Jurang antara pernyataan dan kenyataan memerlukan kehadiran jurnalisme berkualitas yang keras dalam disiplin pembuktian.
Oleh
Ashadi Siregar (Ketua Ombudsman Kompas)
·4 menit baca
Harian Kompas, yang mulai terbit tahun 1965, berpengalaman dengan semua presiden RI. Segala hal menyangkut presiden akan menggambarkan dinamika kekuasaan dan kehidupan di ruang publik. Fakta benar dan obyektif, yang menjadi berita media pers, kelak merupakan catatan sejarah.
Di era digital kini, seorang presiden pun dengan akun personal semakin biasa menggunakan media sosial. Begitu pula bersahabat dengan para pemengaruh (influencer) populer serta mempekerjakan pendengung (buzzer) di media sosial. Namun, untuk mengimbangi ramainya komunikasi subyektif itu, publik memerlukan kehadiran media pers konvensional yang dijalankan jurnalis profesional.
Dalam disrupsi dari gempuran digitalisasi, sebagai media pers konvensional, Kompas menjawab dengan jurnalisme berkualitas. Hal ini dijalankan dengan mengolah isu dominan di ruang publik menjadi dasar agenda dalam memproses fakta sebagai materi pemberitaan. Hal itu hanya terwujud dengan adanya narasumber yang bersahabat dengan Kompas.
Narasumber adalah penyuara fakta dalam lingkup domestik dan global, siapa saja yang dapat memberi keterangan tentang fakta yang diverifikasi oleh jurnalis. Mulai dari pemimpin tertinggi negara, pejabat, pelaku ekonomi, aktivis sosial, hingga orang kecil di pelosok yang tak kedengaran suaranya.
Kompas tentu perlu punya cara berkomunikasi dengannya, yang berbeda halnya saat menghadapi Presiden Joko Widodo.
Menjelang akhir 2024 bangsa Indonesia akan punya presiden ke-8 RI. Langgam personal dan kebijakannya tentu berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Kegiatan seorang presiden tak pelak menjadi prioritas liputan bagi media pers. Kompas tentu perlu punya cara berkomunikasi dengannya, yang berbeda halnya saat menghadapi Presiden Joko Widodo.
Sebelum ke sana, menarik dicermati bagaimana Kompas melihat keberadaan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, yang sebentar lagi akan berakhir masa jabatannya. Sejak menjadi Wali Kota Surakarta, kemudian Gubernur DKI Jakarta, dan berujung pada kursi kepresidenan, Jokowi mendapat dukungan penuh dari partai politiknya.
Saat sebagai pejabat lokal, dia menikmati posisi sebagai media darling, ”disayangi” media. Selain partai politik pendukungnya, tidak dapat diabaikan bahwa mayoritas media pers kerap mengeksposnya sehingga membesar sebagai tokoh nasional.
Perlu kajian apakah karena pesona pribadinya, ataukah gaya kepemimpinan yang unik, media pers memberi tempat istimewa untuk setiap kegiatan Jokowi. Meski, belakangan ini, sejumlah media pers terlihat melakukan penyesuaian dalam menyikapi pribadinya.
Personal dan institusional
Terlepas siapa pun sebagai presiden, media pers dituntut beroperasi atas landasan kebenaran obyektif dan faktual, dibarengi sikap kritis dengan rasionalisme. Manakala berurusan dengan fakta publik, berfokus pada dua hal: pertama, pada interaksi dan perilaku personal figur publik sebagai ranah simbolik, yang dilihat dengan pendekatan kultural. Kedua, pada tindakan institusional, melalui indikasi politik, ekonomi, dan sosial di ruang publik, dilihat dengan pendekatan struktural.
Manakala berurusan dengan fakta publik, berfokus pada dua hal.
Untuk yang pertama, Kompas kerap mengekspos interaksi personal Joko Widodo dengan elite politik, termasuk pertaliannya dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Begitu pula kedekatan dengan ketua parpol lainnya. Kerap diberitakan acara makan di istana atau warung. Atau, dalam satu mobil wira-wiri bersama seseorang, misalnya, dimuat di halaman depan koran karena dipandang mengandung makna simbolis.
Adapun yang kedua, untuk realitas institusional, secara periodik Kompas menyajikan data persepsi publik tentang kinerja pemerintahan di bawah Presiden Jokowi yang diukur melalui survei opini publik. Selain itu, dengan jurnalisme data tentang realitas makro berfokus pada target dan output institusional pemerintahan.
Pernyataan ke kenyataan
Pemberitaan tentang Presiden Joko Widodo belakangan ini berbeda nuansanya dengan masa bulan madu sebagai media darling. Hal ini terutama terkait suasana menjelang Pemilihan Presiden 2024.
Pihak pendukung bakal capres-cawapres serta aktivis politik yang berseberangan ramai mempersoalkan posisi Presiden Jokowi. Kompas juga ikut menjadikan pihak-pihak ini sebagai narasumber berita. Narasi yang dimunculkan adalah tidak netralnya Jokowi.
Semakin keras tuduhan setelah anak Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto atas kesepakatan partai koalisi pendukung pasangan tersebut. Dari sini berembus tuduhan kecurangan dalam pemilu.
Banyak berita yang berfokus pada Presiden Jokowi. Pernyataan dari satu pihak dihadapkan dengan pernyataan pihak lain. Akibatnya, ruang publik diisi kebisingan perang pernyataan.
Jurnalisme hendaklah digerakkan oleh verifikasi berdasarkan bukti faktual dari tindakan. Untuk itu, perlu pembuktian pernyataan dengan kenyataan. Verifikasi dengan narasumber yang bersedia memberi petunjuk adanya dokumen dan data yang dapat menjadi deskripsi kenyataan.
Jurang antara pernyataan dan kenyataan memerlukan kehadiran metode jurnalisme berkualitas yang keras dalam disiplin pembuktian. Spekulasi sensasional sebagai narasi yang meramaikan media sosial merupakan amunisi bagi karut-marut di ruang publik.
Kompas dikelilingi suasana ini, tetapi diharapkan dapat tetap sebagai kompasnya publik.
Semoga liputan dengan jurnalisme berkualitas dapat menapis kebisingan politik, terutama yang berasal dari media sosial, guna mendapatkan kejernihan fakta, dalam upaya menumbuhkan literasi publik untuk media profesional.