Disbiosis bisa menjadi biang keladi beragam penyakit di kemudian hari, terutama berkaitan dengan otoimun.
Oleh
AZIS KHAN
·3 menit baca
Substansi liputan Kompas mengenai antibiotik (25-26 Maret 2024) saya kirim ke anak laki-laki saya. Nun di Tsukuba sana.
Selama ini ia sangat peduli dan sering berkomentar kritis atas aspek pengobatan dan ke(tidak)sehatan makanan secara umum, termasuk kepedulian atas praktik pemanfaatan antibiotik. Juga atas sikap sementara dokter yang, menurut dia, begitu mudah dan cepat memberi obat ini dalam diagnosisnya. Ia punya pandangan bahayanya obat ini apabila digunakan secara serampangan. Atas substansi liputan itu ia pun berkomentar. Berikut inti sarinya.
Apa yang diwartakan dalam liputan itu bisa jadi berbanding lurus atau berkorelasi positif dengan fenomena meningkatnya jumlah orang sakit belakangan ini, termasuk dan terutama fenomena bagaimana penyakit-penyakit yang biasanya diderita ”orang berumur” kini sudah semakin lumrah dijumpai di kalangan belia, bahkan anak-anak. Pemberian antibiotik secara serampangan dan ugal-ugalan selama ini diduga kuat berkontribusi atas fenomena ini.
Cara mengonsumsi antibiotik macam itu memorakporandakan keseimbangan ekosistem bakteri di dalam saluran pencernaan (gut microbiome/flora). Apabila dianalogikan, mayoritas antibiotik itu bekerja bak bom atom. Ia menghancurkan segala, bukan hanya mikroba oportunis saja. Beragam mikroba baik pun ikut disapu bersih. Saat populasi mikroba baik menurun, mikroba oportunis bisa hadir kembali mendominasi dan bahkan ”menjajah” seluruh tubuh. Kondisi ini sering disebut disbiosis.
Disbiosis bisa menjadi biang keladi beragam penyakit di kemudian hari, terutama berkaitan dengan otoimun dan beragam penyakit turunannya dengan nama-nama yang sophisticated. Padahal, penelitian-penelitian termutakhir sudah menunjukkan betapa penting menjaga keseimbangan gut flora di dalam tubuh. Artinya, penggunaan antibiotik sudah seharusnya dilakukan secara lebih berhati-hati dan bijaksana.
Harus diakui, penemuan antibiotik telah menjadi batu lompatan, membantu menyelamatkan banyak sekali nyawa manusia. Sesuatu yang patut disyukuri. Meski begitu, rasanya hari ini pemanfaatan antibiotik sudah terlampau jauh menyimpang. Sering ia tidak ditempatkan dalam konteks kedaruratan (infeksi serius dan semacamnya). Dengan begitu, pemberian antibiotik malah menimbulkan banyak masalah baru, seperti resistensi antibiotik.
Secara bahasa, antibiotik bisa dimaknai sebagai ”antikehidupan”, maka pertanyaan reflektif yang bisa diajukan adalah: bagaimana mungkin kita manusia, sebagai makhluk hidup, bisa anti dengan kehidupan? Sudahkah kita adil sejak dalam pikiran? Dua pertanyaan ini cukup tepat sebagai bahan kontemplasi penting bagi para insan dan lembaga pengelola kunci kesehatan.
Pada 20 Maret 2024, saya datang ke Bank Mandiri di Raya Satelit Indah, Surabaya, untuk suatu keperluan dengan customer service. Namun, tak disangka hanya untuk menemui customer service di bank itu harus melalui proses sangat berbelit-belit. Padahal, tak ada satu orang pun yang sedang dilayani.
Saya diminta untuk mengisi nama dan memindai KTP saya di komputer tablet, lalu berturut-turut saya difoto, mengetik nomor ponsel saya untuk mendapat OTP, mengisi OTP, setelah itu saya diwajibkan mengisi formulir dengan sejumlah data yang setara dengan 1-2 lembar folio.
Beberapa kali saya komplain dengan mengatakan, ”Kok, ribet amat!?” Namun, tak digubris. Saya menolak mengisi formulir dengan begitu banyak data yang harus diisi dan membatalkan urusan saya di bank itu.
Saya berpindah ke Bank Mandiri Darmo Park. Di bank ini saya bisa langsung dilayani customer service. Seperti biasa, verifikasi data hanya dilakukan dengan meminta KTP dan buku tabungan.
Kenapa ada perbedaan pelayanan yang begitu mencolok pada dua cabang Bank Mandiri?