Nestapa Demam Berdarah
Diprediksi prevalensi dan kasus DBD akan terus naik hingga Mei 2024.
Studi paleopatologi menegaskan, penyakit yang menyebar di berbagai belahan bumi modern sekarang ini merupakan jelmaan penyakit dari era purba berjuta tahun lalu.
Sementara itu, morfologi Homo sapiens serta fase kebudayaan mengalami perubahan secara sangat lambat (evolutif) dan nyaris tidak signifikan. Demikian pula makhluk non-Homo sapiens sebagian ditengarai sebagai predator manusia dalam ragam ritme dan sepak terjangnya menyerang biologi manusia atas nama prinsip hidup.
Hewan dan manusia diuntungkan atau manusia menjadi korban kerugian kesehatan, telah lama sekali saling mengenali sedari zaman paleolitikum. Kemudian disusul munculnya terminologi mutualisme, komensalisme, dan parasitisme.
Pembacaan dan pemetaan dunia anthropos terhadap wilayah penyakit telah dimulai sejak diperkenalkannya etnomedisin yang berkaitan dengan sistem budaya penyembuhan dan parameter pengetahuan penyakit. Berbagai konstruksi bermakna lintas budaya dapat dilihat dalam prosedur biomedis epidemiologi (Kleinman, 1980).
Baca juga : Kasus DBD Masih Naik, Hati-hati Penularan Saat Mudik Lebaran
Analisis kultural mengacu pada kekuatan-kekuatan yang berkaitan dengan seluk-beluk budaya dan adaptasi manusia terhadap transisi lingkungan fisik dan sosial. Akibat logis kekerabatan dan interaksi tersebut, lahirlah konsep sehat atau sakit dari sisi public health.
Para antropolog memberikan sketsa bahwa realitas sakit dan sehat merupakan pusat budaya dari entitas biologis Homo sapiens dan makhluk sosial dalam kerangka kerja kesehatan masyarakat secara interdisipliner dan komprehensif.
Bukti historiografi mengindikasikan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit purba. DBD sudah ada sejak zaman neolitikum dan nyamuk selaku agen virus dengue telah menjadi parasit penyerang yang mematikan dan mempermainkan nasib manusia (psikoanalisis) yang dengan awetnya membuat ancaman-ancaman terhadap kesehatan manusia.
Demam berdarah adalah arbovirus yang ditularkan oleh artropoda, yang telah merepotkan sekitar 110 negara di dunia, termasuk Indonesia (tertinggi kasus DBD-nya di Asia Tenggara). Menurut Saeed dan Asif (2020), penyakit ini pertama kali dikenal dengan nama dunga dan kemudian berganti nama menjadi dengue.
Bukti keganasan Aedes Aegypti bisa dilihat dari 627 kasus DBD di Jakarta pada awal 2024. Diprediksi prevalensi dan kasus DBD akan terus naik hingga Mei 2024. Per 1 Maret 2024 terdapat hampir 16.000 kasus di 213 kabupaten/kota di Indonesia dengan 124 kematian (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2024).
Nyamuk dan perairan
Menurut SS Hegde (2019), demam berdarah adalah salah satu penyakit paling berbahaya bagi manusia; dan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan lingkungan dan masyarakat adalah munculnya patogen baru pada manusia dan tanaman. Virus yang bersifat patogen terhadap manusia terus menjadi faktor penyebab penyakit dan kematian yang signifikan di seluruh dunia.
Siklus hidup nyamuk dominan di perairan dan ditentukan oleh air. Air adalah sumber kehidupan bagi nyamuk dalam bermetamorfosis, mulai dari fase bertelur (hasil isapan darah manusia yang mengandung protein), menetas jadi larva, menjadi pupa, hingga dewasa.
Diprediksi prevalensi dan kasus DBD akan terus naik hingga Mei 2024.
Dari pembacaan prediksi perilaku nyamuk oleh antropolog (culture forecast), nyamuk lebih nyaman berdekatan dengan manusia. Ada histori hidup berdampingan selama jutaan tahun dengan target tunggal, yakni darah manusia sebagai sumber makanan nyamuk Aedes aegypti untuk keperluan bertelur.
Hebatnya, nyamuk ini difasilitasi antena di kepala yang sanggup mendeteksi pergerakan manusia secara akurat untuk kemudian menggigit dan mengisap darahnya.
Temuan lain, nyamuk Aedes aegypti tidak sekuat Anopheles dalam hal jarak terbang sehingga memungkinkan nyamuk ini tak jauh-jauh dari manusia dan lingkungannya. Daya jelajah terbang Aedes aegypti dalam genus Aedes maksimal hanya 100 meter, dengan lama hidup nyamuk dewasa 21-28 hari.
Keunikan Aedes Aegypti, adalah tak memiliki hasrat memilih perairan yang kotor sebagai habitat. Mereka memilih air bersih kontra sinar matahari, seperti kaleng bekas, kontainer, vas bunga, bak mandi, dan botol bekas untuk mereka tinggali, atau sebatas nomaden dalam berkembang biak.
Perilaku nyamuk diduga hasil seleksi alam saat perkampungan mereka sebagai habitat asli/alamiah (rawa, sungai mati, genangan air permanen, dan lainnya) digusur oleh pembangunan dan pengembangan ruang publik untuk manusia, serta gedung perkantoran, hotel, sarana transportasi udara dan darat, serta infrastruktur destinasi wisata, dan seterusnya.
Penambahan populasi manusia setiap waktu mempermudah nyamuk ini menemukan manusia via radar biosensoriknya yang canggih, menyebabkan kelas insekta ini kondusif berkembang biak melebihi deret ukur perkembangan famili Culicidae lainnya, khususnya ordo Diptera.
Penyebaran penyakit DBD ini diperburuk lagi oleh belum cakapnya manusia menyikapi lingkungan ekologis dalam relasi ruang kesehatan masyarakat dengan makhluk hidup lain yang juga memiliki hak hidup sebagai warga Planet Bumi.
Hal ini menjadi bumerang yang merugikan kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya serta menciptakan peradaban sakit secara reguler, dan mengancam jiwa. Negara dan masyarakat lupa pesan Lalonde (1974) terkait empat faktor yang berhubungan dengan kesehatan manusia, yakni biologi manusia, lembaga pelayanan kesehatan, lingkungan, dan gaya hidup.
Menurut Susi Rohmawati dkk (2019), gejala penyakit ini muncul tiba-tiba, ditandai oleh demam, pusing, nyeri otot, kehilangan nafsu makan, dan berbagai tanda/gejala lain. Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berhubungan dengan jaringan normal atau gangguan fungsi, dengan onset mendadak atau lambat dan intensitas ringan hingga berat, berlangsung kurang dari tiga bulan.
Negara dan masyarakat lupa pesan Lalonde (1974) terkait empat faktor yang berhubungan dengan kesehatan manusia, yakni biologi manusia, lembaga pelayanan kesehatan, lingkungan, dan gaya hidup.
Peran AI
Untuk mendeteksi nyamuk Aedes Aegypti, selama ini digunakan algoritma pembelajaran mesin guna menemukan habitat nyamuk. Di beberapa negara juga digunakan kecerdasan buatan (AI), tetapi tidak banyak membantu karena belum memadainya perangkat teknologinya dari A hingga Z.
Banyak kalangan berharap pada pengembangan teknologi AI untuk menemukenali nyamuk Aedes aegypti serta perilaku terbangnya yang acak dan kebiasaan tak terduga lain.
Masyarakat perlu diperkenalkan kepada cara mengatasi nyamuk Aedes aegypti dengan pendekatan ruang waktu, tempat, dan orang (epidemiologis).
Melalui berbagai sumber informasi, masyarakat memahami bahwa nyamuk Aedes aegypti aktif mencari sasaran di pagi hingga sore hari, kadang malam. Mereka juga paham, setiap tempat yang berpotensi terisi air bisa menjadi ’permukiman’ yang tepat bagi Aedes aegypti untuk beristirahat sembari menyiapkan si betina bertelur.
Orang yang menjadi sasaran untuk diisap darahnya adalah mereka yang berada di lingkungan yang tak aman (unsafety) dan minim amdal.
Kita perlu semacam rekayasa sosial untuk menyadarkan bahwa DBD bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan, akademisi, pemangku adat, atau lainnya, melainkan juga seluruh lapisan sosial masyarakat.
Dalam konstruksi teoretis Irwin M Rosenstock (1950), The health belief model (HBM), orang akan melakukan upaya preventif oleh adanya ekspektasi (harapan), ada manfaat, memiliki perasaan rentan terhadap ancaman virus dengue.
Individu atau keluarga akan melakukan tindakan jika merasa akan lebih parah kesehatannya jika tak melakukan upaya pencegahan, tetapi juga menyadari akan hambatan untuk melakukannya.
Teori ini juga menyarankan melakukan pemodelan lingkungan sebagai variabel pendukung atau penghambat, ditambah dengan isyarat-isyarat untuk bertindak (internal/eksternal). Selanjutnya, efikasi diri adalah keyakinan individu terhadap kapasitasnya untuk bertindak sesuai kebutuhan guna mencapai tujuan tertentu.
Dari aspek antropologi, orang ngotot melakukan sesuatu karena didorong konsep nilai (values) serta berkaitan dengan hal baik dan penting. Ini relevan dengan motivasi individu (Joel Robbins, Julian Sommerschuh, 2016).
Koentjaraningrat merujuk pada nilai sebagai unsur budaya sehingga manusia senantiasa aktif bertindak berdasarkan nilai-nilai sebagai struktur budaya. Bapak Antropologi Indonesia itu menegaskan, pengetahuan manusia mesti digunakan untuk mempertahankan hidup.
Namun, hingga kini prevalensi DBD tak turun-turun karena lemahnya pengawasan serta ketiadaan reward and punishment.
Solusi pada unit terkecil
WHO merespons demam berdarah dengan cara mendukung negara-negara dalam konfirmasi wabah, melalui jaringan laboratorium yang berkolaborasi, memberikan dukungan teknis dan panduan untuk pengelolaan wabah DBD yang efektif, dan seterusnya.
Tampak skema ini sulit diterapkan di negara berkembang karena perbedaan persepsi dan adat-istiadat, khususnya dalam rekayasa perubahan perilaku.
Indonesia beruntung telah memiliki sentra-sentra administrasi pemerintahan di level terbawah, seperti RW dan RT.
Ditambah lagi dengan sokongan puskesmas, pustu, posyandu, posbindu, dasa wisma, kader, majelis taklim, kerukunan ibadah minggu, beserta komunitas kondusif lainnya.
Selain itu, juga ada kebijakan paksaan (force), seperti peraturan gubernur atau bupati/wali kota tentang penanganan DBD. Pendekatan ini terpaksa dilakukan karena kurang efektifnya pendekatan persuasif. Namun, hingga kini prevalensi DBD tak turun-turun karena lemahnya pengawasan serta ketiadaan reward and punishment.
Baca juga : Hidup dengan DBD
Saatnya kita bergerak dari unit terkecil dalam penanganan DBD, melalui peraturan di tingkat yang lebih bawah, seperti dusun atau RW RT! Merekalah yang berjarak sangat dekat dengan masyarakat oleh intensitas perjumpaan dan komunikasi, memahami utuh problematika kesehatan masyarakat secara anatomik, serta menyelami perilaku tertutup dan perilaku terbuka warganya.
Cara ini diharapkan dapat menurunkan prevalensi dan angka kasus DBD di Indonesia, melalui penguatan sistem regulasi di tingkat akar rumput. Pepatah Confucius: The man who removes a mountain begins by carrying away small stones!
Muhammad ArsyadRahman, Doktor Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar