Menjalani Pendidikan Dokter Spesialis
Perlu diingat bahwa pendidikan kedokteran amat keras dalam segi etika dan moral.
Anak perempuan saya baru saja lulus pendidikan dokter dan bersama suami akan menjalani tugas sebagai dokter umum di daerah terpencil di Indonesia. Setelah menjalani tugas sebagai dokter umum, kelak dia berniat melanjutkan pendidikan dokter spesialis. Dia ingin menjadi dokter spesialis anak, sedangkan suaminya ingin menjadi spesialis ortopedi. Saya mendoakan agar mereka dapat menjalankan tugas dengan baik di daerah kemudian dapat menyiapkan diri melanjutkan pendidikan.
Belakangan ini saya banyak membaca liputan media tentang beratnya menjalani pendidikan dokter spesialis. Di Indonesia, pendidikan dokter spesialis merupakan pendidikan profesi yang harus dijalani dengan membayar uang pendidikan. Di luar negeri katanya pendidikan spesialis lebih merupakan magang dan peserta mendapat gaji meskipun tak sebesar gaji dokter spesialis. Beban kerja peserta dokter spesialis cukup berat karena selain melayani pasien untuk pendidikan, para peserta ini juga merupakan bagian dari rangkaian layanan terpadu di rumah.
Anak saya yang akan bertugas ke daerah ini merupakan anak pertama. Adiknya laki-laki masih kuliah di jurusan teknologi informasi dan diharapkan lulus tahun depan. Jika saya bandingkan peluang untuk kerja dan mendapat penghasilan, tampaknya anak saya yang kuliah di teknologi informasi akan lebih cepat berkembang kariernya dibandingkan anak saya yang menjadi dokter. Untuk menjadi dokter umum perlu waktu lama. Setelah itu, menjalani ujian nasional dan barulah kemudian bertugas ke daerah. Menurut pengalaman senior anak saya, bertugas di daerah, terutama di daerah terpencil, tidak dapat diharapkan untuk bisa menabung. Uang tabungan yang tak seberapa biasanya habis untuk pulang Lebaran ke rumah orangtua.
Saya sendiri dapat membantu biaya pendidikan anak saya kelak. Namun, yang saya khawatirkan apakah dia sebagai ibu muda akan dapat menjalani pendidikan yang jam kerjanya panjang dan stresnya juga besar. Hasil skrining yang dilaporkan media belakangan ini menambah kekhawatiran saya karena ternyata tingkat depresi para peserta pendidikan dokter spesialis tinggi, bahkan ada yang berniat bunuh diri.
Sebagai dokter senior yang pernah menjalani pendidikan dokter spesialis dan sebagai dosen yang mendidik dokter spesialis, barangkali Dokter dapat menjelaskan beban yang harus dipikul para peserta pendidikan dokter spesialis ini. Mungkinkah anak saya akan dapat menjalaninya dengan baik? Terima kasih atas penjelasan Dokter.
D di J
Ya, saya pernah menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam, tetapi sudah lama sekali. Saya sekarang masih terlibat mendidik dokter spesialis penyakit dalam di FKUI. Kabar baik yang ingin saya sampaikan adalah ribuan peserta pendidikan dokter spesialis sedang menjalani pendidikan di Indonesia dan hampir semua mereka akan lulus sesuai dengan cita-cita mereka. Rata-rata kurang dari 10 persen yang gagal dalam pendidikan. Kalaupun gagal, biasanya bukan karena faktor kesulitan dalam pendidikan, melainkan lebih kepada masalah keluarga dan finansial.
Dokter umum yang mengikuti pendidikan dokter spesialis melalui saringan, baik kemampuan akademis, kemampuan membagi waktu untuk pendidikan dan keluarga, pengalaman bekerja di daerah, maupun kemampuan menyelesaikan masalah. Mereka telah lulus dokter, berarti kemampuan akademisnya baik. Hanya saja mereka harus beradaptasi untuk mengikuti kegiatan pendidikan yang cukup padat. Dukungan keluarga amat diperlukan karena mereka sebagian sudah berkeluarga, bahkan ada yang sudah punya anak.
Sekarang ini di FKUI ada sekitar 250 peserta pendidikan dokter spesialis penyakit dalam, di universitas lain juga banyak. Menurut pengamatan saya selama ini, para peserta akan berhasil menyelesaikan pendidikan mereka. Ya, ada sedikit sekali yang gagal. Pada umumnya yang gagal karena masalah sikap dalam pendidikan dan masalah keluarga.
Baca juga: Penularan Penyakit dari Tenaga Kesehatan
Hubungan dengan senior
Hubungan peserta pendidikan dengan senior, baik angkatan di atasnya maupun pendidik, menurut saya lebih merupakan hubungan kekeluargaan. Di luar sana banyak beredar adanya tekanan, bahkan kekerasan, tetapi perlu diingat bahwa pendidikan kedokteran amat keras dalam segi etika dan moral. Mereka yang berani melakukan kekerasan, pemerasan terhadap adik kelasnya, sanksinya adalah sanksi terberat, dihentikan pendidikannya. Justru yang tak banyak diliput adalah bagaimana kakak kelas dan para senior mencoba membimbing peserta baru untuk dapat beradaptasi pada tahun pertama pendidikan. Saya masih ingat kebaikan senior saya yang memberi dukungan tak hanya dukungan semangat dan dorongan belajar, tetapi juga bantuan finansial.
Di beberapa pusat pendidikan bahkan para senior mengumpulkan dana untuk mendukung biaya pendidikan peserta didik yang mendapat kesulitan biaya. Jumlahnya tidak sedikit. Mudah-mudahan saya tak hanya melihat segi baik hubungan peserta didik dan senior mereka ini, tetapi hubungan tersebut berlanjut setelah mereka lulus dan bertugas sebagai dokter penyakit dalam di seluruh Indonesia. Kami sering bertemu pada acara-acara ilmiah penyakit dalam dan suasana kekeluargaan tersebut terus berlanjut meski mereka sudah tak menjalani pendidikan lagi. Sebagian dari mereka kembali untuk melanjutkan pendidikan sebagai konsultan.
Apakah peserta pendidikan mengalami stres atau depresi? Sebagian ya, meski sebagian lagi ada yang cepat beradaptasi dan dapat menjalani pendidikan dengan lancar. Perbincangan antara peserta pendidikan dan penyelenggara pendidikan diadakan secara berkala untuk terus menyempurnakan proses pendidikan. Juga tersedia staf senior yang berfungsi sebagai pembimbing dan konselor yang dapat membantu peserta pendidikan yang memerlukan bimbingan.
Undang-undang di Indonesia memang menetapkan pendidikan dokter spesialis adalah suatu pendidikan sehingga ada biaya pendidikan. Sudah banyak diskusi tentang hal ini. Undang-undang ini jika dianggap memberatkan sudah tentu dapat diubah.
Saya menganjurkan anak-anak saya yang menjadi dokter umum untuk bekerja di daerah karena dengan bertugas di daerah, mereka akan mengenal budaya setempat, selain juga menjadi proses mematangkan diri. Saya juga percaya anak saya akan dapat menjalani pendidikan dokter spesialis. Meski berat dan sibuk, proses tersebut membentuk pribadi mereka untuk pandai membagi waktu, menyelesaikan masalah, serta melaksanakan tugas pada waktunya.
Baca juga: Minum Obat Penurun Kolesterol
Sudah tentu suasana belajar yang nyaman, tak banyak stres, harus diwujudkan, tetapi tak berarti pendidikan perlu melindungi anak didik dari berbagai masalah. Biarkanlah mereka tumbuh dan berkembang dengan cara menghadapi berbagai persoalan yang akan menjadikan mereka dokter spesialis yang tangguh dan bertanggung jawab. Selamat buat anak dan menantu Anda yang akan bertugas ke daerah. Semoga cita-cita mereka menjadi spesialis tercapai dengan baik.