Mampukah Orang Indonesia Berpikir?
Paradigma universalisme yang kerap dilakukan Barat membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih inferior.
Beberapa waktu lalu ruang digital dihebohkan dengan suatu acara siniar (podcast) berbahasa Inggris yang dibawakan oleh dua perempuan muda berbakat. Kehebohan disebabkan sang pembawa acara menyebut bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang miskin kosakata.
Pernyataan kontroversial tersebut tentu saja memicu berbagai respons. Banyak kalangan masyarakat kemudian menunjukkan berbagai kosakata bahasa Indonesia yang jarang diketahui orang banyak untuk membuktikan bahwa bahasa ini tidak miskin kosakata.
Meskipun bahasa merupakan salah satu masalah yang dibahas dalam siniar tersebut, sebenarnya hal penting yang disoroti adalah mengenai wacana pengetahuan. Acara siniar itu menyebut adanya ”kebudayaan malas” (lazy culture) yang melekat pada orang-orang Indonesia, seolah-olah kemalasan ini sudah menjadi kebudayaan.
Baca juga: Mitos Literasi dan Kemalasan
Hal ini kemudian, menurut siniar tersebut, memproduksi kemalasan untuk berpikir sehingga sulit untuk berpikir kritis. Terlebih lagi, terdapat pembicaraan mengenai agama yang membuat wacana mengenai kemalasan dan berpikir kritis menjadi semakin kompleks, tetapi menarik. Wacana ini tentu saja menarik untuk dipikirkan kembali mengingat sulitnya menemukan momentum untuk berdiskusi mengenai masalah kebudayaan.
Tentu saja, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas secara spesifik program siniar tersebut, apalagi membicarakan latar belakang personal karena akan menyebabkan jatuh pada sikap ad hominem yang memalukan.
Lebih luas daripada itu, saya melihat sebenarnya program siniar tersebut menunjukkan bagaimana suatu diskursus mengenai pengetahuan dibentuk. Keraguan dari siniar tersebut mengenai kemampuan berpikir orang Indonesia kemudian memunculkan pertanyaan lanjutan untuk saya, yaitu mampukah orang Indonesia berpikir?
Ilustrasi
Melokalkan Indonesia
Pertanyaan ”Mampukah orang Indonesia berpikir?” sebenarnya terinspirasi dari dua buku yang diterbitkan sebelumnya. Buku pertama berjudul Can Asians Think? yang ditulis Kishore Mahbubani dan buku kedua ditulis Hamid Dabashi berjudul Can Non-Europeans Think?
Saya kira kalangan sarjana ilmu sosial dan kebudayaan tidak asing dengan kedua buku ini. Kedua buku tersebut merupakan respons atas perkembangan terbaru dalam dunia pengetahuan ketika dunia Barat—yang sebelumnya dominan dalam memegang kendali produksi pengetahuan—mulai ditantang oleh usaha-usaha dari cendekiawan non-Barat dalam memikirkan kembali teori-teori, bahkan paradigma, yang pernah diproduksi di Barat sejak akhir abad ke-18.
Bahkan, tantangan tidak hanya datang dari ranah epistemologi, tetapi juga dari infrastruktur pengetahuan itu sendiri. Kampus-kampus Asia, misalnya, sudah banyak yang merangkak naik menjadi kampus top dunia, seperti National University of Singapore dan Tsinghua University. Kedua kampus tersebut berasal dari Singapura dan China.
Tentu saja iya, orang Indonesia mampu berpikir! Lalu mengapa masih ada orang-orang yang meragukan kemampuan berpikir orang Indonesia?
Jika Singapura dan China mampu menantang dominasi pengetahuan yang sebelumnya dipegang Barat, dan membuktikan bahwa mereka mampu berpikir, bagaimana dengan Indonesia? Mampukah orang Indonesia berpikir?
Langsung saja saya jawab di dalam paragraf ini: tentu saja iya, orang Indonesia mampu berpikir! Lalu mengapa masih ada orang-orang yang meragukan kemampuan berpikir orang Indonesia? Apakah mereka—orang yang meragukan kemampuan berpikir orang Indonesia—melewatkan momen ketika BJ Habibie berhasil memperkenalkan pesawat N250 di Bandar Udara Husein Sastranegara pada 1995?
Atau, apakah mereka tidak pernah mengetahui bagaimana cara Pramoedya Ananta Toer menelanjangi kolonialisme melalui novel Bumi Manusia? Atau, mungkin, mereka tidak pernah mengetahui kegeniusan Haji Agus Salim, meskipun tidak pernah duduk di bangku kuliah, dalam melawan Eurosentrisme jauh sebelum populernya kajian poskolonialisme?
Bisa jadi iya. Namun, menurut saya, keraguan atas hal ini lebih banyak disebabkan oleh paradigma universalisme yang sejak lama dipopulerkan kepada masyarakat Indonesia itu sendiri sehingga sifat inferior terus melekat dalam benak orang-orang Indonesia.
Ilustrasi
Paradigma universalisme lahir dari rahim Pencerahan Eropa abad ke-18 yang melihat Eropa sebagai pusat dunia. Untuk itu, standar kemajuan yang sudah berkembang di sana dianggap sudah mewakili ”semesta” (universe).
Adapun bangsa-bangsa yang dianggap belum memenuhi standar dari kemajuan versi Barat ini dianggap belum beradab alias barbar. Untuk itu, mereka yang dianggap barbar harus memakai standar kemajuan ini melalui ”bimbingan” dari para intelektual—bahkan sistem—–Barat.
Ini merupakan cikal bakal adanya ”misi memperadabkan”, nama samaran dari penjajahan. Untuk itu, bagi paradigma universalisme, Sejarah Melayu memiliki level lebih rendah daripada The History of The Decline and Fall of The Roman Empire yang ditulis oleh Edward Gibbon. Karya Sejarah Melayu dianggap ”kearifan lokal”, sementara karya dari Gibbon dianggap sebagai ”sejarah dunia”.
Dengan kata lain, kecerdasan yang berasal dari luar Eropa, termasuk Indonesia, harus dilokalkan atau diprovinsikan, sementara Eropa mengalami universalisasi. Inilah cikal bakal mengapa rumah gadang dari Minangkabau, misalnya, sering dikategorikan sebagai ”lokal”, sementara kebudayaan Eropa, seperti tiang-tiang reruntuhan era Yunani, dianggap sebagai ”dunia”.
Baca juga: Kajian Indonesia
Bahkan sampul-sampul buku sejarah dunia—yang isinya sebenarnya adalah sejarah Barat saja—sering menggunakan gambar patung-patung dan arsitektur era Yunani kuno. Alhasil, kita menjadi ”provinsi” dan Eropa menjadi ”universal”.
Universalisme ini terus dinormalisasi sehingga mengklasifikasikan Indonesia sebagai ”lokal”. Oleh karena itu, Indonesia digambarkan tidak setara dengan Barat yang dianggap ”universal”. Maka muncul rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang berbau ”lokal” tersebut sehingga dipelajarilah orangutan, keris, atau hal-hal eksotis yang berbau mistik dan tidak rasional.
Hal ini menciptakan anggapan bahwa ”dunia Timur” adalah tidak rasional dan hanya mempunyai ”kebudayaan”, sementara falsafah, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dimiliki oleh Barat. Indonesia kemudian mengalami eksotisasi luar biasa sehingga muncul anggapan bahwa kekayaan Indonesia hanya budaya material yang unik dan berbau ”lokal”. Namun, kita gagal untuk mengungkapkan kekayaan lain yang tidak kalah penting, yaitu pengetahuan.
Ruang tunggu sejarah
Dampak dari upaya melokalkan Indonesia sungguh besar dan tidak dapat diremehkan. Dalam berbagai bidang Indonesia dipaksa menempati ”ruang tunggu sejarah”—istilah yang digagas Dipesh Chakrabarty—karena universalisme menganggap bahwa sejarah berjalan secara progres seperti anak tangga.
Artinya, menurut universalisme, terdapat fase sejarah yang harus dilewati terlebih dahulu untuk menjadi ”negara maju”, misalnya dibuatlah tahap artifisial, seperti Revolusi Industri 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, 5.0, 6.0, dan seterusnya.
Jika kita berada pada titik 1.0, kita tidak dapat lompat ke fase 6.0, yang artinya kita harus menunggu di sebuah ruang tunggu bernama ”Ruang Tunggu Sejarah”. Semua indikator untuk mengukur kemajuan dibuat versi ”Ruang Tunggu” masing-masing, sementara itu Barat selalu menempatkan diri di posisi yang sudah maju.
Beberapa cendekiawan Indonesia sebenarnya sudah lama melakukan perlawanan terhadap perspektif ”ruang tunggu” ini. BJ Habibie, misalnya, pernah melakukan perlawanan keras terhadap upaya yang membawa Indonesia harus menunggu dahulu.
Argumen berkedok kebudayaan ini sering kali dicetuskan untuk melanggengkan kekuasaan Barat.
Menurut Habibie, Indonesia harus lekas menjadi negara yang berbasis pada industri. Dia menentang usaha-usaha untuk menjadikan Indonesia harus melewati fase-fase artifisial karena dianggap ”belum siap” untuk industrialisasi. Terlebih lagi, ajaran-ajaran—kalau tidak mau dikatakan dogma—dari para indolog masa lalu yang terus menggaungkan bahwa masyarakat Indonesia tidak cocok dengan budaya kerja industri karena memiliki budaya malas, santai, bahkan mengaitkannya dengan kondisi geografi dari wilayah tropis yang hangat.
Argumen berkedok kebudayaan ini sering kali dicetuskan untuk melanggengkan kekuasaan Barat. Para indolog masa lalu—mirisnya sering kali diulang oleh orang-orang di Indonesia hari ini—terus-menerus menggunakan alasan ”kebudayaan” untuk melegitimasi pendapatnya sehingga Indonesia dipaksa untuk menunggu, tidak boleh buru-buru mengejar ketertinggalan. Argumen ini selalu menekankan bahwa Indonesia belum siap untuk maju karena memiliki kebudayaan yang berbeda dari Barat, seperti budaya santai, bermalas-malasan, tidak rasional, berpikir mistik, dan takhayul.
Ilustrasi
Literasi global
Dalam artikel ini, saya ingin mengatakan bahwa orang-orang Indonesia mampu berpikir. Namun, paradigma universalisme, eksotisasi, dan lokalisasi atas Indonesia yang kerap dilakukan Barat telah membuat masyarakat ini menjadi lebih inferior karena mereka menerapkan standar dan tahapan kemajuan yang disediakan oleh Barat seakan-akan itu universal tanpa konteks ruang dan waktu.
Namun, dalam artikel ini saya juga tidak ingin mengajak para pembaca untuk terpengaruh pada nativisme, etnosentrisme, atau nasionalisme sempit. Sebaliknya, saya ingin mengajukan pandangan agar melihat pengetahuan dengan cara yang lebih plural dan global dengan menghargai berbagai keragaman budaya dengan konteks ruang dan waktunya. Hal ini justru dapat memperkaya pandangan kita mengenai pengetahuan, kearifan, dan kemampuan suatu masyarakat dalam berpikir.
Salah satu upaya untuk memperluas dialog antarkebudayaan adalah melalui pendekatan literasi yang global. Kemampuan literasi ini menekankan seseorang untuk dapat melihat dunia dengan setara dan plural, bukan dengan pendekatan top-down yang melihat Global Utara sebagai standar kemajuan untuk kemudian diterapkan di negara-negara Global Selatan.
Baca juga: Literasi Berbasis Internasionalisme
Kemampuan literasi global merupakan upaya menghargai keberagaman tradisi, kebudayaan, dan menekankan pada interaksi antarbudaya yang berjalan terus-menerus. Dalam melihat tradisi yang beragam, kita akan mengetahui bagaimana cara pandang yang begitu kaya. Cara masyarakat mendapatkan kebenaran pengetahuan, misalnya, ternyata sangat beragam.
Selama ini, filsafat Eropa modern mengakui pengetahuan hanya didapat melalui uji empiris atas materi. Namun, tradisi lain memiliki cara yang berbeda-beda. Dalam tradisi falsafah Islam, misalnya, pengetahuan dapat diperoleh melalui pewahyuan, intuisi, dan akal. Dengan demikian, kemampuan literasi dalam melihat dunia yang berbeda mutlak diperlukan agar kita dapat menghargai keberagaman dan kemampuan berpikir dari masyarakat di dunia.
Frial Ramadhan Supratman, Pustakawan di Perpustakaan Nasional