Iran Versus Israel
Semestinya Iran langsung melakukan protes ke Mahkamah Internasional pada saat konsulatnya diserang oleh Israel.
Kekerasan demi kekerasan di Timur Tengah, negeri tempat para rasul diturunkan Allah, seolah main-mainan saja. Tak pernah menunjukkan gelagat henti. Tidak ada rasa aman. Nihil kondisi yang bisa menenteramkan. Kekerasan selalu merebak setiap saat, tanpa pernah memberi peringatan agar rakyat yang tak berdosa siaga menyelamatkan diri.
Iran pada 13 April 2024 malam melakukan serangan udara masif dengan menembakkan sekitar 300 rudal dan meluncurkan drone. Kendati rudal-rudal dan drone itu banyak dirontokkan sebelum menyentuh bumi Israel, dunia tetap cemas. Jangan-jangan ini awal dimulainya perang dunia ketiga.
Sebuah kecemasan yang patut didengar karena enam hari setelah serangan udara Iran tersebut, Israel, pada 19 April 2024 dini hari, juga menyerang Iran dan mengenai kota Isfahan. Iran pun sontak mengeluarkan ancaman mengenai penggunaan nuklir dalam sengketa ini.
Belum lagi ramifikasi dan eskalasi konflik itu, yang bisa melibatkan negara lain. Demikian juga aspek ekonomi yang bisa melumpuhkan ekonomi dunia dan mendatangkan kesengsaraan global.
Baca juga: Impunitas Israel, Kiprah Iran, Ketelantaran Palestina
Secara militer, kekuatan Israel sekarang banyak tergerus oleh konflik terbukanya dengan kelompok perlawanan Hamas di Gaza. Israel juga sudah mulai berhadapan dengan kelompok Hezbollah dari Jordania dan Houthi dari Yaman.
Justifikasi retaliasi
Serangan Iran tersebut dijustifikasi sebagai tindakan bela diri (self-defense) yang memang dimungkinkan oleh Piagam PBB. Maklum, pada 1 April 2024, Israel lebih dulu menyerang Konsulat Iran yang berada dalam wilayah Kedutaan Besar Iran di kota Damaskus, Suriah, yang menewaskan tujuh warga negara Iran, termasuk dua jenderal Iran.
Dalam perspektif hukum internasional, baik serangan Israel ke Kedubes Iran di Damaskus maupun serangan udara Iran ke Israel, keduanya masuk kategori use of force (penggunaan kekerasan), yang sejatinya tidak mendapatkan pembenaran yuridis.
Penggunaan kekerasan hanya diperbolehkan apabila itu dilakukan dengan motif membela diri. Itu pun harus dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB.
Namun, dalam kebiasaan hubungan internasional, sudah jamak dibenarkan dan dipraktikkan prinsip retaliation (tindakan balasan). Dalam konteks ini, ada dua cara yang acap kali dilakukan untuk melakukan tindakan balasan.
Pertama, retorsi (retorsion), yang berarti tindakan balasan yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap negara lain karena ada aksi yang dilakukan oleh negara yang dibalas itu terhadap negara yang melakukan tindakan balasan.
Namun, retorsi ini dilakukan bukan dalam bentuk menggunakan kekerasan.
Retorsi dalam praktik bisa dalam bentuk pengusiran para diplomat. Jika sebuah negara mengusir diplomat negara lain, negara yang diplomatnya diusir tersebut akan membalas dengan mengusir juga diplomat negara tersebut. Ini bukan perbuatan tercela, melainkan lazim digunakan dalam praktik hubungan internasional.
Kedua, tindakan berbentuk reprisal, yang berarti tindakan ilegal yang dilakukan sebuah negara akan dibalas juga dengan tindakan ilegal oleh negara yang diperlakukan dengan tindakan ilegal tersebut.
Kendati rudal-rudal dan drone itu banyak dirontokkan sebelum menyentuh bumi Israel, dunia tetap cemas.
Melecehkan konvensi internasional
Baik tindakan retorsi maupun reprisal keduanya disebut dalam praktik hubungan internasional sebagai tindakan tit for tat. Di sini berlaku prinsip reciprocity (timbal balik). Anda berlaku kasar ke saya, saya juga bisa berlaku kasar ke Anda. Sebaliknya, apabila Anda berlaku baik ke saya, saya pun berlaku baik ke Anda.
Saya tidak termasuk orang yang setuju dalih Iran bahwa ia menyerang Israel dengan alasan bela diri. Masalahnya, mekanisme bela diri sebagaimana yang diatur Piagam PBB cukup berliku.
Saya lebih memilih posisi Iran menyerang Israel dengan dalih reprisal, bukan bela diri. Masalahnya, dalam hukum kebiasaan internasional pun konsep pembelaan diri itu mensyaratkan adanya unsur instantly (seketika).
Artinya, negara yang menggunakan kekerasan dengan dalih pembelaan diri harus melakukan tindakan seketika itu juga pada saat serangan datang. Serangan Israel ke Konsulat Iran berlangsung pada 1 April 2024. Iran membalasnya pada 13 April 2024. Ada waktu jeda beberapa hari. Maka, unsur instan tidak hadir di situ.
Praktik pembelaan diri dengan unsur instantly mulai dipakai dalam kasus kapal Caroline yang memperhadapkan Amerika Serikat dengan Inggris pada abad XIX.
Semestinya Iran langsung melakukan protes ke Mahkamah Internasional pada saat konsulatnya diserang oleh Israel. Alasannya, serangan Israel ke konsulat, apalagi kantor tersebut berada dalam lingkungan kedutaan besar, adalah sungguh-sungguh pelanggaran Konvensi Vienna mengenai hubungan diplomatik tahun 1961.
Kedutaan atau konsulat adalah gedung yang dilindungi oleh kekebalan diplomatik. Tidak boleh disentuh oleh pihak mana pun. Dalam konteks ini, Israel bisa dikategorikan melecehkan konvensi internasional yang diratifikasinya sendiri.
Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan adalah kasus Kedutaan Amerika Serikat di Teheran yang diduduki oleh para mahasiswa ekstrem Iran anti-AS pada 1979. Mereka menyandera 66 diplomat AS selama 444 hari.
AS protes dan mengadukan Iran ke Mahkamah Internasional dengan dasar Konvensi Vienna dalam kaitan dengan perlindungan terhadap diplomat dan bangunan diplomatik tersebut. Pemerintah Iran menangkis tudingan AS dengan mengatakan bahwa pendudukan gedung Kedutaan Besar AS di Teheran tidak dilakukan oleh aparat Pemerintah Iran, tetapi oleh para mahasiswa.
Pemerintah Iran tidak boleh disalahkan, apalagi dimintai pertanggungjawaban mengenai pendudukan tersebut, demikian kata pengacara Iran.
Mahkamah Internasional berpendapat lain. Mahkamah menghukum denda Pemerintah Iran dengan pertimbangan, yang menduduki kedubes dan menyandera para diplomat AS di Teheran memang bukan aparat Pemerintah Iran, tetapi Pemerintah Iran gagal mencegah dan melindungi para diplomat dan gedung Kedutaan Besar AS di Teheran, sebagaimana diatur dalam Konvensi Vienna.
Semestinya Iran langsung melakukan protes ke Mahkamah Internasional pada saat konsulatnya diserang oleh Israel.
Dengan alur kasus ini, dengan mudah kita melihat bahwa ketika Pemerintah Iran berdiam diri tanpa berbuat apa-apa dalam melindungi diplomat dan Kedutaan Besar AS, Mahkamah Internasional menghukumnya. Bagaimana dengan Israel yang resmi sebagai negara yang secara aktif dan agresif menyerang Konsulat Iran? Mahkamah Internasional tentu akan menghukum Israel dengan dasar Konvensi Vienna pula.
Maka, memang sebaiknya Iran mengadukan Israel ke Mahkamah Internasional dengan dalih pelanggaran Konvensi Vienna mengenai hubungan diplomatik tahun 1961. Biar tak menimbulkan aneka penafsiran liar dan ketegangan global.
Apakah Israel juga akan menggunakan dalih retaliasi karena Iran menggempurnya pada 13 April 2024? Tentu alasan yuridis ini sangat lemah dipakai Israel karena ia lebih dahulu menerjang Iran pada 1 April 2024. Israel tidak bisa menggunakan dalih retaliasi.
Mekanisme penyelesaian konflik
Saya lebih memilih mekanisme penyelesaian konflik ini melalui Mahkamah Internasional dibandingkan dengan mekanisme PBB. Masalahnya, AS yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB selalu berpihak pada kepentingan Israel. Sementara itu, penyelesaian melalui mekanisme Majelis Umum PBB hanya menghasilkan resolusi yang bersifat imbauan dan tidak mengikat.
Baca juga: Sikapi Situasi Timur Tengah, Pemerintah Belum Buka Moratorium Penempatan Pekerja
Posisi Indonesia sudah sangat benar. Dari awal, ketika Israel menyerang Konsulat Iran di kota Damaskus, Indonesia sudah mengutuk Israel. Malah, Indonesia dengan tegas tidak mengakui Israel sebagai entitas negara, kecuali jika Israel tunduk pada konsep dan keinginan internasional, yakni solusi dua negara: Palestina dan Israel.
Hamid Awaludin, Mantan Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Belarus