Mengalahkan Kusta
Penting, merangkul penderita kusta di tengah masyarakat dan memberi layanan pengobatan dengan kasih sayang yang sama.
Indonesia berada di posisi ketiga teratas negara dengan jumlah penyandang kusta terbanyak, setelah India dan Brasil. Masih terdapat 113 kabupaten/kota di Indonesia tempat kusta bercokol, terbesar di Papua, Papua Barat, Maluku Utara, dan Jawa Timur.
Pada 1995, Bunda Teresa yang dikenal lewat pelayanannya terhadap penderita kusta yang terpinggirkan di Kalkutta, India, berbagi pesan mengharukan, ”Penyakit terbesar hari ini bukanlah kusta atau TBC, melainkan perasaan tidak diinginkan.”
Hari ini, dalam misi transformasi kesehatan menuju Indonesia Emas 2045, Kementerian Kesehatan RI—berpedoman pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ketiga, yaitu ”menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia”—dengan penekanan ”bagi semua orang”, berkomitmen melayani kesehatan masyarakat sehingga tidak ada seorang pun merasa terabaikan atau tidak diinginkan, termasuk para penderita kusta.
Baca juga : Kusta, Penyakit Kuno yang Masih Mengintai Indonesia
Dari waktu ke waktu
Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Dalam tulisannya On the Age of Leprosy, Xiang Y Han dan Francisco J Silva menyatakan kusta telah menyebar di antara manusia selama sekitar 100.000 tahun terakhir. Bahkan, kusta tercatat dalam pelbagai kebudayaan kuno, termasuk di kitab suci agama Islam, Kristen, dan Hindu.
Pada 1873, ilmuwan sekaligus dokter asal Norwegia, Gerhard Armauer Hansen, berhasil mengidentifikasi Mycobacterium leprae, bakteri penyebab kusta. Bakteri ini memiliki kemampuan unik menyerang sistem saraf tepi manusia, menyebabkan individu tidak memiliki kesadaran sensorik dalam mendeteksi cedera pada kulit, seperti saat menginjak paku.
Luka-luka ataupun infeksi masif bakteri ini kemudian menggerogoti sistem saraf tepi, yang kerap mengakibatkan kecacatan, bahkan kebutaan, penderitanya.
Dalam sejarahnya, kusta ditakuti orang karena menular dan sulit disembuhkan. Bahkan, miskonsepsi kusta disebabkan kutukan berakibat penderitanya diasingkan masyarakat. Bagaimana tidak, kuman kusta menarget kulit, lapisan terluar yang memperkenalkan seseorang kepada dunia.
Bayangkan, kondisi yang menyebabkan bercak-bercak perubahan warna atau bintil-bintil di wajah seseorang mampu mendorong orang lain menjaga jarak, bahkan menghindari jabat tangan sederhana.
Secara historis, penderita kusta adalah orang-orang yang terbuang, terkurung, dan jauh dari masyarakat. Tak jarang, mereka mengalami depresi akibat stigma dan isolasi sosial oleh orang-orang di sekitarnya.
Padahal, faktanya kusta tak mudah menular dari satu orang ke orang lain. Data menunjukkan 95 persen mereka yang terpapar Mycobacterium leprae tidak mengalami sakit kusta.
Hal ini menunjukkan perjalanan penyakit kusta banyak dipengaruhi faktor lain selain keterpaparan orang terhadap bakteri itu, seperti misalnya faktor genetika dan kekebalan tubuh individu. Fakta ini menggarisbawahi pentingnya memperlakukan pasien kusta seperti pasien dengan penyakit lain, dengan merangkul penderita kusta di tengah masyarakat dan menganjurkan pengobatan dengan kasih sayang yang sama.
Kusta masih menjadi masalah yang relevan dan mendesak saat ini.
Belum juga hilang
Beranjak dari penemuan bakteri penyebab kusta, pengobatan kusta terus dikembangkan. Pada 1940-an, seorang dokter dari Amerika, Guy Faget, menemukan terapi turunan dari sulfonamid, yaitu promin, yang cukup efektif mengobati kusta. Penemuan ini terus dikembangkan hingga ditemukan dapson, juga dari golongan sulfonamid, yang ampuh menyembuhkan kusta dan dapat diberikan secara oral sehingga mudah dikonsumsi pasien.
Sejak 1982, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan trio antibiotik, yakni dapson, rifampisin, dan klofazimin, yang diberikan selama 6-12 bulan sebagai senjata andalan mengalahkan kusta.
Pada dekade 1990-an, perang melawan kusta digencarkan di seluruh dunia. Pemberian obat gratis dari WHO mampu membebaskan hampir 90 persen negara endemis tinggi kusta.
Meskipun demikian, apakah kusta telah menjadi kisah masa lalu? Kenyataannya tidak. Kusta masih menjadi masalah yang relevan dan mendesak saat ini. Penetapan kusta oleh WHO sebagai Penyakit Tropis Terabaikan menegaskan kusta masih ada, tetapi kerap diabaikan.
Penyakit kusta masih tersebar di kantong-kantong kemiskinan di lebih dari 120 negara, dengan lebih dari 200.000 kasus baru setiap tahun.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski upaya eliminasi kusta berhasil dilakukan di beberapa negara, sayangnya di Indonesia masih terdapat 113 kabupaten/kota yang belum bebas dari kusta. Angka terbesar ada di Papua, Papua Barat, Maluku Utara, dan Jawa Timur.
Penyakit kusta erat berkelindan dengan kemiskinan. Mengabaikan kusta sama saja melanggengkan siklus ”miskin dan penyakitan” di masyarakat kita, yang mau tidak mau berkontribusi juga pada perangkap pendapatan menengah (middle-income trap) yang menjerat bangsa Indonesia.
Mengabaikan kusta sama seperti mengabaikan retak pada fondasi rumah, sebuah kelalaian yang dapat mengakibatkan konsekuensi struktural jangka panjang sehingga menghambat kemajuan bangsa dalam skala yang lebih luas.
Strategi kalahkan kusta
Di bawah bendera transformasi kesehatan, pemerintah kini tengah menata kembali strategi eliminasi kusta dengan tiga upaya utama. Pertama, penemuan kasus secara aktif yang diikuti terapi pencegahan. Hal ini penting sebagai tindakan proaktif mencegah timbulnya penyakit kusta baru, terutama pada kontak erat yang tinggal serumah. Pemeriksaan dilakukan di kampung-kampung melibatkan para kader serta di sekolah melibatkan para guru.
Kedua, menjamin akses obat kusta di setiap layanan kesehatan yang melaporkan kasus. Tidak hanya bergantung pada obat yang disediakan WHO, pemerintah kini juga mengadakan obat kusta melalui pembiayaan APBN. Pengadaan obat mandiri oleh Kementerian Kesehatan ini diharapkan bisa mengakhiri cerita-cerita kekosongan obat dari berbagai penjuru negeri.
Baca juga : Jejak Kusta di Nusantara
Ketiga, pencatatan kasus kusta secara digital. Digitalisasi data kusta merupakan langkah penting untuk memastikan pemahaman komprehensif mengenai situasi kusta di Indonesia saat ini dan seterusnya. Tanpa data yang valid, kita sulit menentukan strategi terbaik mengalahkan kusta.
Ketiga strategi ini tak mungkin sukses jika pemerintah melakukannya sendirian. Kolaborasi pemerintah di tingkat pusat dan daerah, bersama para praktisi kesehatan, peneliti, organisasi masyarakat, lembaga filantropi, dan pemangku kepentingan lain, amat penting untuk ditingkatkan.
Sebagaimana Mahatma Gandhi berpesan, ”Kehebatan suatu bangsa diukur dari caranya memperlakukan anggotanya yang paling lemah.”
Pemerintah daerah perlu menganggarkan dana untuk memenuhi hak para penyandang kusta atas pelayanan kesehatan terbaik. Para pemimpin daerah hendaknya tidak lelah memberikan motivasi, bahkan penghargaan bagi para tenaga kesehatan di garis depan yang dengan tulus melayani pasien kusta.
Praktisi kesehatan harus memastikan kompetensi tenaga kesehatan di lapangan mampu mendeteksi dan menangani kusta. Peneliti perlu lebih banyak melakukan riset dan publikasi tentang kusta di Indonesia untuk meningkatkan perhatian terhadap kusta hingga di tingkat global. Organisasi masyarakat dan lembaga filantropi dapat bersinergi dengan pemerintah dalam melayani penderita kusta di daerah-daerah dengan beban kusta yang tinggi.
Tahun ini, tema ”Kalahkan Kusta” dalam peringatan Hari Kusta Sedunia yang diperingati setiap minggu terakhir Januari kiranya mengobarkan semangat kita untuk menuntaskan kusta dan merangkul serta melayani para penderitanya. Sebagaimana Mahatma Gandhi berpesan, ”Kehebatan suatu bangsa diukur dari caranya memperlakukan anggotanya yang paling lemah.”
Budi Gunadi Sadikin Menteri Kesehatan Republik Indonesia