Sejatinya Bhinneka Tunggal Ika lebih dari sekadar ajakan persatuan bangsa, ia menyiratkan persatuan kalbu manusia.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Prinsip toleransi yang tersirat di dalam Pancasila dan di dalam Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sesuatu yang mudah diperjuangkan di tengah keindonesiaan modern kita. Modernitas mengubah pola distribusi penduduk. Di daerah urban terlihat pembentukan kelompok-kelompok minoritas yang meminta agar hak mereka untuk membuka tempat ibadah diakui. Daerah luar Jawa yang dulunya relatif homogen kini harus berhadapan dengan kenyataan masyarakat kian majemuk akibat migrasi dan transmigrasi.
Dampaknya tidak selalu positif. Pertarungan ekonomi antara kaum pendatang yang sering relatif ”maju” atau ”terdidik” dan kaum pribumi yang ”terbelakang” mengubah keseimbangan sosial-ekonomi setempat. Hal mana lambat laun mengubah juga keseimbangan politik, terutama ketika tokoh-tokoh pribumi setempat yang tadinya menguasai ruang politik lokal kedapatan bertarung kursi dengan tokoh pendatang.
Bila tidak diwaspadai dan bila persaingan ekonomi-sosial-politik ini tidak lagi dilenturkan di dalam tawar-menawar demokratis, terdapat risiko ruang persaingan meluas ke agama, dengan kristalisasi identiter di seputar agama acuan sebagai ”kebenaran tunggal”.
Untungnya, seluruh sistem simbolis kebangsaan Indonesia disusun sedemikian rupa oleh pendiri bangsa, terutama Soekarno, agar masalah ini terlampaui. Agama boleh dijadikan pusat kesadaran spiritual, tetapi bukan pusat kesadaran sosial-politik, posisi mana ditempati oleh kebangsaan. Itulah kunci konsep Pancasila, yang diperkokoh oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, harus disadari bahwa perangkat simbolis nasional tidaklah cukup. Evolusi pesat kepentingan kelompok dan distorsi algoritma medsos dalam menangani masalah nasional dan internasional kerap bermuara pada politisasi agama yang berlebih.
Salah satu cara adalah dengan budaya, dan antara lain dengan mengangkat ke permukaan momen-momen atau unsur masa lalu yang mengunggulkan persatuan dan menisbikan konsep identitas.
Salah satu contoh upaya tersebut dilakukan baru-baru ini di Bali, di desa tradisional Budakeling, pada kesempatan pementasan suatu tarian: ”Gambuh Masutasoma”. Di wilayah Budakeling terdapat dua permukiman tradisional penduduk yang berbeda agama: Budakeling sendiri, yang Hindu, dan Saren Jawa, yang Islam. Di Budakeling, posisi unggul ditempati oleh para brahmana Buddha, keturunan Dang Hyang Astapaka, pendeta Buddha yang hijrah ke Bali dari Jawa pada abad ke-16.
Di kalangannya dipertahankan suatu tradisi Buddha, ditopengi seorang pedanda Buddha, lengkap dengan mantra, upacara dan tradisi pembacaan sastra terkait, termasuk kekawin Sutasoma. Penduduk Islam datang belakangan, di dalam kaitan dengan siar Islam dari Demak ke wilayah Timur Jawa. Di situ terdapat kisah leluhur tercampur mitos.
Ketika rombongan duta Islam menghadap Raja Waturenggong di Gelgel guna mengislamkannya, mereka gagal. Di dalam cerita rakyat disebut gagal ”memotong kukunya”. Takut menghadapi amarah Raja Demak, mereka diizinkan bermukim di Gelgel. Lalu ketua rombongan, Kiai Jalil, yang amat sakti itu, diminta ke Karangasem untuk membunuh sapi wadak liar yang konon merusak wilayah Kumetug.
Kiai Jalil berhasil membunuh wadak, dan sebagai balasan dianugerahkan tanah untuk rombongannya. Itulah asal desa Saren Jawa. Selain itu, Kiai Jalil mempersunting seorang putri gria Buddha bergelar Jero Tauman.
Terlihat di atas bahwa kedua kelompok, brahmana Buddha dan Islam, dipersatukan oleh jalinan mistis-historis asal dan sekaligus hubungan kekerabatan. Selain itu terdapat juga unsur ”upacara” di gria Buddha yang mempererat jalinan lintas agama ini: setiap kali ada upacara besar seperti plebon pendeta, pediksaan, orang Islam dari permukiman Saren Jawa ”menyumbangkan” seni “rodat dan burdah” Islam yang khas itu sebagai tanda persaudaraan. Jadi persaudaraan dikenang dan dihidupkan kembali melalui upacara.
Keeratan persaudaraan tidak terhenti di situ. Di pihak kaum brahmana Buddha sejak dulu terdapat tradisi membaca kekawin Sutasoma. Apa ajaran Sutasoma? Yang pertama ajaran ”pengorbanan”, ketika sang titisan Buddha itu menawarkan diri sebagai ”makanan” pada setiap lawan yang dihadapinya. Yang kedua ajaran penisbian agama, dengan kalimat kunci: ”Tan hana Dharma Mangrwa, Bhinneka Tunggal Ika”. Tidak ada dua dharma, dharma berbeda, tetapi satu.
Disebut ajaran Sutasoma itu, ustaz Denpasar yang bijak, Kusnadi Mustofa, berkata: Wali Songo mengajarkan siar Islam bukan dalam perbedaan, tetapi dalam persamaan, melalui budaya setempat.
Jadi sejatinya semboyan Bhinneka Tunggal Ika lebih dari sekadar ajakan persatuan bangsa, ia menyiratkan persatuan kalbu sang manusia satu sama lainnya di dalam seruan keagamaan.