Pelabuhan Peti Kemas Masa Depan
Kita perlu tunjukkan kepada dunia bahwa sektor maritim dan kepelabuhan Indonesia memiliki daya saing.
Percaturan sektor pelabuhan peti kemas hari ini akan berubah di masa depan. Dipicu oleh faktor geografi, demografi, teknologi, dan keberlanjutan, perubahan ini diperkirakan akan berpengaruh pada perkembangan sektor maritim di masa depan.
Perdagangan maritim berkaitan dengan pendistribusian volume barang dalam jumlah banyak, paling hemat biaya, dan efisien di seluruh dunia. Kegiatan ini berkontribusi lebih dari 90 persen terhadap perdagangan global. Sementara perdagangan laut terus mendorong perdagangan dunia selama berabad-abad, kontainerisasi kargo adalah sebuah fenomena yang relatif baru, berasal dari tahun 1956. Dibandingkan dengan pencapaian saat ini, ke depan wajah sektor maritim dan pelabuhan akan jauh berubah dan berbeda.
Belakangan ini, beberapa operator asing ”berlabuh” di Indonesia dalam mengelola pelabuhan. Ditopang oleh sumber dayanya yang besar, berbagai perusahaan pelabuhan asing mulai melirik Indonesia guna berkolaborasi dan berinvestasi. Alasan utamanya adalah Indonesia dinilai memiliki posisi dan potensi strategis yang dapat dimanfaatkan secara optimal dalam jalur perdagangan laut, baik domestik maupun internasional.
Contoh aksi korporasi tersebut dapat dilihat elan operator pelabuhan asing dari Timur Tengah. Pertama, Indonesia Investment Authority (INA) bersama dengan Dubai Port World (DP World) dari Uni Emirat Arab (UEA) membentuk konsorsium PT INA-DPWorld Investment (INA-DPWorld). Keduanya lalu berkolaborasi dengan PT Prima Terminal Petikemas (PTP) mengembangkan pelabuhan Belawan, khususnya Belawan New Container Terminal (BNCT).
DP World ingin menjadi penyedia solusi perdagangan maritim global terkemuka yang memandang pelabuhan sebagai bagian penting dari integrasi operasinya. Perusahaan global ini secara strategis telah mengembangkan serangkaian layanan end-to-end bagi pelanggan, mulai dari penanganan antarmoda dan pengelolaan peti kemas hingga ke penyimpanan sementara serta pergudangan. Operator pelabuhan ini juga telah menggeluti bisnis non-pelabuhan, seperti pengumpan dan pengelola jasa angkutan darat melalui kegiatan akuisisi dalam rangka meningkatkan konektivitas logistik serta perdagangan.
Kedua, Abu Dhabi Ports Group (AD Ports) baru-baru ini mengakuisisi perusahaan pelayaran PT Meratus Line dan rencananya AD Ports akan ikut mengelola pelabuhan Patimban di Jawa Barat.
AD Ports sebelumnya juga mengumumkan akuisisi MICCO Logistics, perusahaan angkutan lokal dengan tujuan menyediakan integrasi penuh serta solusi logistik yang holistik di UEA dan sekitarnya. Akuisisi ini akan mengoptimalkan peran AD Ports dalam mengelola semua ”sentuhan layanan” pelanggan, mulai dari kontrak, manajemen pembelian/pengadaan, pemenuhan pesanan, hingga penanganan solusi logistik lainnya melalui lokasi jaringan dan pusat distribusi yang strategis.
Selain itu, Abu Dhabi Ports juga telah bermitra dengan salah satu perusahaan maritim terbesar di dunia dan konsultan energi untuk menjalani transformasi digital secara besar-besaran menggunakan teknologi rantai blok atau blockchain dengan fokus pada dekarbonisasi.
Selain fenomena ”membuang sauh di tempat jauh” ini, para operator pelabuhan di seluruh dunia juga mulai mengalihkan fokus mereka. Semula, dari pola manajemen pelabuhan tradisional dengan titik berat operasi lahan di darat atau pengembangan hinterland kepada penciptaan ekosistem maritim yang lebih besar di kancah perdagangan global.
Menurut Deloitte (2020), secara umum pengelolaan pelabuhan telah melalui empat fase evolusi selama enam dekade terakhir. Hingga era 1960-an, aktivitas pelabuhan pada masa itu tidak lebih dari sekadar fasilitas bongkar muat barang. Kemudian, seiring berjalannya waktu, banyak di antaranya yang berkembang menjadi pelabuhan industri pada periode 1980-an. Sejak saat itu, pelabuhan mulai bertransisi menjadi lebih terintegrasi dengan rantai pasok regional dan global sehingga muncul pelabuhan logistik atau rantai pasok setelah tahun 1980-an. Baru setelah tahun 2010, konsep smart port (pelabuhan pintar) mulai marak di dunia maritim.
Pelabuhan pintar
Pelabuhan pintar adalah pelabuhan otomatis yang menggunakan analisis data untuk membuat keputusan terbaik dan menjalankan operasi secara efektif. Dari perspektif pelabuhan peti kemas, tujuannya adalah membuat operasional pelabuhan lebih efektif, lebih berkinerja, dan lebih kompetitif secara ekonomi.
Suatu pelabuhan peti kemas dianggap ”cerdas” ketika mampu menggantikan operasi manual dengan otomatisasi dan mencapai efisiensi operasional dengan mengadopsi teknologi digital nirdokumen, bersih, lincah, serta terhubung dalam pusat pengelolaan operasinya. Pelabuhan ini menggunakan teknologi canggih untuk mengotomatisasi operasi dan meningkatkan kinerja pelabuhan. Hal ini termasuk (tetapi tidak terbatas pada) penerapan kecerdasan buatan (AI), mahadata, internet of things (IoT), dan rantaiblok.
Penggunaan teknologi tersebut dapat mengurangi kecelakaan dan gangguan trafik, meningkatkan efisiensi, serta menurunkan biaya operasional. Manfaat lainnya termasuk penurunan waktu tunggu, peningkatan kemampuan pelacakan dan penelusuran, peningkatan kapasitas penanganan, dan bahkan membantu menyederhanakan prosedur kepabeanan.
Pusat perdagangan maritim internasional utama, seperti Rotterdam, Hamburg, Antwerpen, Los Angeles, Singapura, dan Shanghai, telah melakukan investasi besar-besaran dalam mengubah pelabuhan mereka menjadi pelabuhan pintar.
Salah satu investasi terbesar dilakukan oleh Shanghai International Port Group (SIPG) pada 2018. Perusahaan ini meluncurkan dermaga peti kemas otomatis senilai 2,2 miliar dollar AS di pelabuhan laut di wilayah Yangshan. Dengan sekitar 90 persen perdagangan dunia bergantung pada transportasi laut, pengembangan pelabuhan pintar pasti akan berdampak pada perdagangan global.
Antisipasi yang diperlukan
Pengembangan pelabuhan pintar lebih dari sekadar mengadopsi dan menerapkan teknologi canggih. Sebaliknya, pelabuhan pintar diciptakan dengan memadukan berbagai teknologi, sistem informasi, dan pola pikir. Pelabuhan corak ini memerlukan integrasi informasi, konvergensi sistem, interkonektivitas antara berbagai sistem, peralatan, fasilitas, entitas bisnis, dan nilai-nilai individu untuk berubah.
Tidak ada pendekatan yang universal dalam mengembangkan sistem pelabuhan pintar. Sebab, tingkat dan kinerja pelabuhan bervariasi dari satu negara ke negara lain serta dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Pendekatan kasus per kasus dan kustomisasi perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, serta risiko penerapan pelabuhan pintar.
Hal ini memerlukan kerja sama dan kemitraan dengan banyak pemangku kepentingan, seperti (tetapi tidak terbatas pada) otoritas/regulator, operator pelabuhan, pemilik kapal, dan pemilik kargo.
Salah satu bentuknya adalah implementasi Port Community System (PCS). PCS menyediakan informasi holistik dan terikat secara geografis dalam sistem rantai pasok guna melayani kepentingan kelompok yang heterogen, seperti operator terminal, perusahaan moda angkutan, perusahaan ekspedisi, bea cukai, kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan, serikat pekerja, pemerhati lingkungan, serta pembuat kebijakan. Sistem komunitas pelabuhan ini mengintegrasikan berbagai pihak dalam jaringan orkestrasi sumber daya pelabuhan serta berbagi informasi dan pencatatan transaksi untuk meningkatkan laju arus barang.
Karena meningkatnya volume perdagangan maritim, sebagian besar pelabuhan global terus meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Peralihan ke pelabuhan pintar, yang mengandalkan otomatisasi dan digitalisasi untuk mengatur ulang serta menyederhanakan kegiatan operasi pelabuhan, akan menjadi hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Banyak operator pelabuhan peti kemas di Asia menyadari pentingnya mengadopsi sistem pelabuhan pintar agar tetap kompetitif.
Kehadiran operator pelabuhan asing di sektor maritim dan angkutan laut Indonesia harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah serta operator pelabuhan di Tanah Air. Indonesia seyogianya menjadi pemain utama dalam pengelolaan kepelabuhanan domestik. Indonesia adalah negara kepulauan yang harus dapat memanfaatkan potensi maritimnya dengan cara menguasai teknologi dan digitalisasi.
Menanggapi tantangan yang ada di depan mata, operator pelabuhan dan terminal peti kemas harus menggeser paradigma kepada percepatan langkah perubahan menuju perbaikan kinerja operasional pelabuhan. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah selaku regulator dan penyelia aktivitas pelabuhan meninjau serta menata ulang regulasi dan kebijakan yang pro-perubahan, bukan kontraproduktif. Operator pelabuhan peti kemas memerlukan iklim usaha nan jelas yang berorientasi pada kecerdasan, ketangkasan, dan kemampuan guna mengatasi dinamika lingkungan sektor maritim pascapandemi Covid-19.
Kebijakan yang keliru di kemudian hari yang berakibat pada penurunan kinerja dan daya saing pelabuhan kita karena dominan dikuasai dan diserahkan kepada operator asing, perlu dihindari. Tidak ada salahnya membentuk konsorsium pengelolaan pelabuhan dengan pihak asing asalkan alih pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan kepelabuhanan benar-benar terjadi. Dengan demikian, suatu saat sektor pelabuhan kita menjadi mandiri, kompetitif, dan diperhitungkan di kancah sektor maritim global.
Kita perlu tunjukkan kepada dunia bahwa sektor maritim dan kepelabuhan Indonesia memiliki daya saing dan tidak mau dikatakan kalah.
Mohammad Hamsal, Guru Besar Strategic Agility pada Program Doktor Manajemen, Binus Business School, dan anggota Indonesia Strategic Management SocietyE-mail: mhamsal@yahoo.com