Manusia Super Indonesia
Bangsa ini membutuhkan banyak manusia super, yang berani mengambil risiko, untuk bergerak bersama mencapai tujuan.
Di tengah-tengah pendaratan bangsa ini pasca-Pemilu Presiden 2024, salah satu ungkapan yang sempat muncul di internet adalah ketidakrelaan bangsa ini ditinggal oleh Joko Widodo sebagai presiden. Sosok ini sudah menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia karena berbagai prestasi yang diciptakannya, mulai dari keberhasilan mengakuisisi saham mayoritas Freeport, pembangunan infrastruktur yang masif, hingga pembangunan citra negara besar, dengan keberanian mengupayakan hilirisasi produk tambang.
Tak bisa juga dilupakan jasanya dalam menjaga supaya terjadi kerukunan antarumat beragama di negeri ini. Orang pernah menyebut beliau sebagai satria piningit atau ratu adil, sosok penyelamat yang memang dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan bangsa ini.
Harapan yang mirip sebenarnya pernah disematkan kepada beberapa presiden, seperti Soekarno, Soeharto, ataupun Megawati Soekarnoputri. Mereka pernah dianggap sebagai tokoh yang akan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan yang dialami.
Namun, waktu berjalan, para pemimpin ini tidak sempurna. Ada cela di sejarah mereka yang sering kali membuat bangsa ini gagal move on dari sikap mengagungkan para pemimpin. Terlalu besar harapan kita kepada seorang presiden. Mereka ini seakan adalah pribadi yang bisa membebaskan kita dari segala perkara, padahal mereka adalah manusia biasa.
Baca juga: Bangsa dan Pemimpin yang Layak Baginya
Selain itu, waktu harus berjalan, dan kepemimpinan mereka harus berlalu. Bangsa ini harus terus-menerus melahirkan pemimpin dalam berbagai tingkatan. Kalau memang demokrasi berjalan dengan baik, bahkan pemimpin itu bisa didapatkan dari tempat-tempat pinggiran, seperti di bantaran Bengawan Solo. Artinya, setiap orang di negeri ini seharusnya berani memimpin dan tak selalu sekadar meletakkan nasib bangsa ini kepada seorang presiden.
Bangsa ini sudah terlalu lama berpikir bahwa dalam banyak hal hidup kita sudah ditentukan oleh dunia Roh (Yang Maha Kuasa, Tuhan, Allah, Dewa) sehingga perjuangan hanya diletakkan ke pundak para pemimpin yang dianggap sebagai sang penyelamat dari Tuhan.
Dalam buku Manusia Indonesia, Mochtar Lubis mengatakan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah percaya takhayul. Dia menulis, ”Karena ini semua manusia Indonesia cenderung menyangka, jika telah dibicarakan, telah diputuskan, dan telah diucapkan niat hendak melakukan sesuatu, maka hal itu pun telah terjadi” (Lubis, 2001: 29).
Demikian pula dengan pemilu. Keputusan memilih presiden-wakil presiden seakan-akan menjadi keputusan yang menyelesaikan perkara. Maka, tiap kali muncul perkara di negeri ini, ”Presidenlah yang salah!” Pemilu seakan menyelesaikan semua masalah dan kita tinggal ongkang-ongkang dan menikmati hasil dari pemilu.
Ada cela di sejarah mereka yang sering kali membuat bangsa ini gagal move on dari sikap mengagungkan para pemimpin.
Kita kehilangan jiwa pejuang saat setiap pribadi menyadari bahwa yang harus menjadi penyelamat untuk bangsanya adalah pribadi masing-masing. Dalam bukunya, Madilog, Tan Malaka menyebut fenomena ini sebagai logika mistika, kecenderungan untuk selalu menghubungkan hal-hal duniawi dengan roh. Manusia akhirnya jatuh kepada keyakinan bahwa pengetahuan itu ada batasnya. Pada batas itu manusia tidak lagi bisa berpikir. Padahal, pengetahuan baru menimbulkan masalah baru, tetapi juga penyelesaian baru yang pada akhirnya akan menjadi masalah lagi (Tan Malaka, 1942).
Hal ini menjadikan bangsa ini cenderung berwatak lemah dan berkarakter kurang kuat. Hasilnya, kita kurang gigih mempertahankan dan memperjuangkan keyakinannya (Lubis, 2001: 34).
Kecenderungan ini harus ditepis supaya manusia Indonesia lahir sebagai pribadi yang mampu berjuang. Dengan cara demikian, manusia perlu berpikir kritis untuk menghadapi setiap tantangan yang terjadi, bukannya lari kepada kecenderungan untuk melemparkan tanggung jawab kepada tangan Tuhan atau orang lain.
Bertuhan dan berjuang
Dalam sejarah filsafat, kecenderungan beriman buta semacam ini pernah menggerogoti masyarakat. Pemikirnya adalah seorang eksistensialis bernama Ludwig Feuerbach yang mengatakan bahwa manusia sering kali menjadi pencipta Tuhan. Kepada Tuhan, mereka menyematkan sifat mahakuasa, mahaluhur, mahatinggi, dan segala sematan tentang kebaikan tanpa batas.
Hal ini membuat manusia bersifat lemah karena merasa diri tidak perlu berjuang lebih untuk mendapatkan kebaikan. Mereka berpikir, ”Biarlah Tuhan yang memiliki kebaikan dan manusia cukup berusaha biasa-biasa saja!”
Kritikan ini salah satunya bermuara kepada sebuah dorongan untuk mengakui bahwa sifat-sifat Ilahi itu seharusnya ada pada diri manusia. Artinya, ”Kesadaran akan Allah adalah kesadaran diri, pengetahuan akan Allah adalah pengetahuan diri” (Feuerbach, 2008, 147).
Pemikiran ini dalam arti tertentu dilanjutkan oleh filsuf eksitensialis lainnya bernama Friedrich Nietzsche dengan konsepnya tentang Übermensch atau konsep tentang manusia super. Dia menyebutnya di dalam karya Thus Spoke Zarathustra. Ia mengontraskan konsep ini dengan ”manusia kelelahan” (man whi is tired) atau ”manusia terakhir” (last man) yang hidup tanpa semangat dan cenderung konformis.
Übermensch mengandaikan manusia yang menggenggam kendali atas takdir mereka sendiri. Mereka tidak menjadi manusia yang menyerahkan takdirnya semata-mata kepada Tuhan, atau pemimpin, atau pihak di luar dirinya, melainkan bergantung kepada dirinya sendiri.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Kepemimpinan Nasional
Dengan cara demikian, manusia berubah dari pribadi yang pasif menjadi pribadi yang aktif, dari pribadi yang ongkang-ongkang sekadar menikmati hasil karya Tuhan atau orang lain menjadi pribadi yang berani mengambil risiko untuk mencapai sesuatu yang dia harapkan. Dia adalah sang manusia super yang melampaui manusia-manusia yang lain.
Dalam bahasa yang sederhana, dia lebih senang berjuang untuk membantu yang lain, daripada membiarkan Tuhan atau orang lain berjuang untuk dirinya. Hal ini mirip dengan ungkapan, ”Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah”.
Bukankah model berpikir ini sekarang asing dari banyak pemikiran masyarakat Indonesia? Ada kesan mendapatkan dari orang lain hasil jerih payah Tuhan/orang lain adalah hal yang menyenangkan dan layak-layak saja didapatkan.
Harga diri sebagai pribadi yang berjuang kemudian mati oleh karena kecenderungan berpikir bahwa kita hanyalah manusia biasa, sementara Tuhan melampaui segala batas. Kita dibunuh oleh imajinasi kita sendiri.
Chairil Anwar menggambarkan semangat juang ini dalam puisinya berjudul ”Diponegoro”. Dalam salah satu barisnya, ia mengatakan, ”Sekali berarti, sudah itu mati, MAJU”. Kalau tidak hati-hati, manusia yang tidak pernah mendorong dirinya sendiri pada akhirnya akan mati tanpa sempat menjadi berarti.
Manusia super Indonesia
Keengganan ditinggal oleh sosok yang bisa diharapkan menjadi penyelamat kiranya adalah kecenderungan yang wajar dilihat dari sudut pandang pemikiran di atas. Di satu sisi, hal ini bisa saja merupakan sebuah apresiasi positif terhadap keberlangsungan hidup bangsa, tetapi di sisi yang lain keengganan ini merupakan sebuah bentuk nyata dari kecenderungan untuk sekadar menikmati hasil karya orang lain.
Jika demikian, bagaimana kita bisa memiliki manusia super Indonesia. Medan perjuangan pada awal abad ke-20 menjadi bukti nyata lahirnya banyak manusia super Indonesia. Saat itu terjadilah dua kenyataan yang lalu melahirkan tokoh-tokoh perjuangan yang tidak mengandalkan orang lain, tetapi berani berdiri dan bergerak bersama sehingga disebut sebagai masa kebangkitan nasional.
Pertama, kenyataan terjajah yang begitu kuat di antara warga bangsa. Perasaan ini semakin kuat salah satunya dengan adanya novel Max Havelaar karangan Multatuli yang menceritakan bagaimana pengalaman terjajah itu terjadi di negeri ini, dan pengalaman itu tidak hanya milik satu atau dua orang, tetapi begitu banyak orang. Pengalaman itu berubah menjadi perasaan senasib sepenanggungan yang menjadi bagian dari perasaan sebagai bangsa.
Medan perjuangan pada awal abad ke-20 menjadi bukti nyata lahirnya banyak manusia super Indonesia.
Kedua, lahirnya politik etis yang memberikan pembelajaran modern bagi bangsa Indonesia melahirkan pribadi-pribadi yang berpikir kritis. Mereka tidak menunggu orang lain untuk bergerak, tetapi melakukan pergerakan dengan cara mereka masing-masing.
Pergerakan melalui terbentuknya berbagai organisasi, seperti Boedi Oetomo, Indische Partij, dan juga Syarikat Islam. Pergerakan melalui dunia pers oleh Tirto Adi Soerjo, Soewardi Soerjaningrat, dan berbagai tokoh lain. Pergerakan melalui dunia pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara dan tokoh lain. Pergerakan melalui organisasi pemuda layaknya Jong Java, Jong Celebes, dan sebagainya merupakan pergerakan yang lahir dari orang-orang yang berani berbuat sesuatu.
Mereka tidak sekadar menunggu Tuhan memberi kemerdekaan. Mereka tidak menunggu bangsa lain menyelamatkan mereka atau memberi mereka kesejahteraan. Mereka memperjuangkan sendiri harkat dan martabat bangsanya.
Apakah tidak ada risikonya? Mereka dipenjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga, dan bahkan mati untuk sebuah perjuangan. Namun, apalah artinya risiko kalau dibandingkan dengan apa yang bisa diperjuangkan dalam kehidupan. Ada rasa bangga yang lahir dari jiwa merdeka orang-orang ini.
Bung Kecil, Soetan Sjahrir, mengatakan dengan lantang, ”Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.” Tan Malaka mengatakan, ”Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.” Benturan bukanlah hal yang layak ditangisi bagi orang yang mau berjuang. Benturan hanyalah hal sepele bagi seorang yang mau menjadi manusia super Indonesia.
Saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk mengakui bahwa logika mistika memiliki efek bagi cara berpikir, bertindak, dan berperilaku bangsa kita. Bangsa ini seakan hanya bisa diperjuangkan oleh segelintir orang, sementara sebagian orang yang lain memilih untuk mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan dan misi pribadinya saja.
Teori Feuerbach tentang Tuhan sebagai proyeksi ataupan Nietzsche tentang Übermensch bertujuan membangunkan jiwa yang tunduk kepada kemapanan dan ketidakmauan bergerak. Bangsa ini membutuhkan semakin banyak orang yang bergerak bersama mencapai suatu tujuan tertentu. Layaknya pada awal abad ke-20, kita didorong oleh mimpi akan kemerdekaan; pada tahun-tahun ini kita didorong oleh mimpi untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
Baca juga: Impian Indonesia Emas
Siapa pun presidennya, setiap orang tetap harus berjuang. Medan laga kita memang ada di perpolitikan, tetapi medan laga juga ada di dunia pendidikan. Di sana ada guru-guru yang berjuang untuk menjadi guru-guru yang hebat yang mendidik manusia-manusia merdeka yang berani berjuang.
Medan juang ada juga di dunia kesenian yang berjuang agar kesenian bangsa kita layak untuk bersanding sejajar dengan kesenian tingkat dunia. Medan juang ada juga di dunia perbankan, dengan adanya orang-orang yang memperjuangkan kesejahteraan bagi semakin banyak pihak.
Medan juang ada juga di dunia IT (teknologi dan informasi). Ada banyak pihak yang sedang mengupayakan agar media ini bisa menjadi media yang menghasilkan kemajuan ekonomi dan pengetahuan bagi banyak warga negeri ini.
Jumlahnya bisa ditambah dan medan juangnya bisa disesuaikan dengan medan juang anda masing-masing. Sudah saatnya meng-aku (menjadikan milikku) perjuangan ini sebagai perjuangan kita masing-masing.
Negeri ini sudah diwariskan kepada kita sebagai bangsa yang merdeka dengan segala cacat cela dan kelebihannya. Negeri yang sama sedang coba kita rawat dengan harapan bisa kita wariskan sebagai bangsa yang lebih baik bagi generasi berikut. Maka, setiap pribadi tidak hadir di negeri ini sekadar sebagai penonton dan penikmat. Setiap pribadi hadir di negeri ini sebagai pejuang demi kebaikan bangsa.
Sutan Sjahrir meninggalkan pesan penting, ”Kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tetapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.” Setiap kita adalah manusia super Indonesia, maka mari berkarya untuk negeri ini.
Martinus Joko Lelono, Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Instagram: mjokolelono