Saatnya Membersihkan Sikap Aji Mumpung dalam Jastip
Bila memang mau ditata, kita sepakat bahwa perlindungan ekonomi dalam negeri perlu menjadi cara pandang bersama.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Polemik pelarangan jasa titipan sulit berujung tanpa pembenahan fundamental. Jasa ini sudah lama dan mengakar. Sikap aji mumpung jadi masalah inti.
Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan resmi membatasi barang bawaan penumpang dari luar negeri mulai 10 Maret 2024. Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Berdasarkan ketentuan itu, terdapat lima jenis barang bawaan penumpang dari luar negeri yang dibatasi masuk ke Indonesia, yakni alat elektronik, alas kaki, barang tekstil, tas, dan sepatu.
Penerapan aturan pembatasan barang bawaan penumpang dari luar negeri menuai protes dari sejumlah kalangan, mulai dari konsumen jasa titipan (jastip), pelaku jastip, hingga pekerja migran Indonesia. Para pahlawan devisa negara tersebut merasa keberatan dengan ketentuan pembatasan barang bawaan lantaran akan mempersulit mereka tatkala hendak menengok keluarga di kampung halaman (Kompas.id, 1 April 2024).
Dari sisi penjual jasa, jastip bisa menutup beberapa pengeluaran selama mereka melakukan perjalanan di luar negeri. Perjalanan menjadi seolah-olah gratis karena mereka mendapat keuntungan lebih. Peluang ini ternyata terpantau oleh beberapa pedagang di sejumlah negara, salah satunya di sebuah pasar di Thailand, hingga mereka membangun ekosistem untuk melayani layanan jastip secara komplet.
Dari sisi pembeli, fenomena ini tak lagi sebagai sekadar fenomena orang jual-beli. Orang membeli seharusnya karena butuh, tetapi ada alasan lain yang sepertinya makin irasional. Mereka membeli barang karena godaan yang dihadirkan karena teknologi di dalam media sosial hingga memunculkan kecanduan. Berbagai data telah menyodorkan fakta, tingkat penggunaan media sosial (yang mengarah ke kecanduan) sangat tinggi dibanding negara lain. Suara dan tampilan visual dari platform mudah menggiring orang untuk belanja. Di sisi lain, kebiasaan pamer menyebabkan mereka mudah sekali membeli barang yang sebenarnya tak diperlukan.
Apabila saja otoritas mau mengatur perdagangan seperti ini, langkah yang dilakukan tidak boleh tanggung-tanggung. Sebaiknya tidak mulai dari mengurusi langsung jastip. Orang kecil membutuhkan langkah nyata untuk menindak upaya perdagangan ilegal yang mungkin masih saja terjadi dan dilakukan oleh pemain kuat. Apabila ini dilakukan, publik makin yakin soal keinginan pemerintah untuk mengatur impor secara benar.
Masalah lain, secara umum, adalah mental aji mumpung di semua lapisan, baik pejabat maupun masyarakat. Jastip muncul karena ada peluang. Peluang itu dimonetisasi dan awalnya tak dipermasalahkan. Kini, apabila memang mau ditata dengan benar, kita sepakat bahwa perlindungan ekonomi dalam negeri perlu menjadi cara pandang bersama dan dijalankan secara konsisten. Bukan asal main larang jastip.