Rupa Baru Data Desa
Badan Pusat Statistik acap kali menampilkan wajah desa buruk rupa, kalah bersolek dibandingkan wajah kota.
Statistik selama ini merupa (membangun wajah) desa. Sayangnya, Badan Pusat Statistik acap kali menampilkan wajah desa buruk rupa, kalah bersolek dibandingkan wajah kota.
Pangkal persoalannya adalah desa dianggap sebagai kembaran perdesaan. Padahal, mereka bukan wajah yang sama. Desa beda dengan perdesaan. Sebagaimana kota juga berbeda dengan kelurahan.
Dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), ketika data dipilah antara yang tertulis ”desa” dan ”kota”, sejatinya itu merupakan singkatan dari ”perdesaan” dan ”perkotaan”. Bukan desa yang sesungguhnya ditemui di lapangan, yang dibedakan dari kelurahan.
Celakanya, jika gelontoran investasi pembangunan dialokasikan ke desa; para akademisi, pegiat desa, politisi, dan birokrat justru mengukur hasil, manfaat, dan dampak pembangunan desa dari metadata perdesaan. Maka, muncullah komplikasi, mulai dari etika tidak percaya desa, meyakini kondisi desa memburuk, hingga ada yang menyimpulkan jumlah desa terus menurun dan akhirnya bakal habis.
Baca juga: Revisi UU Desa dan Kemiskinan Perdesaan
Sudah saatnya menggunakan data terpilah antara desa dan kelurahan. Tujuannya, agar terjaga konsistensi antara asupan investasi pembangunan dan ukuran efisiensi, manfaat, serta dampaknya bagi kesejahteraan warga.
Desa perdesaan, desa perkotaan
Dalam data Potensi Desa 2021, BPS mengakui wujud 75.319 desa. Ini berbeda dari penetapan 75.265 desa oleh Kemendagri yang menjadi patokan resmi penyaluran dana desa, alokasi dana desa, serta bantuan keuangan pemda provinsi dan kabupaten/kota.
Dari kumulasi desa yang dikumpulkan BPS, 52.902 desa dikategorikan wilayah perdesaan. Namun, 22.417 desa digolongkan BPS sebagai daerah perkotaan.
Kian padatnya penduduk, diiringi pengurangan persentase keluarga pertanian, mendorong wilayah menapaki kategori perkotaan. Apalagi ditambah akses atas fasilitas perkotaan, yaitu kelengkapan TK, SMP, SMA, pasar, kelompok pertokoan, dan rumah sakit. Ditambah lagi keberadaan hotel, tempat biliar, diskotek, panti pijat, atau salon, serta persentase keluarga pemanfaat telepon kabel dan listrik PLN.
Jumlah dan persentase desa-perdesaan semakin turun. Pada 2014, kala UU Desa No 6/2014 diundangkan, BPS mencatat bertambahnya 8.332 desa. Menarik, jumlah desa perdesaan turun menjadi 4.812 desa, dari sebelumnya 57.714 desa, sementara jumlah desa perkotaan naik dari 9.273 desa menjadi 13.144 desa.
Kenaikan desa perkotaan hingga 142 persen hakikatnya menerangkan kian padatnya fasilitas publik di desa-desa sejak dana desa disalurkan. Seharusnya ini mencerahkan wajah desa. Sayang, dalam tabel-tabel statistik, desa perkotaan dibetot masuk dalam kolom perkotaan alias kota.
Penduduk desa, penduduk perdesaan
Membedaki desa semata-mata sebagai desa perdesaan saja telah melahirkan dua kefatalan berpikir, yaitu mengira jumlahnya menurun sampai habis serta salah memahami realitas kesejahteraan warga desa yang sebenarnya.
Pada 2022, perekaman KTP elektronik menghasilkan total rekaman 197.059.514 penduduk. Sebanyak 138.938.939 jiwa (70,5 persen penduduk) ber-KTP tinggal di desa. Inilah desa yang dirasakan publik sehari-hari. Sisanya, 58.120.575 (29,5 persen penduduk), ber-KTP kelurahan, tempat publik menabalkan sebagai kota.
Namun, karena BPS menggolongkan perdesaan hanya mencakup desa perdesaan (tak termasuk desa perkotaan), tabel mencantumkan data dan prediksi meningkatnya penduduk per-kota-an, yang sekaligus dibaca sebagai penurunan penduduk perdesaan.
Kenaikan desa perkotaan hingga 142 persen hakikatnya menerangkan kian padatnya fasilitas publik di desa-desa sejak dana desa disalurkan.
Pada 2015, BPS mencantumkan 53,3 persen penduduk tinggal di per-kota-an, kemudian terus meningkat mencapai 66,6 persen pada 2035. Tecermin penduduk per-desa-an semakin nadir dari 46,7 persen menjadi 33,4 persen.
Bandingkan, pada 2022 proporsi penduduk per-desa-an ala BPS 42,0 persen, padahal sejatinya penduduk ber-KTP desa versi Kemendagri 70,5 persen. Kesenjangan angka kedua lembaga meyakinkan, bahwa penduduk desa yang tinggal di (desa) perkotaan mencapai 28,5 persen.
Pembetulan pengukuran jumlah penduduk desa di desa perdesaan ditambah di desa perkotaan merupa wajah baru desa. Pada 2022, Indonesia dihuni 275.773.800 jiwa. Dengan memanfaatkan proporsi pemegang e-KTP, penduduk desa terhitung 194.420.529 jiwa. Mereka terbagi atas 115.769.841 jiwa tinggal di desa perdesaan dan 78.650.688 jiwa menempati desa perkotaan.
Kesejahteraan desa
Pengetahuan ini memperbaiki rupa kesejahteraan di desa. BPS memublikasikan pada 2022 pendapatan yang ditaksir dari pengeluaran penduduk perdesaan Rp 1.028.896 /kapita/bulan, dan di perkotaan Rp 1.549.242/kapita/bulan.
Kini, penghitungan baru merupa total pendapatan warga desa per bulan Rp 240,9 triliun, terpilah atas Rp 119,1 triliun di perdesaan, dan Rp 121,8 triliun di perkotaan.
Baca juga: Perubahan UU Desa Berbasis Potensi Desa
Pendapatan rata-rata warga desa pun turut terkoreksi menjadi Rp 1.239.396/kapita/bulan. Ternyata, realitasnya kesejahteraan warga desa lebih tinggi 17 persen dari angka publikasi selama ini!
Koreksi juga diterapkan pada jumlah dan persentase kemiskinan desa. Pada September 2022, BPS memuat penduduk miskin di desa (tentu maksudnya desa perdesaan) 14,38 juta jiwa, sedangkan di per-kota-an 11,98 juta jiwa.
Dihitung ulang sesuai proporsi penduduk ber-KTP desa, jumlah penduduk miskin desa menjadi 17,79 juta karena mencakup warga yang tinggal di desa perkotaan. Namun, persentase kemiskinan desa terkoreksi menjadi 9,15 persen.
Selama ini ada kesalahan membaca publikasi tingkat ”kemiskinan perdesaan” 12,36 persen, padahal ternyata itu bukan ”kemiskinan desa”. Penghitungan yang lebih presisi atas data desa yang dipilah antara desa perdesaan dan desa perkotaan bermanfaat untuk membaca realitas lapangan secara lebih riil. Sejauh ini hasilnya merupa desa lebih cerah sehingga selayaknya publik percaya desa, desa bisa!
Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi