Jika Kartini Panjang Usia
Lebih dari dua pertiga penduduk lansia di atas 65 tahun tinggal dalam rumah tangga keluarga miskin.
Kartini wafat tepat 120 tahun lalu (1904), di usia 24 tahun, setelah melahirkan putra pertamanya. Sebagaimana nasib Kartini ketika itu, sampai saat ini kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi dan menjadi persoalan dunia.
Angka kematian ibu (AKI) Indonesia masuk peringkat tiga besar di ASEAN di bawah Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam! Data Sensus Penduduk 2020 mencatat, AKI Indonesia 189 per 100.000 kelahiran hidup.
Namun, jika diandaikan Kartini lolos dari lubang jarum kematian akibat melahirkan dan berusia panjang, gerangan apa yang akan dihadapinya? Perkawinan poligami yang hingga kini secara hukum masih abu-abu adalah satu hal. Soal lainnya adalah keadaan perempuan sebagai warga lansia.
Tahun 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk lansia 11,75 persen, naik hampir 1,5 persen dari tahun sebelumnya, 10,48 persen (Statistik Penduduk Lanjut Usia, BPS, 2023).
Baca juga: Lansia dan Pentingnya Layanan Perawatan Sosial Menyeluruh
Secara rata-rata jumlah perempuan lansia lebih tinggi (52,28 persen) ketimbang laki-laki (47,42 persen). Demikian pula angka harapan hidup dan resiliensi menghadapi ragam pemicu sakit dan kematian akibat perilaku kesehatan yang berisiko, seperti merokok. Daya perempuan lebih tangguh dibandingkan dengan lelaki.
Namun, dari sisi ekonomi dan kesejahteraan, kondisi perempuan lansia cukup memprihatinkan. Secara statistik, ketergantungan lansia pada orang muda produktif masih tinggi. Ini dapat dilihat dari naiknya rasio ketergantungan rata-rata lansia, 17,08 pada 2023.
Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung 17 penduduk lansia. Karena jumlah perempuan lansia lebih tinggi, dengan sendirinya jumlah perempuan yang bergantung pada penduduk usia produktif juga lebih tinggi.
Dilihat dari piramida penduduk, angka kemiskinan yang dapat mengilustrasikan kesejahteraan ekonomi penduduk juga dialami penduduk lansia.
Susenas Maret 2021 mencatat, lebih dari dua pertiga penduduk lansia di atas 65 tahun tinggal dalam rumah tangga keluarga miskin. Sekitar tiga dari sepuluh orang lansia menumpang sebagai anggota rumah tangga, tetapi separuh di antara mereka tetap berstatus sebagai pencari nafkah.
Lebih dari separuh lansia (52,82 persen) bekerja di sektor pertanian dan sekitar dua dari tiga pekerja lansia (68,03 persen) bekerja dengan status berusaha sendiri atau buruh dibayar atau tidak dibayar langsung. Dari warga lansia yang bekerja, 85,25 persen mengais rezeki di sektor informal.
Paling rentan
Data di atas memperlihatkan bahwa dalam struktur masyarakat yang bergeser dari masyarakat agraris ke industri, lansia menjadi kelompok paling terdampak dan paling rentan. Penyebabnya, antara lain, karena perubahan ke arah masyarakat industri itu difokuskan pada kelompok usia produktif dan berpendidikan dengan asumsi yang bias produktivitas.
Kaum pekerja usia produktif itu didorong melakukan akselerasi untuk hidup dalam masyarakat industri yang berorientasi pada hasil dengan ukuran kuantitatif dan serba cepat.
Kerentanan pada perempuan lansia justru berpangkal dari sini. Ketika perempuan, dalam usia produktif ataupun lansia, masih berada dalam masyarakat agraris, sumbangan mereka cukup diperhitungkan dan dihargai karena mereka masih menyumbang pada usaha pertanian dan pengelolaan keluarga.
Susenas Maret 2021 mencatat, lebih dari dua pertiga penduduk lansia di atas 65 tahun tinggal dalam rumah tangga keluarga miskin.
Meskipun sejak Revolusi Hijau pemuliaan pertanian melalui modernisasi dinilai bias jender, proses adaptasi terhadap modernisasi telah menyelamatkan perempuan lansia dari peminggiran dalam rangkaian proses produksi pertanian tradisional sejak menanam hingga memanen.
Namun, di wilayah tertentu, terutama di luar Jawa, situasi ini cepat berubah ketika industri pertanian mengalami modernisasi radikal melalui alih jenis produksi dari padi ke kelapa sawit dan industri ekstraktif. Jenis pekerjaan ini menyingkirkan sekaligus dua kelompok warga yang sebelumnya bergantung penuh pada dunia pertanian: kelompok lansia dan perempuan. Industri sawit dan industri ekstraktif pada kenyataannya sangat meminggirkan perempuan, apalagi lansia.
Tentu saja, tak hanya perempuan lansia yang mengalami marjinalisasi ekonomi akibat perubahan ini. Menurut data Ketenagakerjaan 2021, sebanyak 97,94 persen warga lansia bekerja di sektor informal yang sangat rentan bangkrut atau alih usaha.
Siapa pun tahu, bekerja di sektor informal tak dapat diandalkan sebagai tabungan masa tua. Laki-laki lansia tak kalah berat menghadapi pergeseran itu. Apalagi dalam status dan peran sosial mereka sebagai kepala keluarga. Namun, pembagian kerja jender tradisional yang dibenarkan secara adat, budaya, dan agama lebih memberikan ruang gerak kepada lelaki lansia.
Pada perempuan lansia, mereka harus bekerja rangkap tiga: mencari nafkah, mengelola rumah tangga, dan menjadi sistem pendukung bagi anak-anak mereka yang masuk ke dalam dunia kerja formal.
Hal itu karena daya dukung kepada mereka sangat minimal, baik dari dunia usaha maupun negara, dalam peran reproduksi sosial mereka, terutama dalam pengasuhan anak. Dengan kata lain, secara de facto perempuan lansia sejatinya merupakan penyumbang tenaga, waktu, dan pikiran bagi sektor formal dan dunia industri melalui sumbangan mereka dalam pemeliharaan keluarga muda, pengasuhan anak, atau dalam peran reproduksi sosial.
Sebagai kelompok penduduk yang memiliki kerentanan sosial ekonomi tinggi, warga lansia butuh perlindungan yang memadai dari negara dan sistem budaya. UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia serta Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menegaskan, Indonesia telah menargetkan upaya perlindungan sosial yang tepat dan menyeluruh, termasuk bagi warga lansia (Bappenas, 2017).
Namun, cakupan perlindungan sosial bagi warga lansia itu sering bertumpu pada bantuan yang tak sistemik, seperti bansos. Di lain pihak, cakupan bansos bagi warga lansia masih sangat terbatas.
Perhatian terhadap masalah kesejahteraan warga lansia di Indonesia masih jauh tertinggal. Indeks Global Age Watch Insight PBB (2018) yang berfokus pada hak-hak kesehatan penduduk lansia menempatkan Indonesia di peringkat ke-71 dari 91 negara.
Membayangkan Kartini berusia lanjut pada kenyataannya tak seindah iklan Lebaran. Dibutuhkan perubahan paradigma cukup radikal untuk memastikan warga lansia tercakup dalam upaya kesejahteraan komprehensif yang responsif jender.
Menurut data Ketenagakerjaan 2021, sebanyak 97,94 persen warga lansia bekerja di sektor informal yang sangat rentan bangkrut atau alih usaha.
Juga untuk memastikan tersedianya kebijakan yang peka lansia secara jender untuk setiap kalkulasi ukuran kesejahteraan; tersedianya lapangan kerja yang ramah perempuan lansia dengan menimbang peran rangkap tiga mereka; dan tersedianya sistem dukungan sosial yang berangkat dari pengakuan bahwa usia lansia—baik lelaki maupun perempuan—adalah usia emas yang secara budaya bernilai luhur dan mulia.
Tanpa itu, membayangkan Kartini berusia lanjut hanyalah gambaran Kartini dengan sorot mata layu kehilangan apresiasi dan harapannya. Selamat Hari Kartini 2024!
Lies Marcoes, Pemerhati Isu Jender dan Lansia