Urinoir adalah salah satu tanda kemajuan bangsa ini di dalam bidang infrastruktur.
Oleh
JEAN COUNTEAU
·3 menit baca
Biasanya, saya taruh uang dua ribu di keranjang yang khusus disediakan untuk itu, lalu masuk, tak menghiraukan apa, lalu zip, dan sebentar lagi saya berdiri tegak, mencoba berkonsentrasi tanpa terlalu memperhatikan apa yang saya lakukan. Karena saya memang melakukan sesuatu. Namun, agar tidak salah sasaran, saya terpaksa sekali-kali melihat ke depan, membidik apa yang di depan saya itu, agar tak jatuh di lantai.
Baru saya melihatnya: mereknya Jepang yang itu, berukuran kecil. Tunggal. Bentar lagi, zip lagi, dan saya pergi, mengencangkan celana, dengan langkah senatural mungkin agar tak terlihat saya datang dari tempat itu. Urutan perbuatan ini saya lakukan setiap dua tiga hari, ketika saya keluar cukup lama dari tempat saya, dan harus singgah di tempat merek Jepang itu di Pertamina atau Alfamart. Itu tak terhindarkan, lengkap dengan zipnya dan bau pesing yang tak tersaingkan itu.
Keberadaan tempat di atas ini, yang entah kenapa bernama Perancis itu, yaitu urinoir, itu adalah salah satu tanda kemajuan bangsa ini di dalam bidang infrastruktur. Di sepanjang jalan tol yang kian banyak ini, begitu mengisi tangki bensin, kita biasanya mengosongkan kantong lain, kantong uang, dan kantong lagi satu. Seakan-akan ada kaitan satu sama lainnya. Begitulah kenyataan.
Kadang-kadang saya pindah lingkungan. Berubah gaya juga. Bercelana dan berbaju serba putih bak orang suci. Dan pergi ke salah satu hotel kelas V dan kelas VI di Nusa Dua, Bali, atas undangan orang penting. Di situ apa tugas saya? Berbicara penuh keyakinan—paling sedikit itu harapan mereka—tentang kebudayaan Bali atau indahnya pajangan seni. Entah kenapa, nasib saya memang begitu? Orang ingin mendengar saya berpidato di dalam bahasa Indonesia tentang hal (hampir) penting ini.
Sesampai di hotel, saya biasanya disajikan bir—belum dilarang di situ. Maka apa yang tak terelakkan terjadi? Saya berhadapan dengan masalah serupa dengan di jalan tol di atas: harus berurusan dengan prosedur zip dan kantong kemih.
Biasanya no problem. Namun, beberapa minggu yang lalu, lain masalah. Bayangkan situasi saya. Berpidato, minum bir, ada ”panggilan alam”, dan saya kedapatan berdiri tegak di ruang khusus, bagian pria. Menanti melegakan diri dari beban bir yang terlampau cepat dicerna.
Waah: kali ini tak perlu bidik, tampungan bermerek Jepang tinggi lebar. Tak mungkin salah sasaran. Tinggal nunggu proses berlalu, sambil membiarkan pikiran melayang bebas, misalnya memikirkan kemajuan yang didapati suatu pemerintah yang mampu menghilangkan bau pesing di ruang terpilih kaum berada. Karena memang baunya di situ kelas tinggi. Baru berdiri, keluarlah harum wangi ala perfume Saint-Laurent, khusus pria. Wah. Pokoknya hotelnya bergaya.
Namun tiba-tiba terdengar suara, menggema, dalam bahasa Indonesia, ”Anda adalah Bapak Jean Couteau, kan.” Saya terhentak kaget, bidikan kacau, pegang perut, sakiiiit. Lalu menoleh ke ujung sana sambil kencangkan sabuk. Kosong. Yang terlihat hanyalah rentetan urinoir Jepang berharum Saint-Laurent itu. Tiada siapa pun.
Bagitu nyeri berkurang, saya coba meneruskan upaya tadi. Zip. Bidikan otomatis, dan yang harus terjadi terjadilah…. Sebentar lagi, pas akan ”lega”, wajah melongo dan pikiran melayang, ketika terdengar lagi, lebih keras: ”Anda lulusan EHESS di Paris (Ecole de Hautes Etudes en Sciences Sociales)?”
Sakiit. Pegang perut. Saya lalu menoleh ke sana. Terlihat bayangan yang lenyap. Lenyap untuk seterusnya.
Kenapa ada orang tak dikenal memanggil saya, yang mengenali saya, dan bisa berpikir bahwa pengetahuan saya terbatas pada gelar yang saya raih 40 tahun yang lalu.
Maka, kini, setiap berhajat kecil di tempat khusus pria itu, kerap kali saya memikirkan orang tak dikenal itu yang mempertanyakan kepintaran saya. Lalu saya macet.