Kekuatan udara sangat menentukan dalam perang modern. Kekuatan udara yang superior membantu RI menjaga stabilitas.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Presiden Joko Widodo ingin agar TNI Angkatan Udara semakin kuat. Namun, hal itu bukan untuk berperang dan menakuti musuh, melainkan untuk menjaga stabilitas kawasan.
Pesan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo setelah melantik Marsekal Mohamad Tonny Harjono sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara di Istana Negara, Jakarta, Jumat (5/4/2024). Presiden ingin agar TNI AU lebih berperan menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.
Pesan Presiden Joko Widodo bermakna penting karena wilayah Indonesia sangat strategis, yang justru karena itu, punya potensi terlibat dalam konflik di kawasan. Indonesia, seperti diungkapkan Wakil Menteri Pertahanan M Herindra dalam rapat pimpinan TNI AU pada bulan Februari lalu, berpotensi terlibat dalam perang Indo-Pasifik.
Di bagian utara, Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada kondisi potensi konflik Laut China Selatan, Semenanjung Korea, serta perang China dan Taiwan. Sementara di bagian selatan, Indonesia dihadapkan pada adanya pakta keamanan trilateral antara Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat.
Kekuatan nasional di udara adalah faktor menentukan dalam perang modern.
Titik panas perang dan pangkalan militer sejumlah negara mengharuskan Indonesia memiliki kekuatan militer yang tak hanya punya efek deterrent atau menimbulkan daya gentar, tetapi juga kemampuan untuk menjaga stabilitas kawasan. Di sisi lain, kebijakan Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif membuat negara ini tidak punya aliansi militer dengan negara mana pun yang siap sedia membantu jika terjadi perang.
Dengan demikian, militer Indonesia harus benar-benar kuat dan mandiri. Bila lemah, Indonesia memang bisa menjadi pecundang di kawasan.
Upaya memperkuat kekuatan militer Indonesia dilakukan dalam setiap periode pemerintahan. Selama 10 tahun periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran belanja pertahanan Indonesia meningkat setiap tahunnya.
Namun, dalam rentang 20 tahun, dari tahun 2002 hingga 2022, rasio belanja militer Indonesia selalu di bawah 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Seperti halnya negara tetangga, ke depan tampaknya Indonesia perlu menaikkan rasio belanja militer menjadi 1-2 persen dari PDB.
Kita patut mengapresiasi kenaikan belanja pertahanan dari tahun ke tahun. Belanja sejumlah alutsita modern untuk matra udara menunjukkan bahwa negara memang mendukung semakin kuatnya TNI AU. Tahun 2026, Indonesia bakal kedatangan pesawat tempur Rafale. Tahun berikutnya, Indonesia, menurut rencana, mendapatkan pesawat tempur generasi 4.5, F-15EX.
Presiden Soekarno dalam pidato HUT Ke-9 TNI AU tahun 1955 pernah mengatakan bahwa kekuatan nasional di udara adalah faktor menentukan dalam perang modern. Meski bukan untuk tujuan berperang dan menakuti negara lain, kekuatan udara yang superior dapat membantu Indonesia menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.