Takjil, Identitas Keberagamaan, dan Bahaya Lingkungan
Takjil, selain mengangkat geliat ekonomi dan mendorong inklusi sosial, juga melahirkan tambahan sampah.
War takjil menjelaskan fenomena unik. Mereka yang membeli menu buka puasa, seperti gorengan, kolak, dan jenis makanan lainnya, tidak hanya yang beragama Islam—lebih spesifik tidak hanya mereka yang berpuasa, tetapi juga non-Muslim.
War takjil menjadi tren Ramadhan tahun 2024. Mengeliminasi kata-kata sebelumnya yang kerap digunakan, seperti mencari atau memburu takjil.
Di pusara media sosial, ada seorang perempuan mengenakan kerudung membeli takjil. Lepas dari pandangan pembeli yang lain, dia menyingkap kerudungnya seperti sengaja memperlihatkan kalung salib di lehernya. Mereka tiba lebih awal daripada yang berpuasa. Fenomena ini kian menempatkannya sebagai panggung yang unik dan populer.
Saking viralnya fenomena—yang menempatkan makanan takjil ini seperti tiket konser atau pertandingan sepak bola—pemuka agama juga muncul memberikan komentar. Pemuka agama sangat positif menyambutnya dengan mengatakan fenomena ini sebagai wujud dari kerukunan umat beragama di Indonesia.
Baca juga: ”War” Takjil yang Meluruhkan Sekat SARA
Membongkar identitas
Kerukunan yang terjadi akibat war takjil itu mulanya terdaur di ruang media sosial dan media massa. Potongan-potongan video memunculkan narasi tersebut dengan kesan dan pesan yang lucu dan, tidak hanya kegembiraan, tetapi juga rasa keinginan yang kuat untuk mendapatkan takjil. Akibatnya, tampak sekali bagaimana takjil menjadi tempat kerumunan orang berebut.
Fenomena yang menjadikan war takjil seperti hal yang menyenangkan dan menyejukkan. Orang Muslim dan non-Muslim bertemu dalam ritual keagamaan yang tidak bersitegang—sekadar adu cepat beli kolak atau gorengan, mentok-mentok kurma.
Namun, dari pendapat yang tidak populer, aktivitas ini menjadi pernyataan tidak sepakat terhadap ”seleksi aktivitas makanan” di bulan Ramadhan. Di mana kita sebagai umat yang mayoritas kerap abai dengan keberagaman.
Kita tidak pernah membayangkan bahwa ternyata puasa menyebabkan perubahan penjual mendedahkan jajanannya. Ada yang tutup, ada yang buka diam-diam, ada yang buka secara tidak terbuka dan semacamnya. Ini membuat kelompok keyakinan yang lain semakin terbatas dalam mendapatkan santap makan, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Aktivitas warung makan yang tidak seperti biasanya buka sepanjang hari ini, baik karena persoalan izin, tekanan sosial, maupun karena menghargai yang berpuasa, termasuk juga pola makan mayoritas pelanggan yang berubah. Akibatnya, tidak heran jika masyarakat menjadikan takjil sebagai obyek perburuan atau bahkan dendam untuk mendapatkan makanan.
Takjil menjadi semacam seleksi terhadap kelas sosial dan makanan di bulan Ramadhan. Aktivitas buka puasa di bulan Ramadhan bernama takjil ini menjadi klausul aktualisasi kelas diperagakan. Takjil ada karena Ramadhan dan yang merayakan Ramadhan adalah umat Islam.
Takjil merupakan sublimasi kebudayaan, sedikitnya ini jika menamsilkan pendapat Gus Dur dalam lagu jawa di restoran Padang.
Dengan adanya war takjilini, seleksi itu mulai digugah. Bukan hanya makanannya, melainkan kesadaran dan ekspresi keberagamaan dalam konteks makanan. Takjil tidak hanya menjadi milik umat yang berpuasa, tetapi juga mereka yang tidak berpuasa.
Dampak ekologis
Takjil merupakan sublimasi kebudayaan, sedikitnya ini jika menamsilkan pendapat Gus Dur dalam lagu jawa di restoran Padang, yang memandang restoran Padang sebagai sublimasi kebudayaan hanya karena saat beliau berada di restoran Padang—dengan pekerja dan tentu pelayannya berasal dari Minang—yang terdengar melalui kaset adalah lagu-lagu pop jawa.
Jawaban sederhana mereka menyetel lagu itu karena banyak orang Jawa penggemar lagu tersebut yang menjadi pelanggannya. Tamsilnya, bisa jadi serupa dengan nonis yang suka gorengan atau es teler dalam fenomena takjil.
Jika Gus Dur demikian, tak jarang oleh sebab makanan juga menjulang timbul akibat cilaka. Rendang babi, yang beberapa tahun silam ramai menjadi kontroversi, nasibnya menuai sitegang dan perpecahan.
Dan takjil, selain mengangkat geliat ekonomi serta mendorong inklusi sosial—dengan mengkritisi kemapanan identitasnya—juga harus diletakkan secara hati-hati. Selalu ada, istilah Kimberly Creeshaw, intersectionality dalam isu-isu yang mapan itu. Kita perlu mempertimbangkan faktor dan akibat lain yang bisa ditimbulkan dari gejala war takjil tersebut.
Setiap pembeli takjil pasti akan membawa takjil itu ke rumah, kantor, atau kos. Beruntung jika pembeli membawa bungkus dari rumah, tetapi juga tidak sedikit dan mungkin lebih banyak yang menerima takjil yang dibelinya berikut kantong plastiknya dari penjual.
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional menyebutkan, timbulan sampah pada 2023 mencapai 19,560,111.17 ton. Data yang berasal dari 100 kabupaten/kota di Indonesia ini menyebutkan komposisi empat teratas jenis sampah yang berasal dari sisa makanan (41,9 persen), plastik (18,5 persen), kayu/ranting/daun (11,4 persen), dan kertas/karton (10,6 persen).
Baca juga: Ramadhan, Momentum Jihad Ekologi
Melihat data tersebut, war takjil dapat menjadi salah satu aktivitas yang berdampak buruk bagi lingkungan. War takjil juga melahirkan tambahan sampah yang berasal dari sisa makanan, bungkus kertas, plastik, dan sejenisnya. Artinya, war takjil yang bisa memunculkan narasi baru tentang inklusivitas, kerukunan umat, dan semacamnya, perlu memperhatikan kebersimpangan dari segi lingkungan.
Justru atas nama merayakan dan semangat war takjil itulah kita pelan-pelan melakukan dosa lingkungan. Dan, inilah yang dijabarkan M Faizi dalam Merusak Bumi dari Meja Makan itu. Pelan-pelan manusia menjadi terbiasa—atas nama kebahagiaan atau niat jahat sekalipun—memusnahkan bumi, menghancurkan lingkungannya dari remah-remah makanan yang disantapnya.
Ahmad Riyadi, Pegiat Literasi Akademi Ansor, Bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia Pusat