Idul Fitri, Kegembiraan Beragama dan Berpolitik
Idul Fitri dan mudik Lebaran, hari-hari mengulurkan tangan guna menaikkan indeks kebahagiaan orang-orang dalam beragama.
Sejak dulu, sering disampaikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, yaitu masyarakat yang di dalamnya kepercayaan terhadap agama melapisi rasionalitas dan tindakan mereka.
Secara formal, ini terlihat dari ”Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila. Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Pernyataan tersebut bukan hanya pernyataan legal formalistik, melainkan juga kenyataan empirik. Di Indonesia modern sekarang, peran agama cukup sentral.
Data Varkey Voundation (Generation Z: Global Citizen Survey, 2017) menunjukkan, tak kurang dari 93 persen dari generasi Z (usia 15-21 tahun) di Indonesia memandang komitmen pada agama sebagai sumber kebahagiaan (Nandini, 2017 dan Wahid, 2024).
Angka ini lebih tinggi dari rata-rata dunia (44 persen) dan lebih tinggi dibandingkan dengan Brasil (70 persen), China (70 persen), Turki (71 persen), dan Nigeria (86 persen).
Baca juga: Renungan Idul Fitri
Kenyataan tersebut menunjukkan agama tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kedudukan Islam sebagai agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia (87 persen) pasti cukup dominan.
Ekspresi keberislaman menyebar dan tampak di mana-mana. Tak hanya terlihat melalui semarak pembangunan masjid, tetapi juga melalui gegap gempita pengajian.
Berdasarkan Sistem Informasi Masjid (Simas) Kementerian Agama RI, tahun 2022 ada 299.644 masjid, 364.085 mushala, dan 54.375 majelis taklim di Indonesia.
Ini belum menambahkan pengajian lain yang mengiringi hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi SAW, Isra Miraj, Idul Adha, dan Idul Fitri.
Idul Fitri
Rasanya tidak ada hari raya seramai Idul Fitri di Indonesia. Keramaian tidak hanya pada pelaksanaan ritual Idul Fitri yang hanya sebentar, tetapi juga pada kegiatan yang menyertai Idul Fitri tersebut, yang membutuhkan waktu berhari-hari.
Misalnya, untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar di kampung halaman, ratusan ribu orang bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain melalui darat, laut, dan udara. Di mana-mana kita menyaksikan tumpukan manusia, mulai dari bandara, terminal, hingga pelabuhan.
Kementerian Perhubungan memperkirakan terjadinya peningkatan pergerakan masyarakat secara nasional pada Lebaran 2024 hingga 71,7 persen, atau sebanyak 193,6 juta orang. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan Lebaran 2023 yang sebanyak 45,67 persen atau 123,8 juta orang.
Survei Kementerian Perhubungan juga menunjukkan, daerah asal perjalanan terbanyak adalah Jawa Timur sebesar 16,2 persen (31,3 juta orang), disusul Jabodetabek sebesar 14,7 persen (28,43 juta orang) dan Jawa Tengah sebesar 13,5 persen (26,11 juta orang).
Adapun daerah tujuan terbanyak adalah Jawa Tengah sebesar 31,8 persen (61,6 juta orang), Jawa Timur sebesar 19,4 persen (37,6 juta orang), dan Jawa Barat sebesar 16,6 persen (32,1 juta orang).
Sekiranya agama sudah berhasil menyatukan Indonesia, jangan sampai perebutan sumber daya politik kekuasaan berhasil memorak-porandakan Indonesia.
Sejauh yang bisa dipantau, antusiasme masyarakat untuk pulang ke kampung halaman dari tahun ke tahun terus meningkat dengan berbagai tujuan.
Hal itu, di antaranya, pertama, merayakan kemenangan. Jika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya menjadikan Idul Fitri sebagai perayaan atas kemenangan umat Islam dalam Perang Badar, umat Islam yang pulang ke kampung halaman bisa menjadikan Idul Fitri sebagai perayaan kemenangan mereka dalam jihad mencari nafkah di tanah rantau.
Sebab, demikian Jamal al-Banna dalam kitab Al-Jihad, jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, melainkan untuk hidup di jalan Allah (anna al-jihad al-yaum laisa an namuta fi sabil Allah wa lakin an nahya fi sabil Allah).
Setelah satu tahun para pencari nafkah berburu rezeki di tanah rantau, mudik Lebaran adalah momen berbagai rezeki kepada sanak keluarga dan orang-orang miskin.
Seperti para sahabat Nabi SAW yang berbagi barang ganimah pascaperang, para pencari nafkah berbagi harta dengan lingkungan terdekatnya di kampung halaman, baik berupa zakat maupun sedekah atau hadiah.
Jika zakat adalah wajib, sedekah adalah sunah. Jika itu terlaksana, niscaya bisa membahagiakan fuqara’-masakin sekurang-kurangnya pada saat Idul Fitri.
Dengan perkataan lain, Idul Fitri dan mudik Lebaran adalah the days of extending hands, hari-hari mengulurkan tangan untuk menaikkan indeks kebahagiaan orang-orang dalam beragama, ber-Islam.
Membantu orang miskin dibutuhkan karena hingga Maret 2023, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia cukup besar, yaitu 9,36 persen atau 25,90 juta orang.
Kemiskinan di Indonesia pun masih berwajah perdesaan. Persentase penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2023 adalah 12,22 persen atau 14,16 juta orang. Ini lebih besar dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di perkotaan, yaitu 7,29 persen atau 11,74 juta orang. Dengan demikian, mengarahkan bantuan ke desa-desa cukup relevan.
Kedua, Idul Fitri adalah ruang perjumpaan kemanusiaan lintas agama. Idul Fitri yang dilanjutkan dengan acara halalbihalal dalam tradisi Indonesia mengukuhkan semangat persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyah), persaudaraan sesama warga negara (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwwah islamiyah).
Jika shalat Idul Fitri adalah ritual peribadatan komunal umat Islam, halalbihalal adalah aktivitas sosial yang bersifat lintas iman. Dalam halalbihalal, semuanya bergembira dan riang. Tidak ada sekat pembatas karena yang non-Islam juga merayakannya dengan riang.
Sekiranya agama sudah berhasil menyatukan Indonesia, jangan sampai perebutan sumber daya politik kekuasaan berhasil memorak-porandakan Indonesia.
Mungkin karena itu, dalam konteks kewargaan, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Banjar, Jawa Barat, pada 2019 memutuskan bahwa orang-orang Indonesia yang tidak memeluk Islam adalah warga negara (muwathinun) yang setara dengan warga negara lain.
Semua kita setara di pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Fenomena ”war takjil”
Kegembiraan tidak hanya berlangsung saat Idul Fitri dan halalbihalal, tetapi juga saat menjalankan ibadah puasa.
Ramadhan 2024 menghadirkan fenomena baru, yaitu war takjil: menyerbu makanan-minuman takjil Ramadhan; bukan hanya oleh orang Islam, melainkan juga oleh mereka yang non-Islam, untuk menyemarakkan kehidupan keberislaman sepanjang Ramadhan.
Dengan penuh kelakar, Pendeta Steve Marcel mengatakan, ”Dalam beragama kita toleran, tetapi dalam takjil kita duluan” (Masykur: 2024).
War takjil adalah fenomena khas Indonesia. Sulit kita menyaksikan fenomena ini di negeri-negeri Muslim lain.
Walau tampak pragmatis, fenomena war takjil memiliki dua makna. Pertama, kegembiraan dalam menjalankan ajaran agama. Di tengah kecenderungan sebagian umat Islam yang ekstrem dalam beragama, menghadirkan keberislaman yang riang dan gembira tentu dibutuhkan.
Baca juga: ”War” Takjil yang Meluruhkan Sekat SARA
Sebab, Islam memang melarang ekstremisme dalam beragama. Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Iyyakum wal-ghuluwwa fi al-din (Janganlah kalian ekstrem dalam beragama).”
Kedua, war takjil mengindikasikan telah terjalinnya hubungan harmonis antara umat Islam dan umat agama lain di Indonesia. Sekiranya tak ada hubungan harmonis yang menjadi prakondisinya, tak mungkin kita bisa menyaksikan fenomena war takjil ini.
Hubungan antarumat beragama di Indonesia memang berlangsung cukup baik. Indonesia yang plural berkali-kali terancam konflik, tetapi berkali-kali juga konflik dan perselisihan bisa diredam.
Akhirnya, jika kita bisa beragama secara riang gembira, seharusnya kita juga bisa riang gembira dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan politik praktis.
Sekiranya agama sudah berhasil menyatukan Indonesia, jangan sampai perebutan sumber daya politik kekuasaan berhasil memorak-porandakan Indonesia.
Abdul Moqsith Ghazali,Katib Syuriyah PBNU Periode 2022-2027; Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah