu diberikan pemerintah agar mendorong perusahaan pers dalam meningkatkan kualitas karya jurnalistik yang mendidik publik sekaligus pemantau para pejabat publik. Kontribusi pers dalam mendidik dan mencerahkan publik itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999.
Namun, banyak industri pers yang kesulitan melakukan praktik jurnalisme investigasi. Alasannya, reportase-reportase investigasi tidak mudah dan berbiaya murah. Proses reportase investigasi kerap membutuhkan sumber daya dan biaya mahal karena kasus yang diselidiki lintas pulau bahkan berbeda negara.
Bahkan, untuk memperoleh bukti-bukti berupa arsip dokumen, kesaksian, hingga rekaman peristiwa dan praktik kejahatan, jurnalis membutuhkan waktu berhari-hari. Belum lagi risiko gugatan hukum apabila laporan tersebut disiarkan kepada khalayak.
Baca juga: Menyelisik Keinginan Audiens Media
Dalam panduan liputan investigasi yang diterbitkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Hunter (2007) menggarisbawahi isu yang harus diangkat dalam praktik jurnalisme investigasi. Liputan harus menyangkut kepentingan publik, seperti korupsi, pelanggaran HAM, perusakan ekosistem dan lingkungan, serta kejahatan lain yang merugikan publik.
Aktor-aktor di balik kejahatan yang merugikan publik itu umumnya adalah mereka memiliki kuasa. Kuasa dalam hal politik, ekonomi, sosial, hingga kuasa dalam hal kebijakan dan hukum. Penyelewengan kekuasaan itu harus dilihat sebagai masalah penting yang menghambat pembangunan dan tujuan-tujuan kemajuan bangsa. Karena itu, tujuan pers untuk menyiarkan laporan investigasi adalah menjaga akuntabilitas dan kredibilitas lembaga pemerintah maupun badan swasta terhadap publik.
Penayangan laporan investigasi dimaksudkan untuk mengoreksi penyimpangan sehingga kepercayaan publik pada institusi-institusi yang memberi layanan publik, pada kepala-kepala daerah dan pejabat publik dapat dipertahankan. Termasuk di sini, mengembalikan kepercayaan publik kepada wakil rakyat di DPR.
Jika klausul pelarangan penayangan investigasi dalam RUU Penyiaran itu disetujui, bukan mustahil rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada wakilnya di DPR.
Samiaji Bintang N, Dosen Jurnalisme dan Kepala Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara