Serangan Iran ke Israel dan Ancaman Instabilitas Global
Serangan balasan Israel ke Iran tentu akan membawa dampak pada jalur distribusi minyak dunia.
Serangan Iran terhadap Israel berpotensi membuka kotak pandora instabilitas kawasan Timur Tengah. Setidaknya ada tiga alasan mengapa ini bisa terjadi.
Pertama, serangan ini berbeda dari pakem normal Iran di kawasan yang lebih sering menggunakan proksi dalam melawan Israel.
Kelompok bersenjata, seperti Hezbollah atau belakangan Hamas serta Houthi, merupakan proksi utama Iran dalam menghadapi Israel.
Bantuan dana, pelatihan militer, informasi intelijen, hingga logistik perang menjadi instrumen utama Iran dalam menyokong aktivitas kelompok-kelompok itu vis-à-vis Israel.
Serangan yang diklaim Iran sebagai langkah retaliasi atau membela diri ini akan masuk dalam kategori perang antarnegara (inter-state war) yang terakhir kali dilakukan Iran dalam Perang Teluk jilid pertama pada dekade 1980-an.
Perang antarnegara lebih sulit dibatasi cakupannya jika dibandingkan dengan extra-state war yang biasa berlangsung di Timur Tengah dan melibatkan Israel melawan proksi-proksi Iran.
Meski demikian, Iran dan Israel tidak berbagi perbatasan dan tidak memiliki perseteruan wilayah yang secara teoretis membuat potensi peningkatan intensitas konflik menjadi lebih minimal.
Lihat juga: A15 Action, Demonstrasi Pro-Palestina Desak Penghentian Bantuan Militer ke Israel
Hingga saat ini belum ada keterlibatan negara-negara besar, regional ataupun global, dalam perseteruan ini, sehingga peningkatan intensitas konflik masih bisa dicegah.
Kedua, serangan Iran ini mengekspos kapasitas pertahanan Israel yang sesungguhnya. Drone dan roket yang diluncurkan Iran berbeda kemampuannya jika dibandingkan dengan roket rumahan atau semipabrikan yang digunakan Hamas, Hezbollah, atau Houthi.
Laporan The Military Balance 2024 mengidentifikasi tiga sistem utama pertahanan udara Israel: Iron Dome, David Sling, dan Arrow Defense System yang keseluruhannya digunakan untuk mengatasi serangan Iran beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, The Military Balance, ataupun sumber-sumber data pertahanan lain yang dirilis CSIS Washington ataupun Pemerintah Amerika Serikat (AS), tak mengidentifikasi sistem pertahanan udara yang mumpuni yang dimiliki Iran.
Di satu sisi, hal ini bisa menggoda Israel untuk melancarkan serangan serupa ke Iran untuk mengekspos kapasitas pertahanan udara sesungguhnya yang dimiliki Iran. Di sisi lain, jika memang catatan-catatan tersebut tepat, serangan serupa akan memakan korban jiwa dalam jumlah besar dan mendorong langkah retaliasi Iran.
Dampak perdagangan
Ketiga, hal yang harus diwaspadai bukan hanya penggunaan kekuatan militer oleh Iran. Kekuatan Iran yang sesungguhnya terletak pada penguasaan mereka atas Selat Hormuz. Hingga saat ini, selat ini masih menjadi akses utama rute perdagangan minyak dunia.
Catatan Energy Information Administration (EIA) akhir 2023 memperlihatkan bahwa lebih dari 20 juta barel minyak per hari atau sekitar 20 persen dari total konsumsi global dialirkan melalui Selat Hormuz. Serangan balasan Israel ke Iran tersebut tentu akan membawa dampak pada jalur distribusi minyak dunia dan membuat harga minyak meningkat tajam.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat internasional akan mampu mendorong Iran dan Israel menahan diri. Iran sudah menegaskan tidak akan melanjutkan serangan jika tidak ada aksi balasan dari Israel.
Dengan demikian, apakah masyarakat internasional bisa menahan Israel untuk tidak mengambil langkah serupa?
Ada dua hal yang akan menyulitkan langkah tersebut. Pertama, serangan Iran ke Israel tidak hanya dikaitkan dengan langkah retaliasi atas serangan terhadap kantor perwakilan mereka di Suriah, tetapi juga dikaitkan dengan tuntutan agar Israel menghentikan operasi militer mereka di Gaza.
Kekuatan Iran yang sesungguhnya terletak pada penguasaan mereka atas Selat Hormuz.
Laporan BBC, 22 Maret lalu, memperlihatkan tingkat kerusakan di Gaza yang sudah hampir menyeluruh. Penilaian Scher dan Van den Hoek pada 10 April memperlihatkan kerusakan di atas 50 persen dari infrastruktur di seluruh wilayah Gaza. Artinya, operasi militer darat besar hanya tinggal menghitung hari untuk dihentikan.
Upaya mengaitkan serangan Iran ke Israel dengan penghentian operasi militer Israel di Gaza akan membuat kemenangan politik (political victory) Israel menjadi ternodai.
Kedua, Israel sudah berkali-kali merencanakan operasi militer terbatas ke instalasi nuklir Iran. Saat ini, mereka memiliki kesempatan untuk melaksanakan rencana tersebut dengan alasan yang memadai. Apalagi, pada saat yang sama, Israel bisa menguji kapasitas pertahanan udara Iran.
Iran juga baru saja kehilangan dua tokoh utama Garda Revolusi. Hal ini tentu akan membawa implikasi pada kemampuan mereka dalam mengorganisasikan pasukan.
Dengan demikian, sikap internasional yang tegas bagi penghentian penggunaan instrumen militer sangat diperlukan. Sejauh ini, negara-negara besar, regional ataupun global, masih menahan diri untuk tidak ikut serta dalam perseteruan antara Iran dan Israel.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden China Xi Jinping menyerukan sikap menahan diri. Negara-negara Teluk, yang akan menjadi pihak paling terdampak akibat meningkatnya tensi Iran-Israel, juga mendorong kedua pihak yang berseteru untuk menahan diri.
Negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, bisa menjadi jembatan mengingat mereka memiliki hubungan baik dengan kedua pihak.
Kepentingan Indonesia
Penghentian penggunaan instrumen militer juga menjadi kepentingan Indonesia. Bagi Indonesia, masalah yang ditimbulkan bukan hanya kenaikan harga migas. Interaksi militer Iran dengan Israel secara langsung kemungkinan besar akan dilakukan di udara.
Hal ini akan mengganggu jalur penerbangan global. Perlu diingat, maskapai-maskapai global banyak yang berasal dari kawasan Teluk dan negara-negara Teluk menjadi salah satu penghubung (hub) penting antara Asia dan Eropa serta Afrika.
Perang bukanlah solusi terbaik untuk menciptakan stabilitas dan Indonesia harus bisa terlibat aktif dalam upaya ini.
Selain itu, Indonesia juga memiliki kepentingan mengamankan warga negaranya yang bermukim di kawasan Timur Tengah, bukan hanya Israel/Palestina ataupun Iran. Apabila perseteruan Iran dan Israel meluas, seluruh kawasan akan terdampak.
Jumlah warga negara Indonesia di Israel/Palestina dan Iran mungkin tak terlalu banyak. Namun, jika ditambahkan dengan mereka yang bermukim di Jordania, Irak, ataupun Suriah, negara-negara yang akan menjadi rute utama pertarungan udara, jumlahnya akan semakin besar.
Apalagi jika negara Teluk ikut terdampak. Perlu dicatat, bagi warga negara Indonesia, Arab Saudi merupakan rumah terbesar kedua setelah Malaysia.
Dengan berbagai catatan itu, upaya mendorong Iran dan Israel menghentikan penggunaan kekerasan harus dilakukan. Perang bukanlah solusi terbaik untuk menciptakan stabilitas dan Indonesia harus bisa terlibat aktif dalam upaya ini. Jangan sampai kita mengedepankan emosi dalam merespons kondisi gawat semacam ini.
Broto Wardoyo, Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia