Menteri Kesehatan akan memperketat pengawasan penggunaan antibiotik. Hal ini untuk mengendalikan resistensi obat.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berkomitmen memperketat pengendalian resistensi antimikroba dengan kembali memasukkan upaya tersebut dalam program nasional. Hal itu akan menjadi indikator wajib dalam proses akreditasi rumah sakit.
Pernyataan itu disampaikan kepada Kompas dalam pertemuan di Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa (2/4/2024), sebagai tindak lanjut dari Menteri Kesehatan atas hasil investigasi Kompas mengenai ancaman resistensi antimikroba di Indonesia (Kompas, 3 April 2024).
Dari hasil penelusuran pada 10 rumah sakit (RS) di lima provinsi, tim investigasi Harian Kompas mengungkap pelanggaran aturan pengendalian antibiotik. Tim mendatangi semua RS itu, menemui dokter, mengonfirmasi pada manajemen RS, dan mengecek dokumen Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA).
Untuk itu, pemerintah akan menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang PPRA pekan depan. Regulasi ini mengatur pelaporan belanja antibiotik RS secara daring agar bisa diaudit serta peresepan antibiotik wajib berupa resep elektronik, terintegrasi dalam sistem Satu Sehat.
Selain itu, pembelian antibiotik di toko daring dan apotek akan diawasi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Adapun materi resistensi antimikroba dan pemakaian antibiotik yang bijak akan jadi materi wajib dalam pemenuhan Satuan Kredit Profesi tenaga kesehatan.
Pengawasan di rumah sakit
Pengendalian resistensi antimikroba di RS akan diperkuat dengan adanya kewajiban laporan pemeriksaan peta kuman dan data penggunaan antibiotik di rumah sakit. Hal itu berarti tiap RS diwajibkan memiliki laboratorium mikrobiologi untuk menguji sensitivitas antibiotik.
Langkah Kemenkes memperketat pengendalian resistensi antimikroba mesti dipastikan berjalan efektif.
Komitmen pemerintah ini patut diapresiasi mengingat tingginya angka resistensi antimikroba di Indonesia. Sebagaimana diberitakan, hasil studi di 11 rumah sakit yang diluncurkan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) tahun 2023 menyebut, prevalensi mikroba kebal antimikroba di Indonesia 67 persen.
Biaya penanganan infeksi bakteri yang resistan obat bisa 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan bakteri yang tak resistan. Secara global, riset di jurnal The Lancet menunjukkan, dengan 33 bakteri penyebab kematian pada manusia, resistensi antimikroba bisa memicu kematian 7,7 juta orang per tahun.
Padahal, sejauh ini sudah ada sejumlah regulasi terkait hal itu, termasuk Peraturan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Tahun 2020-2024.
Oleh karena itu, langkah Kemenkes memperketat pengendalian resistensi antimikroba mesti dipastikan berjalan efektif. Selain mengatur dokter agar meresepkan antimikroba secara rasional, kepatuhan rumah sakit dalam menjalankan PPRA demi keselamatan pasien mesti dijaga.
Hal ini tentu mesti dibarengi dengan sosialisasi secara intensif kepada masyarakat selaku konsumen mengenai bahaya resistensi antimikroba. Dengan demikian, kesadaran warga untuk menggunakan antimikroba dengan bijak diharapkan bisa tumbuh.