Film ”Budi Pekerti” di Netflix, Berburu Kontrol Privasi di Media Sosial
Kontrol privasi bisa jadi alternatif solusi untuk membuat kondisi individu, di dunia nyata dan maya, terus waras.
Ilustrasi
Kepopuleran film Budi Pekerti di Netflix karya sutradara Wregas Bhanuteja tak lepas dari situasi nyata masyarakat Indonesia di era internet saat ini. Film tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana internet, khususnya media sosial, memiliki keterkaitan kuat antara berbagai generasi, yaitu Gen X (usia 45-59 tahun), Gen Milenial (28-43 tahun), dan Gen Z (12-27 tahun).
Hanya saja, sesuai dengan karakteristik generasinya, Gen X belum terlalu menggunakan media sosial seintens dua generasi sesudahnya. Hal ini sesuai dengan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 bahwa Gen Z dan Milenial, dua generasi dengan penetrasi internet tertinggi di Indonesia.
Media sosial digambarkan memiliki pengaruh kuat dalam segala aspek kehidupan manusia. Sayangnya, penggunaan media sosial ini belum dibarengi tingkat literasi digital masyarakat Indonesia.
Baca juga: Moncong Senapan di Ujung Gawai
Laporan Visi Indonesia Digital 2045 (Kementerian Kominfo, 2024) menyebutkan penggunaan internet masih banyak dilakukan untuk tujuan nonproduktif, seperti mengisi waktu luang dengan melihat dan mengomentari konten ringan yang tak mencerdaskan hingga mempraktikkan etika berinternet yang tidak baik di medsos (menyebarkan isu suku, agama, ras, dan antaragama/SARA; hoaks; hingga ujaran kebencian).
Kaitannya dengan etika berinternet, survei Microsoft (2022) dalam laporan Digital Civility Indeks (DCI) pun menyebutkan bahwa warganet Indonesia adalah netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Indonesia mendapatkan peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei.
Privasi dan kontrol privasi
Sifat media sosial yang berjejaring tidak memungkinkan pengguna mengontrol apa yang dibagikan teman atau orang lain terhadap informasi, bisa berupa teks dan gambar, di media daring (online). Di film tergambar jelas bahwa ada kecenderungan masyarakat Indonesia selalu mengacungkan ponselnya (tanpa izin) untuk merekam sesuatu yang dianggap lucu dan menarik.
Setelah mendapatkan konten, kecenderungan yang dilakukan adalah mengunggahnya di media sosial masing-masing tanpa berpikir jauh apa dampak dari konten yang diunggah tersebut. Yang terpenting adalah mengunggah (upload), update, dan viral. Sayangnya, konten lucu dan receh ini menjadi konten idaman warganet Indonesia.
Keviralan sangat berpengaruh di era media internet ini karena bisa menjadi sarana ekonomi atau mendapatkan penghasilan. Hal ini pun senada dengan riset IDN Research Institute soal Indonesia Gen Z Report 2024 bahwa kreator konten menjadi aktivitas menarik untuk menghasilkan income bagi Gen Z.
Konten unggahan pun didominasi video pendek. Sayangnya, konten video pendek ini sering kali tidak diedit secara menyeluruh sehingga mengurangi konteks fakta secara keseluruhan dalam peristiwa itu. Hal ini seperti tergambar dalam film ketika seseorang mengunggah Bu Prapti (aktor wanita) ketika marah kepada si penjual putu. Tidak seluruh fakta diceritakan dan hanya fakta mengumpat hal negatiflah yang tergambarkan di publik.
Ada kecenderungan masyarakat Indonesia selalu mengacungkan ponselnya (tanpa izin) untuk merekam sesuatu yang dianggap lucu dan menarik.
Banyak ahli komunikasi menyatakan bahwa fenomena di atas merupakan masalah kontrol privasi. Privasi (Waren & Brandei, 1890; Sevignani, 2016; Trepte & Reinecke, 2011) adalah hak asasi manusia untuk tidak dapat diganggu, serta klaim individu, kelompok, atau institusi untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain.
Kontrol (merujuk pada kontrol informasi) adalah pilihan pada pemilik informasi akan sejauh mana mereka akan mengungkapkan atau menahan informasi pribadi. Sementara kontrol privasi (Trepte, 2020) berkaitan dengan pemahaman individu untuk mengelola dan mengoordinasikan informasi saat berinteraksi dengan orang lain.
Masalah kontrol privasi tampaknya perlu menjadi refleksi kita bersama. Kita perlu berkaca dari berbagai fenomena di media sosial beberapa tahun ini, di mana banyak kejahatan bermula dari media sosial. Bahkan, di film tersebut juga ditunjukkan bahwa seolah persoalan privasi di media sosial justru menjadi kepentingan publik yang seolah-olah dibutuhkan oleh publik. Akhirnya, pengguna pun sering kali kabur untuk membedakan komunikasi pribadi dan profesional di media sosial.
Segala sesuatu diumbar ke media maya, bahkan ada kecenderungan mengeksploitasi privasi yang dilakukan secara tidak sadar demi keuntungan pribadi ataupun kelompok tertentu. Akibatnya, banyak individu tidak sadar bahwa apa yang ditorehkan di dunia maya memiliki jejak digital, baik aktif maupun pasif. Informasi di media daringpun telah menjadi barang yang diperjualkan untuk kepentingan finansial semata (Sevignani, 2016).
Kontrol privasi sangat mungkin dilakukan oleh semua pihak dengan berbagai cara. Merujuk kepada model kontrol privasi di media sosial yang disampaikan Trepte (2020), ada beberapa cara yang bisa dilakukan.
Pertama, penilaian subyektif dari pengguna sosial. Penilaian subyektif ini bisa dilakukan dengan merefleksikan pertanyaan berikut, apa motivasi saya mengunggah konten? Apakah saya perlu update status setiap hari dan saya unggah secara blak-blakan? Apa yang saya rasakan? Apa yang saya butuhkan?
Penilaian subyektif ini sangat penting karena menjadi tahap awal individu meliterasi dirinya sendiri atas apa yang diproduksinya. Kemampuan menganalisis apa yang diproduksi atau yang ditulis serta dampaknya tentu akan sangat meminimalkan kerugian bagi orang banyak.
Kedua, memahami kondisi sosial media. Pemahaman kondisi sosial media diartikan ketika mengunggah sesuatu, ke mana saja aliran konten tersebut. Di dunia maya kita perlu tahu bahwa banyak akun anonim yang tidak diketahui identitasnya, banyak informasi yang terpotong dan tidak lengkap karena kemampuan pengeditan yang tak sempurna, komentar publik yang bebas yang kadang tidak sesuai dengan kondisi psikologi kita, hingga ancaman peretasan data pribadi.
Baca juga: Politik Berbalas Hoaks
Pemahaman kondisi sosial media ini akan menguatkan individu untuk mengontrol ulang informasi pribadi/kelompok apa yang layak dibagikan. Pada tahap kedua inilah, individu juga mempertimbangkan norma, kepercayaan, dan komunikasi antarpribadi yang berlaku di tempat tinggal mereka. Dengan demikian, keberadaan norma khususnya akan menjadi pertimbangan individu untuk membedakan mana yang baik dan buruk.
Ketiga, pengalaman subyektif dari privasi. Pengalaman masa lalu atas tindakan individu di media sosial perlu menjadi bahan belajar. Belajar atas komentar apa yang muncul atas konten yang dibagikan, semestinya menjadi kontrol tersendiri untuk menyebarkan sesuatu yang berkaitan dengan privasi.
Keempat, perilaku pengaturan privasi, yang berkaitan dengan pengaturan perilaku yang aktif dan sengaja untuk membatasi akses informasi dan audiens, melakukan penyensoran diri, dan lebih banyak melakukan hal yang benar serta mengaburkan misinformasi.
Keempat model kontrol privasi ini merupakan sebuah proses yang secara tiba-tiba bisa mengubah kondisi sosial masyarakat Indonesia. Namun, setidaknya, model kontrol privasi bisa menjadi alternatif solusi.
Dongkrak literasi digital
Model kontrol privasi ini sangat memungkinkan bisa dipraktikkan oleh pengguna media sosial. Kontrol privasi ini sangat mendukung terciptanya literasi digital masyarakat Indonesia. Di tingkat ASEAN, literasi digital masyarakat Indonesia masih di angka 62 persen, jauh di bawah rata-rata negara ASEAN yang berada di angka 70 persen (Anam, 2023).
Angka ini sangat ironis karena tidak dibarengi dengan tingginya penetrasi internet di Indonesia yang mencapai 221 juta jiwa penduduk Indonesia (APJII, 2024). Sementara itu, literasi digital berkaitan dengan pemberdayaan warga untuk mampu menggunakan media, baik dari sisi akses, produksi, maupun evaluasi atas konten.
Merujuk pada film Budi Pekerti, yang secara harfiah berarti tingkah laku atau akhlak, kemampuan beretika di media sosial menjadi sebuah catatan penting. Etika digital berkaitan dengan bagaimana seorang individu mampu untuk mengembangkan tata kelola internet (etika berinternet) ketika menggunakan media sosial (Kementerian Kominfo).
Kontrol privasi ini sangat mendukung terciptanya literasi digital masyarakat Indonesia.
Etika berinternet ini semestinya menjadi proses internalisasi dalam diri yang terus dilatih dan dikembangkan. Semakin sering menerapkan etika berinternet, semakin tinggi pula kontrol privasi individu akan sebuah informasi yang dimilikinya. Harapannya, dengan mengolah etika dalam praktik bermedia, warganet Indonesia semakin cerdas bermedia.
Tak bisa dimungkiri bahwa media sosial memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membangun opini publik. Pengguna perlu sadar penuh bahwa sering kali realitas yang tercipta di dunia maya adalah realitas semu yang belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Kunci utama aman dan cerdas di media adalah berbalik pada individu masing-masing. Ada pepatah mengatakan jarimu adalah harimaumu. Maka, berhati-hatilah menggunakan jarimu dalam mengetik sesuatu di media sosial.
Olivia Lewi Pramesti, dosen Tetap di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta