Revitalisasi Pramuka sebagai Ekstrakurikuler Pilihan
Pramuka perlu mencari format baru agar mendapatkan minat dari siswa dan berkompetisi dengan ekstrakurikuler lainnya.
Oleh
ROMEYN PERDANA PUTRA
·3 menit baca
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 menempatkan Pramuka sebagai ekstrakurikuler, wajib disediakan oleh sekolah. Namun, Pramuka bukan lagi menjadi ekstrakurikuler wajib bagi siswa, melainkan pilihan alias sukarela. Keterangan siaran pers Kemendikbudristek mengenai hal ini juga menjelaskan model blok yang mewajibkan perkemahan, kini menjadi tidak wajib.
Kebijakan ini tentu menimbulkan pertanyaan apabila dalam satu sekolah tersebut tidak ada yang tertarik mengikuti ekstrakurikuler Pramuka, apakah sekolah tetap menyediakan? Apalagi, dalam sejarah panjang Pramuka yang sudah berumur lebih dari 62 tahun, ekstrakurikuler Pramuka terus mengalami kemunduran.
Dalam perjalanannya, kegiatan ekstrakurikuler Pramuka juga pernah mengalami tragedi 10 nyawa hilang akibat kelalaian pembina Pramuka. Tragedi ini menimpa para siswi SMPN 1 Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tengah mengikuti susur Sungai Sempor dalam kegiatan Pramuka pada 2020.
Tiga pembina pramuka divonis 18 bulan hukuman penjara karena dinilai terbukti lalai dan alpa hingga menghilangkan nyawa 10 siswi. Walaupun dalam hal ini, pengamat sangat menyayangkan 254 peserta didik Pramuka hanya diawasi oleh tiga pembina.
Tragedi seperti itu bisa memengaruhi minat siswa mengikuti ekstrakurikuler Pramuka. Faktor lain yang memengaruhi berkurangnya minat siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, selain kurangnya inovasi Pramuka dalam atribut simbol, pencapaian, juga belum menemukan hal-hal baru terkait penggunaan alat atau gawai kekinian.
Pengalaman tragedi tersebut tidak saja membuka mata penyelenggara sekolah untuk kembali mempertimbangkan unsur keamanan, tetapi juga merevitalisasi Pramuka sebagai ekstrakurikuler dengan sejarah panjangnya sebagai pengasah skill peserta didik di sekolah menengah.
Kegiatan Pramuka sejatinya mampu mengeratkan anak bangsa yang beraneka suku melalui pembelajaran berbasis kompetensi dan kapasitas di luar ruang. Kepanduan zaman kini dilabeli pengembangan kapasitas atau pembentukan semangat tim (capacity building dan team building). Pramuka bercita-cita mengajarkan life hack (trik/ide kreatif untuk memecahkan permasalahan sehari-hari), melatih kemandirian, morse, dan semafor sebagai komunikasi era Lord Robert Baden-Powell.
Pendekatan kepanduan lahir dari era perang sehingga kepanduan banyak mengadopsi pendekatan militeristik baik dari atribut maupun simbol pelatihannya. Pramuka kini juga dianggap peninggalan zaman dahulu karena tidak mengadopsi teknologi dan ketinggalan zaman, selain lahir dari peminatan kepada kemampuan bertahan hidup di alam bebas.
Kebijakan sekolah merdeka
Layaknya kebudayaan, warga tropis tidak memiliki mentalitas untuk memperbarui hal-hal kolot menjadi terbarukan. Media berita daring melansir berita bertajuk utama: Pramuka tidak menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah. Bagi generasi 1970-an, judul seperti ini memantik kegundahan, khawatir kelak akan menjadikan peserta didik lembek dan rebahan.
Kegiatan Pramuka sejatinya mampu mengeratkan anak bangsa yang beraneka suku melalui pembelajaran berbasis kompetensi dan kapasitas di luar ruang.
Para gen X, dikenal sebagai angkatan pendobrak Reformasi 1998, ditempa dengan risiko-risiko: tawuran antarsekolah, dipalak preman, bergegas dengan angkot, KRL, dan bus yang berjejal penuh penumpang. Apa kira-kira keluaran dari sekolah tanpa perundungan dan aktivitas menantang? Apa kira-kira hikmah yang akan dipetik dari sekolah yang melulu memproteksi diri dari konflik dan permasalahan?
Terkait tidak diwajibkannya mengajarkan dan melatih kepramukaan kepada peserta didik, menegaskan bahwa Kemendikbudristek benar-benar bertransformasi dari metode kebijakan top down menuju sekolah swasta nasional seperti layaknya sekolah luar negeri.
Mazhab madrasah, sekolah, pesantren, dan/atau kampus bukan lahir dari instruksi presiden atau sekolah inpres, melainkan perjalanan ibadah para penyebar ilmu agar mereka memperoleh pahala tiada putus hingga ganjarannya surga. Ini berbanding dengan upaya pemerintah yang ingin menjalankan mandat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kompleksnya target pendidikan di Indonesia dengan sasaran mencerdaskan, menyejahterakan, dan mendamaikan kehidupan berbangsa menyebabkan sulit untuk menggariskan keputusan seragam. Filsafat ini mungkin perlu dikolaborasikan antara sekolah dan peserta didik.
Pada ujungnya ekstrakurikuler Pramuka tidak lagi mendapatkan privilese di mata siswa. Pramuka wajib diperbarui agar kembali diminati peserta didik dan berkompetisi dengan ekstrakurikuler lainnya dalam menarik hati penerima manfaatnya.
Sulit bagi sebuah kementerian untuk menetapkan bahwa mereka tidak lagi mencampuri teknis operasional sekolah dengan beragam dan kompleksnya kebutuhan peserta didik masing-masing. Formula merdeka dalam Kurikulum Merdeka memang kadang belum mampu menjawab kebiasaan sekolah untuk menerima mandat itu tanpa adanya bantuan, pendampingan, dan arahan dari pusat.
Kegagapan sekolah untuk mencari pola kemandirian yang dituntut oleh kementerian ini sudah terjadi. Belajar dari peraturan menteri ini, terlepas dari muatan politisnya, apakah sekolah boleh membawa model kepanduan yang tidak melulu mengacu kepada pakem kepanduan Pramuka? Apakah kemasan Pramuka terlalu kental muatan feodalistiknya dan berisiko bencana lebih besar dari ekstrakurikuler lainnya (seperti tata boga, bela diri, dan atau olahraga)?
Kata ”passion” kini menjadi kosakata peserta didik gen Z dalam engagement (keterlibatan) mereka. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang belum memiliki keistimewaan akan opsi-opsi kegairahan. Kegairahan kepada Pramuka tidak lagi harus dipaksakan, kalaulah tiap Rabu sekolah mewajibkan seragam Pramuka, peserta didik harus paham makna dari seragam yang mereka kenakan.
Romeyn Perdana Putra, Peneliti Yunior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)