Hari Kartini dan Paradoks Perjuangan Perempuan di Pusaran Krisis Urban
Narasi Hari Kartini kerap kali fokus pada keberhasilan perempuan, tak menyentuh realitas sebagian besar perempuan urban.
Setiap tanggal 21 April, Indonesia merayakan Hari Kartini sebagai simbol kebangkitan perempuan dan perjuangan untuk kesetaraan jender. Sosok Raden Ajeng Kartini menjadi inspirasi berbagai lintas generasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam aspek pendidikan dan kesetaraan.
Namun, di balik euforia perayaan tersebut, terkuak sebuah realitas yang terabaikan menyangkut perjuangan perempuan di tengah krisis urban yang semakin kompleks. Alih-alih menemukan emansipasi yang nyata, perempuan di daerah urban justru terjebak dalam paradoks yang membelenggu mereka dalam ketidakberdayaan.
Krisis urban telah menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi perempuan. Kemacetan yang parah, polusi udara yang mengancam kesehatan, serta keterbatasan akses terhadap fasilitas publik yang layak menjadi tantangan sehari-hari yang harus dihadapi masyarakat dan khususnya perempuan urban yang rentan.
Mereka harus berjuang untuk antre panjang dalam ketidaknyamanan di transportasi umum yang sesak sembari menghadapi risiko pelecehan seksual. Survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2022 mencatat sebanyak 23 persen pelecehan seksual terjadi di transportasi umum dengan korban perempuan.
Baca juga: Kesetaraan dan Keberagaman Jender Setelah 25 Tahun
Namun, di balik masalah infrastruktur yang kasatmata, ada persoalan yang lebih mendasar dan sering kali luput dari perhatian publik. Di satu sisi, krisis urban memperdalam ketimpangan jender dan memperparah marjinalisasi perempuan.
Ketika kota-kota besar dikuasai oleh kepentingan kapital dan pembangunan yang berpusat pada wacana maskulinitas, ruang-ruang publik menjadi semakin tidak inklusif bagi perempuan. Akibatnya, akses perempuan dalam ruang publik menjadi dan terpaksa mengalami diskriminasi spasial.
Di sisi lain, krisis urban juga melahirkan bentuk-bentuk eksploitasi baru terhadap perempuan. Sistem ekonomi urban yang didominasi oleh sektor informal dan industri yang prekaritif sering kali menempatkan perempuan pada posisi yang rentan.
Perempuan urban, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, terpaksa bergelut dengan pekerjaan-pekerjaan yang minim perlindungan dan upah rendah, seperti buruh pabrik, pekerja rumah tangga, atau pekerja seks. Mereka menjadi korban dari sistem yang mengabaikan hak-hak dasar pekerja dan menganggap perempuan sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi demi keuntungan semata.
Tulisan ini hendak mengulas paradoks perjuangan perempuan di tengah gerakan emansipasi yang kian masif di Tanah Air.
Paradoks
Selain masalah di atas, perempuan urban terjebak dalam dilema antara tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab domestik. Mereka diharapkan berkontribusi secara ekonomi bagi keluarga, tetapi pada saat yang sama juga dibebani dengan tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan anak.
Beban ganda ini menciptakan stres yang luar biasa dan berdampak kepada kesehatan mental perempuan. Terlebih lagi, tren pemutusan hubungan kerja yang semakin meningkat akibat otomatisasi berdampak secara khusus pada perempuan urban. Mereka kehilangan pekerjaan secara tidak proporsional dan terpaksa menghadapi kekerasan domestik yang signifikan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengamati bahwa sebagian besar perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung berpikir untuk bunuh diri. Krisis urban juga memperburuk kerentanan perempuan dan menghambat perjuangan mereka untuk kesetaraan.
Dalam situasi ini, narasi Hari Kartini yang kerap kali berfokus pada keberhasilan perempuan dalam menembus sektor-sektor maskulin, seperti politik dan bisnis, justru terkesan elitis dan tidak menyentuh realitas sebagian besar perempuan urban.
Kita merayakan perempuan yang berhasil menjadi CEO perusahaan besar, tetapi lupa pada perjuangan buruh perempuan yang menuntut upah layak dan kondisi kerja yang manusiawi.
Ketika kita merayakan prestasi segelintir perempuan yang berhasil memecahkan glass ceiling (hambatan meningkatkan karier), kita justru mengabaikan fakta bahwa mayoritas perempuan masih terjebak dalam sticky floor, situasi di mana mereka terpaksa bertahan dalam pekerjaan-pekerjaan dengan upah rendah dan minim prospek untuk mobilitas sosial-ekonomi.
Kita merayakan perempuan yang berhasil menjadi CEO perusahaan besar, tetapi lupa pada perjuangan buruh perempuan yang menuntut upah layak dan kondisi kerja yang manusiawi. Ada pengagungan terhadap perempuan yang terjun ke dunia politik, tetapi abai pada suara perempuan akar rumput yang berjuang untuk mendapatkan akses ke layanan dasar, seperti air bersih dan sanitasi.
Lebih jauh lagi, krisis urban juga telah mengikis ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya menjadi jaring pengaman bagi perempuan. Gaya hidup urban yang individualistis dan konsumtif telah melemahkan solidaritas antarperempuan.
Alih-alih saling menguatkan dan mengadvokasi hak-hak mereka, perempuan urban sering kali terjebak dalam kompetisi yang tidak sehat, baik dalam hal karier maupun standar kecantikan yang opresif. Media sosial dan iklan-iklan komersial terus-menerus membombardir perempuan dengan pesan-pesan yang mengukuhkan stereotipe jender dan membuat mereka merasa tidak layak untuk dihargai.
Fragmentasi sosial ini semakin mempersulit perempuan untuk bersatu dan mengorganisasi diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif. Paradoksnya, kota yang seharusnya menjadi tempat perempuan meraih otonomi dan kebebasan justru menjadi penjara yang membelenggu mereka.
Refleksi kritis
Fenomena marjinalisasi perempuan dalam konteks krisis urban tidak terlepas dari sistem ekonomi-politik yang eksploitatif dan patriarkis. Kapitalisme neoliberal yang menjadi arus utama pembangunan kota telah menciptakan relasi kuasa yang timpang.
Logika akumulasi keuntungan sebesar-besarnya sering kali mengorbankan hak-hak buruh, khususnya perempuan buruh, serta mengabaikan dampak sosial dari aktivitas ekonomi.
Perempuan, yang mayoritas bekerja di sektor informal dan industri padat karya, menjadi pihak yang paling rentan terhadap praktik prekarisasi kerja. Sistem ini juga melanggengkan dikotomi antara ranah produktif (publik) dan reproduktif (domestik), dengan perempuan sering kali dilekatkan pada peran-peran pengasuhan dan kerja domestik yang tidak dibayar. Akibatnya, kontribusi ekonomi perempuan menjadi tidak terlihat dan tidak dihargai secara layak.
Merayakan Hari Kartini di tengah krisis urban berarti merayakan perjuangan perempuan dalam segala kompleksitas dan paradoksnya.
Dalam konteks ini, peran negara menjadi krusial dalam melindungi dan memberdayakan perempuan urban. Namun, sering kali regulasi yang ada belum cukup responsif terhadap kepentingan perempuan.
Minimnya perlindungan hukum bagi pekerja sektor informal, di mana perempuan mendominasi, membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan ketidakpastian. Kebijakan urban juga cenderung bias jender, dengan mengabaikan isu-isu seperti keamanan perempuan di ruang publik.
Di tengah kompleksitas krisis urban dan paradoks yang dihadapi perempuan, peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momen untuk merefleksikan kembali makna perjuangan perempuan dalam konteks kekinian. Alih-alih terjebak dalam ritual seremonial yang dangkal, perlu upaya menghidupkan kembali semangat Kartini dalam tindakan yang progresif.
Di sisi lain, perlu ada desakan kepada pemerintah untuk memastikan perlindungan hukum dan jaminan sosial bagi semua pekerja, khususnya perempuan, terlepas dari status kepegawaian mereka. Regulasi ketenagakerjaan harus memperhatikan dimensi jender. Kebijakan urban juga harus dirancang dengan perspektif jender, memastikan akses perempuan terhadap layanan dasar, ruang publik yang aman, serta fasilitas pendukung pengasuhan.
Baca juga: Sekjen PBB: Berinvestasi pada Perempuan, Mempercepat Kemajuan
Lebih dari itu, gerakan perempuan dan transformasi kultural harus terus diperkuat dan diperluas, tidak hanya di tingkat akar rumput, tetapi juga dalam mengawal kebijakan di level kota dan nasional. Kita memerlukan lebih banyak aliansi feminis yang solid, yang mampu mengorganisasi kekuatan kolektif perempuan lintas kelas, lintas sektor, dan lintas isu.
Gerakan perempuan harus berani mempertanyakan sistem yang menindas, menuntut perubahan struktural, serta mengajukan alternatif kebijakan yang responsif jender dan prorakyat.
Pada akhirnya, merayakan Hari Kartini di tengah krisis urban berarti merayakan perjuangan perempuan dalam segala kompleksitas dan paradoksnya. Ini bukan tentang mengagungkan figur Kartini sebagai ikon yang tanpa cela, melainkan memaknai semangatnya dalam konteks kekinian dan merekonstruksi perjuangannya agar relevan dengan tantangan yang dihadapi perempuan urban saat ini. Hanya dengan keberanian untuk mengkritisi, bertindak, dan bersatu, emansipasi sejati bagi perempuan di pusaran krisis urban akan terwujud.
Wida Ayu Puspitosari, Dosen Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya