Bagi rakyat kebanyakan, kenaikan harga pangan yang jadi masalah.
Oleh
UMAR JUORO
·3 menit baca
Tekanan dari luar pada perekonomian Indonesia menguat belakangan ini. Masih relatif tingginya inflasi di Amerika Serikat membuat The Fed mempertahankan suku bunga tinggi untuk waktu lebih lama lagi. Akibatnya, dana kembali ke AS dan dollar mengalami penguatan yang cukup tinggi.
Akibat selanjutnya, mata uang lain, termasuk rupiah, mengalami tekanan dan melemah secara berarti. Aliran modal keluar cukup besar dari pasar modal dan obligasi Indonesia. Indeks pasar modal tertekan dan imbal hasil (yield) obligasi naik lagi di atas 7 persen, peningkatan yang cukup tinggi.
Nilai rupiah melewati Rp 16.000 per dollar AS dan kemungkinan akan tetap tertekan untuk waktu yang cukup lama, sampai inflasi di AS menurun dan The Fed menurunkan suku bunga lagi. Kemungkinan baru di pertengahan tahun ini atau bisa lebih lama lagi.
Bank Indonesia (BI) sebagai penjaga stabilitas mata uang melakukan intervensi di pasar spot dan non-deliverable (tanpa penyerahan). Namun, kemampuan intervensi ini terbatas. BI pun tak mungkin terus mempertahankan suku bunga kebijakan sebesar 6 persen untuk menjaga pertumbuhan dan harus menaikkan suku bunga acuan ini karena rupiah terus terdepresiasi mendekati level Rp 16.500 per dollar AS.
Tekanan juga bertambah dengan ketegangan Israel-Iran. Harga minyak mentah meningkat. Akibatnya, subsidi kemungkinan juga harus disesuaikan.
Pelemahan rupiah menaikkan biaya produksi karena kandungan impor yang cukup tinggi. Suku bunga kredit yang tadinya diharapkan mulai menurun tetap bertahan dan bagi debitor ini memperlama permasalahan biaya tinggi.
Sejauh ini, pertumbuhan kredit masih cukup tinggi, sekitar 11 persen, dan sektor manufaktur masih ekspansi. Namun, jika pelemahan rupiah berlangsung lama atau permanen, pengaruh negatif pada perekonomian juga semakin tinggi.
Dengan perekonomian yang terbuka, perekonomian Indonesia sensitif terhadap perubahan di tingkat dunia. Suku bunga di AS berpengaruh kuat terhadap nilai rupiah dan suku bunga di Indonesia. Ketika suku bunga tinggi di AS, rupiah melemah dan BI harus menaikkan suku bunga.
Intervensi biasanya hanya untuk menstabilkan atau menjaga volatilitas, tetapi kurang efektif untuk memperkuatnya. Sementara itu, penggunaan mata uang lain selain dollar AS belumlah memadai.
Angin sakal dan buritan
Industri manufaktur membutuhkan dukungan pemerintah untuk mengatasi beban bertambahnya pembiayaan. Industri manufaktur pada umumnya menghadapi cukup kuat angin sakal (headwind). Untuk mengatasinya, pengurangan hambatan impor bahan baku dibutuhkan. Insentif pajak sedapat mungkin juga bisa diberikan.
Eksportir batubara dan CPO, dengan harga kedua komoditas yang masih cukup tinggi dan penerimaan dalam dollar AS, tentunya diuntungkan. Eksportir mineral semestinya menerima dorongan angin buritan (tailwind). Sayangnya larangan ekspor mineral membuat kondisi ini kurang menguntungkan.
Bagi rakyat kebanyakan, kenaikan harga pangan yang jadi masalah.
Perkembangan ekonomi makro tampaknya masih cukup baik dengan pertumbuhan masih bisa sekitar 5 persen. Inflasi masih terkendali sekitar 3 persen sekalipun harga pangan mengalami kenaikan.
Permasalahan pelemahan nilai rupiah yang justru mengancam stabilitas perekonomian. Dengan tingkat inflasi 3 persen, sebenarnya BI tidak harus menunggu The Fed untuk menurunkan suku bunga kebijakan. Namun, risikonya terlalu tinggi karena penurunan suku bunga akan kian melemahkan rupiah.
Di tingkat sektoral dan mikro perusahaan, keadaannya berbeda-beda tidak seragam. Kondisinya masih cukup menantang sampai inflasi menurun dan suku bunga di AS diturunkan.
Harapan lain adalah menurunnya ketegangan Israel dengan Iran. Semua ini berada di luar jangkauan penentu kebijakan. Apa yang bisa dilakukan adalah sebisa mungkin menjaga stabilitas makro; inflasi, nilai rupiah, dan pertumbuhan.
Bagi rakyat kebanyakan, kenaikan harga pangan yang jadi masalah. Jika harga minyak terus naik dan harga BBM bersubsidi dinaikkan juga, tentu makin memberatkan. Ini yang harus diantisipasi, khususnya dari sisi anggaran. (APBN)