Jalan Terjal Reformasi TNI
Pemerintah tak punya komitmen politik untuk memperkuat reformasi TNI dan Polri sesuai amanat Reformasi 1998.
Reformasi Tentara Nasional Indonesia atau TNI dalam sejumlah diskursus publik dianggap sebagai sesuatu hal yang telah tuntas, puncaknya setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Upaya reformasi TNI terjadi pada medio 1998 melalui hal-hal fundamental, seperti penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI serta penghapusan Fraksi ABRI dari parlemen.
Pada tataran regulasi, dilakukan pemisahan antara TNI dan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melalui TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta pembagian peran yang spesifik antara TNI dan Polri melalui TAP MPR No 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri.
Akan tetapi, dalam diskursus lainnya, reformasi TNI dianggap sebagai suatu upaya yang berkesinambungan. Sebab, berbagai persoalan memperlihatkan terjadinya regresi agenda reformasi TNI.
Baca juga: Menolak Kembalinya Dwifungsi ABRI
Oleh karena itu, evaluasi dan perbaikan perlu terus dilakukan, di antaranya dalam rangka implementasi UU No 34/2004 tentang TNI yang secara langsung telah mencabut keberlakuan UU No 2/1988 tentang Prajurit ABRI.
Dalam UU No 34/2004 tentang TNI, secara eksplisit aspek reformasi dimanifestasikan ke dalam bentuk kewajiban dan larangan bagi prajurit TNI, selama masa aktif ataupun dalam rangka menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya sebagai prajurit TNI. Kewajiban dan larangan ini menjadi rule atau pedoman bagi setiap prajurit.
Hambatan berkepanjangan
Upaya melanjutkan reformasi TNI kerap kali mengalami gangguan, baik disebabkan tindakan oknum prajurit maupun kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh pejabat sipil.
Salah satu bentuk gangguan tersebut berupa potensi perluasan penempatan TNI pada jabatan sipil di luar ketentuan UU No 34/2004 tentang TNI (UU TNI). Era pemerintahan Presiden Joko Widodo mencatatkan sejumlah persoalan tersebut. Bukan hanya peristiwa, melainkan persoalan ini juga ditunjang wacana otak-atik kebijakan dan peraturan perundang-undangan, seperti sempat munculnya wacana revisi UU TNI.
Terbaru, persoalan itu kembali mencuat melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu muatannya mengenai jabatan-jabatan ASN yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan Polri. Komitmen membangun TNI kembali diuji dalam penyusunan kebijakan ini.
Mengingat kebijakan ini masih pada tahap penyusunan, semestinya bisa mengokohkan komitmen reformasi TNI (dan Polri), dengan tetap meletakkan dua alat negara tersebut sebagai instrumen negara yang kuat dan profesional pada bidang pertahanan dan bidang keamanan negara.
TNI dan Polri tidak didorong untuk mengokupasi jabatan-jabatan pemerintahan yang secara substantif dan selama ini menjadi tugas dan fungsi ASN.
Namun, mengacu pada cantolan RPP Manajemen ASN ini, yakni UU No 20/2023 tentang ASN, wajar jika wacana kebijakan ini menjadi sorotan publik. Sebab, harapan akan adanya evaluasi terhadap upaya reformasi TNI, terutama yang berkaitan dengan perluasan posisi militer pada jabatan sipil, justru menjadi sirna (Setara Institute, 2023).
Yang ada, kebijakan itu justru mengakselerasi perluasan posisi militer pada jabatan sipil, terutama pada jabatan ASN tertentu. Akibatnya, pengesahan revisi UU ASN yang baru ini seakan justru menjadi kado buruk setelah peringatan HUT TNI ketika itu.
Dijelaskan dalam ketentuan UU a quo, jabatan ASN tertentu dapat diisi prajurit TNI (dan Polri). Jabatan ASN yang dimaksud terdiri atas jabatan manajerial dan nonmanajerial.
Ini pun juga menjadi problematik mengingat ASN tak memiliki kultur komando sehingga belum tentu akan dipatuhi sebagaimana mestinya.
Jabatan manajerial terdiri dari jabatan pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya, pimpinan tinggi pratama, jabatan administrator, dan jabatan pengawas.
Sementara itu, jabatan nonmanajerial meliputi jabatan fungsional yang bertanggung jawab memberikan pelayanan dan melaksanakan pekerjaan sesuai keahlian dan/atau keterampilan tertentu, serta jabatan pelaksana yang bertanggung jawab memberi pelayanan dan melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin dan sederhana.
Dalam UU a quo memang diatur bahwa pengisian pada jabatan-jabatan itu akan mengacu pada ketentuan UU No 34/2004 tentang TNI (dan UU Polri). Namun, melihat luasnya lingkup jabatan yang disediakan, yang berpotensi terjadi justru semacam migrasi prajurit TNI (dan Polri) ke jabatan-jabatan sipil tersebut.
Hal ini dapat memperparah apa yang terjadi selama ini. Dalam beberapa kasus sebelumnya, terjadi penempatan TNI pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI, seperti penempatan prajurit TNI di Kementerian ESDM (2019), sejumlah perusahaan BUMN sebagai komisaris (2020), Kemenparekraf (2020), hingga penunjukan prajurit TNI sebagai penjabat kepala daerah (2022).
Laporan Ombudsman RI tahun 2020 bahkan mencatat terdapat 27 prajurit TNI yang terindikasi rangkap jabatan di BUMN pada 2019.
Kebijakan ini memicu pelembagaan rutinitas penempatan prajurit, terutama perwira, pada jabatan-jabatan yang tidak berkaitan dengan pertahanan negara. Padahal, urusan pada jabatan tersebut sebenarnya dapat dikelola oleh aparatur sipil yang memiliki kapasitas sesuai bidangnya. Terlihat di sini, pemerintah tak punya komitmen politik untuk memperkuat reformasi TNI dan Polri, sesuai amanat Reformasi 1998.
Ketentuan pengaturan terbaru tersebut juga berpotensi memunculkan hambatan karier bagi ASN sipil nantinya. Sebab, jabatan-jabatan yang seharusnya dapat diduduki oleh ASN sipil justru diduduki oleh prajurit TNI (dan Polri).
Sementara di lingkungan TNI dan Polri, aturan baru itu berpotensi melahirkan persoalan tersendiri, yakni kurangnya jabatan-jabatan untuk perwira (menengah dan tinggi) di instansi terkait sehingga memperpanjang barisan perwira nonjob sebagaimana terjadi pada 2020.
Perlu refleksi
Lebih jauh, konsep resiprokal yang dikedepankan dalam UU a quo juga mendapat kritik keras dari publik lantaran dinilai sebagai pemanis saja. Sebab, tidak jelas kriteria ASN sipil seperti apa yang dapat menduduki jabatan di TNI-Polri, beserta jabatan-jabatan apa yang tersedia. Ketika prajurit TNI-Polri dapat menduduki jabatan strategis di K/L tertentu, semestinya ASN juga demikian di instansi TNI-Polri.
Ini pun juga menjadi problematik mengingat ASN tak memiliki kultur komando sehingga belum tentu akan dipatuhi sebagaimana mestinya. Banyak hal yang berpotensi menjadi permasalahan di masa datang pada konteks resiprokal ini.
Semua persoalan di atas mengisyaratkan bahwa meskipun Dwifungsi ABRI secara doktrin maupun peraturan perundang-undangan telah dihapus, nyatanya praktik pemberlakuannya masih terjadi.
Jika pada Orde Baru terjadi melalui intervensi militer, di era Reformasi terjadi melalui infiltrasi pejabat sipil karena pejabat sipil tertentu justru membuka ruang keterlibatan itu.
Ikhsan Yosarie,Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute